Ada yang tahu mengapa tanggal 5 Desember dijadikan sebagai hari jadi Kab. Morowali ? Momentum penting apa yg terjadi hingga tanggal tersebut diabadikan sebagai hari jadi Kab. Morowali ?
Tak terasa, 21 tahun bergulir begitu cepat bak bola menggelinding dari ketinggian. Tak dapat dibendung dan tak dapat pula dihentikan. Tidak seorangpun dari kita yang bisa mengulang waktu untuk membuat permulaan yang baru. Betapa pun kuasanya manusia, hanya akan menjadi catatan sejarah jika diperhadapkan dengan waktu. Begitu pula momentum HUT ke-21 Morowali yang di rayakan pada setiap tanggal 5 Desember. Pada akhirnya semua hanya menjadi lembaran sejarah yang akan dikenang di masa mendatang.
Hari jadi Morowali yang dirayakan setiap tanggal 5 Desember, dijadikan momentum sejarah untuk memotivasi seluruh lapisan masyarakat dalam rangka mengisi pembangunan di Kabupaten Morowali. Setidaknya itulah satu-satunya tujuan tertulis yang tertuang dalam Perda Kab. Morowali No. 8 tahun 2011 tentang Hari Jadi Kabupaten Morowali. Ya, “Mengisi pembangunan” dengan rangkaian acara seremonial yang begitu sederhana akibat pandemi bagi mereka yang saat ini berada di Morowali. Dan bagi anak rantau seperti saya, hanya bisa “pamer gigi” (mengisi: bahasa Bungku artinya pamer gigi) melihat kesederhanaan tersebut lewat foto atau video yang ter-upload di media sosial.
Bagi Saya, bagaimanapun jauh dan terpencilnya tempat tinggal saat ini, tidak ada tempat yang lebih indah untuk kembali selain kampung halaman. Daya tariknya selalu memicu kerinduan dan membuat hasrat ingin pulang kampung semakin terpacu. Ingin rasanya pulang sejenak dan ikut ambil bagian di tengah perayaan ulang tahun sederhana yang hingga detik ini masih berlangsung.
Tidak juga dipungkiri, hasrat pulang kampung pula yang kemudian memicu memori masa kecil saya kembali mengenang awal mula pemekaran kabupaten ini. Meskipun Pemda Morowali telah menetapkan tanggal 5 Desember sebagai Hari jadi Morowali, namun ingatan kecil saya masih menganggap bahwa hari lahir kabupaten Morowali yang sebenarnya adalah tanggal 4 Oktober 1999. Lahir sebagai anak kembar 3 (tiga) dari “rahim” UU Nomor 51 Tahun 1999 bersama Kabupaten Buol dan Kabupaten Banggai Kepulauan yang disahkan langsung oleh BJ. Habibie sebagai Presiden ke-3 RI kala itu.
Sayangnya, salah satu anak dari UU Nomor 51 Tahun 1999 ini, terlahir secara prematur dan menderita penyakit bawaan sejak lahir. Itulah Morowali. Di masa kecilnya, Kabupaten ini harus berjuang keras melawan penyakit “konflik ibu kota” yang dideritanya. Hanya karena persoalan penunjukkan “Ibu Asuh” antara Kolonodale (Ibu Kota sementara) dan Bungku (ibu kota definitif), telah memicu lahirnya konflik sosial yang berimplikasi pada perpecahan masyarakat antara etnis Bungku yang mayoritas Muslim dan etnis Mori yang mayoritas Non-Muslim. Benar-benar menjadi catatan sejarah yang tidak mesti diingat namun tidak harus dilupakan.
Sebagai anak kampung yang baru berusia 13 tahun kala itu, Saya tidak terlalu peduli soal pemekaran ini. Paling hanya sebatas mendengar cerita dari orang-orang dewasa di sekitar saya tentang ekspektasi berandai-andai, jika nanti Bungku yang masih serba hutan dan berhantu itu, akan berkembang menjadi pusat ibu kota yang ramai layaknya kota-kota di kabupaten lainnya. Dan saya sangat menikmati cerita itu sebagai fantasi ” surga telinga” masa kecil.
