Pembangunan ekonomi yang mengejar pertumbuhan setinggi-tingginya merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah keterbelakangan. Trend industrialisasi yang mengikuti pola seragam dari satu negara ke negara lain kini secara pesat terjadi di negara-negara ketiga.
Di Indonesia, mudah disaksikan di beberapa daerah terpencil yang letaknya jauh dari perkotaan menjadi lahan basah yang disulap menjadi sumbu perekonomian baru. Namun, dalam satu dekade terakhir, tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup masyarakat tidak terlepas dari proses degradasi lingkungan yang terus meningkat. Termasuk di Kabupaten Morowali yang kini didominasi sektor industri pertambangan dan manufaktur.
Pertumbuhan Ekonomi di Morowali
Sebelum artikel ini ditulis, dalam pertemuan mata kuliah Strategi Pembangunan dan Industrialisasi, penulis sering kali mendiskusikan administrasi pembangunan ekonomi Morowali di sektor industri. Data terkait peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Morowali yang didominasi oleh sektor pertambangan dan manufaktur sering kali menjadi bahan presentasi penulis.
Bahwa proses pembangunan ekonomi berbasis industri yang memanfaatkan hasil-hasil alam, telah mencatat peningkatan pertumbuhan ekonomi di setiap tahunnya. Berdasarkan harga konstan 2010, terlihat kontribusi sektor manufaktur dalam PDRB Morowali menunjukan peningkatan dari 8,13% (2014) menjadi 36,17% (2018).
Peningkatan itu menempatkan sektor manufaktur menjadi penyumbang tertinggi PDRB sejak 2016. (Lihat: http://aeer.info/nikel-baterai-kendaraan-listrik-ketidakadilan-ekologi-di-kawasan-asal sumber-daya/)
Kemudian sumbangan sektor lain, yang sedang tumbuh adalah sektor pertambangan dengan kontribusi yang meningkat dari 24,07% (2014) menjadi 31,90% (2018).
Dari angka-angka pertumbuhan ekonomi itu kemudian menggambarkan kemajuan yang begitu mengagumkan. Betapa tidak, Morowali menjadi salah satu daerah yang menyuplai Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbesar di Sulawesi Tengah dengan pengolahan nikel dan pabrik-pabrik industri turunannya yang terus meningkat.
Degradasi Lingkungan
Pembangunan ekonomi di bawah pijakan neoliberalisme yang diagung-agungkan oleh negara-negara maju ternyata memiliki kelemahan mendasar dalam penggunaan aset faktor produksi yang berasal dari alam.
Negara-negara berkembang termasuk Indonesia diawal 70-an, terus-menerus menerapkan paradigma sistem pembangunan ekonomi itu secara konsisten, meskipun diperhadapkan dengan eksploitasi dan kerusakan lingkungan.
Industri pertambangan dan manufaktur di Kabupaten Morowali tentu tidak bisa dihindarkan dari perubahan lingkungan. Daya lingkungan yang kehilangan keanekaragaman hayati, sedimentasi, dan erosi tanah mudah disaksikan di Morowali dalam beberapa tahun terakhir (Lihat : http://ytm.or.id/banjir-bandang-bahodopi-dan-produksi-tambang-kapitalis/).
Terjadinya penurunan kualitas alam akibat aktivitas penambangan di Morowali telah mengakibatkan bencana banjir yang terus berulang. Pada 8 Juni 2019, banjir melanda tiga desa di Kecamatan Bahodopi yaitu Siumbatu, Dampala, dan Lele. Banjir tersebut mengakibatkan kerusakan terhadap ratusan rumah warga dan fasilitas publik, ratusan warga terpaksa mengungsi ke desa terdekat karena kejadian tersebut.
Banjir dengan arus yang deras tersebut juga membawa bantalan pohon besar serta lumpur kuning yang menimbun lahan-lahan pertanian dan mematikan ternak warga. Jembatan Dampala dengan panjang sampai 50 meter yang menghubungkan desa Dampala dengan desa Siumbatu yang merupakan poros jalan trans Sulawesi ikut rubuh.
Banjir tersebut bukanlah hal yang baru bagi warga setempat sebab banjir bandang pernah terjadi pada 24 Juli 2010 yang melanda Desa Bahomakmur, Fatufia, dan Keurea. Kala itu, banjir juga menghanyutkan lahan-lahan pertanian, ternak, serta rumah warga yang tergenang air setinggi 1,5 meter.
Warga menganggap terjadinya banjir karena proses aktivitas pertambangan PT BDM di kawasan hutan di bagian hulu desa-desa tersebut. Sehingga warga meminta perusahaan bertanggung jawab atas peristiwa tersebut dan menuntut ganti rugi. Namun pihak perusahaan menolak permintaan warga dan menganggap proses terjadinya banjir itu adalah faktor alam.
Apabilah kita memerikasa kembali masalah-masalah yang sering dimunculkan dalam diskusi terkait pembangunan ekonomi dan lingkungan, keduanya memang selalu berkaitan dan selalu terjadi sebagai hukum sebab akibat terutama yang berkaitan dengan industrialisasi.
Namun, tentu hal ini tidak berarti kita harus menolak pembangunan ekonomi melalui industrialisasi, sebab hal tersebut merupakan kebutuhan untuk menaikkan taraf hidup masyarakat. Sistem pembangunan ekonomi itu harus diselaraskan dengan model pembangunan yang berwawasan lingkungan dan di bawah kontrol masyarakat luas yang didasarkan pada konsep partisipasi dan demokrasi.
Potret pembangunan ekonomi di Morowali terlihat jelas sangat menekankan soal peningkatan pertumbuhan ekonomi saja tanpa memperhatikan aspek lingkungan. Sehingga ini berujung pada degradasi sumber daya alam dan lingkungan yang tidak lagi mendukung dalam mendefinisikan pembangunan berkelanjutan.
Terjadinya kemerosotan sumber daya alam sangat berpengaruh pada masa berikutnya, deforestasi (kerusakan dan penggundulan hutan) serta pemborosan penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui seperti bahan bakar fosil, akan menempatkan masyarakat Morowali dalam satu hingga dua generasi mendatang pada situasi yang sangat problematis.
Bagaimana proses pembakaran energi fosil telah menimbulkan masalah serius dalam skala lokal di kawasan industri Morowali, mulai dari kepulan asap, debu batubara, dan tentunya ini akan berimplikasi pada kesehatan dan keberlangsungan kehidupan masyarakat sekitar.
Kerusakan alam yang terjadi di Morowali, merupakan puncak dari sebuah model pembangunan yang tidak berbasis lingkungan (kapitalisme), di satu sisi kita bangga dengan angka-angka pertumbuhan ekonomi, tetapi di sisi lain, kita juga mengorbankan kehidupan masa depan dengan sebuah kenyataan bahwa bencana yang selalu datang sewaktu-waktu tidak bisa kita hindari.
***Penulis adalah kandidat Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Discussion about this post