Di sekolah pun, kami mulai diperkenalkan lambang resmi kabupaten Morowali berserta makna lambang yang terkandung di dalamnya. Dan seingat saya, dalam unsur logo tersebut terdapat gambar padi dengan jumlah 12 (dua belas), kapas dengan jumlah 10 (sepuluh), dan tiang rumah adat berjumlah 9 (sembilan) yang melambangkan tanggal, bulan dan tahun terbentuknya Kabupaten Morowali (12 Oktober 1999). Tentunya menjadi hal yang berbeda dengan penetapan tanggal 5 Desember sesuai Perda No. 8 tahun 2011.
Kenangan lain yang membuat ekspektasi kecil saya sedikit miring soal fantasi kota impian itu, dimulai ketika “penyakit” konflik ibu kota ini benar-benar mewabah seperti “virus” berjangkit dalam tubuh manusia. Masyarakat yang dulunya terbiasa hidup tentram adem dalam bingkai toleransi yang tinggi, mulai diperkenalkan dengan aksi demonstrasi atas nama keadilan. Dua etnis lokal (Bungku dan Mori) saling mengklaim kebenaran soal penafsiran UU 51 Tahun 1999. Etnis Mori tetap mempertahankan “hak Asuh” di lanjutkan di Kolonodale, sedangkan Etnis Bungku merasa telah siap menjadi “Ibu asuh” yang baru sesuai amanah UU 51 Tahun 1999 pasal 22. Belakangan, pasal 22 ini kemudian terdiagnosa sebagai “sel virus” pemicu penyakit konflik ibu Kota yang melanda Kabupaten Morowali.
Mobilisasi massa demonstran dari Bungku ke Kolonodale untuk menuntut pemfungsian ibu kota definitif semakin ramai di awal tahun 2002. Saya masih berusia 17 tahun saat aksi unjuk rasa besar-besaran tersebut terjadi. Untuk anak remaja yang baru beranjak dewasa seperti saya, bukanlah hal yang sulit jika diajak berdemo. “Darah muda” kata bang Rhoma. Masa yang berapi-api untuk mencoba hal-hal baru meskipun belum tentu saya tahu esensi dan tujuan mengapa saya berada di tengah kerumunan demonstran itu. Di sinilah saya mengenal “aksi demo” pertama kalinya walau terkesan hanya ikut meramaikan dengan mengenakan pita penanda sebagai belo-belo (hiasan hanya untuk terlihat keren).
Jujur saja, momentum yang paling saya nikmati ketika ikut aksi demo kala itu adalah menyaksikan Kuswandi dan kawan-kawan lainnya berorasi di hadapan para demonstran. Teriakan mereka, kadang membuat saya merinding dan terharu. Suara lantang mereka bak cahaya di tengah gelap gulita. Saya benar-benar merasa bangga meskipun kehadiran saya sebagai peserta aksi tidaklah berarti. Momentum itu telah menorehkan catatan tersendiri bagi saya pribadi untuk melihat sisi lain dari “bunga-bunga demokrasi”. Di mana kebenaran harus diperjuangkan dan ketidakadilan jangan hanya diterima sebagai jalan takdir.
Perjuangan itu kemudian berakhir setelah tuntutan pemfungsian Ibu kota definitif di Bungku resmi dipindahkan pada tanggal 2 Mei 2006. Dan Kolonodale yang pernah menjadi ibu kota sementara Kabupaten Morowali juga dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali Utara pada tahun 2013 lalu. Saya tidak tahu banyak lagi soal momentum bersejarah ini karena saya sudah berada di perantauan. Yang jelas, “drama” politik telah banyak mewarnai perkembangan Morowali sejak bercerai dari kabupaten Poso tahun 1999 hingga diceraikan oleh Kabupaten Morowali Utara di tahun 2013. “Sejarah adalah politik masa lalu dan politik adalah sejarah masa kini”, Sir John Robert Seeley telah mengatakan ini sejak abad ke-18.
Dirgahayu ke-21 Tahun Kabupaten Morowali
Manado, 5-12-2020
Discussion about this post