Pada Desember tahun lalu ketika Festival Kebudayaan Morowali digelar, Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali melakukan acara serah terima HAKI untuk objek kebudayaan Tobungku atas Batik Tobungku. Pada acara tersebut, surat pencatatan Batik Tobungku diserahkan oleh Kepala Bidang Pelayanan Hukum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tengah, Herlina S.Sos kepada Bupati Morowali, Drs. Taslim didampingi Kepala Dinas Pendidikan, Amir Aminudin, S.Pd., M.M dan Komandan Kodim 1311/Morowali, Letkol Inf. Constantinus Rusmanto, M.Sc. Penyerahan sertifikat tersebut terasa begitu spesial sebab untuk kali pertama Pemda Morowali memiliki HAKI atas objek kebudayaan yang selama ini acap kali disepelekan keberadaannya karena dianggap madesu (memiliki masa depan suram).
Berselang empat bulan, Pemda Morowali kembali melakukan hal yang sama dengan mendaftarkan tiga HAKI sekaligus atas objek kebudayaan Tobungku lainnya yaitu mehule (gasing), luminda, dan ndengu-ndengu. Penyerahan HAKI dilakukan saat acara Festival Montunu Hulu digelar di Lapangan Sangiang Kinambuka pada Rabu, 27 April 2022.
HAKI atas ketiganya tidak didapat serta merta. Untuk mendapatkannya, Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Morowali terlebih dahulu melakukan prosesi pendaftaran HAKI pada Kemenkunham. Dalam prosesi tersebut, baik ndengu-ndengu (musik tradisional), Luminda (tari tradisional), dan mehule (permainan tradisional) didaftarkan sebagai warisan budaya lokal (Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya Tradisional) dengan kustodian Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten Morowali.
HAKI atau Hak Atas Kekayaan Intelektual merupakan suatu upaya perlindungan hukum pada hasil temuan atau karya cipta yang meliputi hak paten, merek, desain industri, cipta, rahasia dagang, desain tata letak, dan lain sebagainya. Dalam ranah kebudayaan, pendaftaran HAKI penting dilakukan agar tidak ada saling klaim objek kebudayaan antar suatu daerah. Sayang, masyarakat Indonesia sampai saat ini belum memiliki kesadaran akan pentingnya perlindungan hukum bagi warisan kebudayaan.
Padahal masih lekat dalam ingatan, beberapa tahun lalu bahkan yang teranyar pada April lalu, Indonesia dan Malaysia kembali terlibat perseteruan atas warisan budaya. Kasus ini bermula ketika Malaysia ditengarai berupaya untuk mendaftarkan Reog Ponorogo sebagai miliknya pada Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB, UNESCO. Upaya negara tetangga tersebut tentu saja mendatangkan reaksi keras dari masyarakat Indonesia sebab Reog Ponorogo merupakan milik Indonesia yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat. Hal ini membuat Pemerintah Indonesia langsung mengambil sikap untuk menyelamatkan kekayaan budaya Indonesia tersebut dengan mendaftarkannya pada Sekretariat ICH UNESCO bersamaan dengan tempe, jamu, kulintang, dan kain tenun melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek.
Kasus saling klaim tersebut bukan kali pertama terjadi. Wayang kulit, batik, lagu rasa sayange, rendang, angklung, dan tari tortor adalah sederet warisan kebudayaan milik Indonesia yang pernah diklaim oleh Malaysia. Dan sampai sekarang, masing-masing pihak saling berkukuh bahwa warisan budaya tersebut adalah milik mereka.
Well, untuk menghindari kasus saling klaim, salah satu hal yang bisa dilakukan selain mendaftarkan warisan kebudayaan pada UNESCO adalah dengan melakukan pendaftaran HAKI. HAKI dibedakan atas dua jenis yaitu HAKI yang bersifat pribadi dan HAKI yang bersifat komunal. HAKI bersifat pribadi dimiliki dan didaftarkan atas nama pribadi sedangkan HAKI bersifat komunal didaftarkan oleh lembaga tertentu sehingga menjadi milik bersama.
HAKI komunal sendiri dibedakan atas empat macam yaitu indikasi geografis, ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional, dan sumber daya genetik. Bagi daerah yang sistem pengelolaan kebudayaannya sudah maju, budaya tidak lagi dianggap sebagai sebuah “benda mati” tetapi menjadi sebuah komoditi yang bernilai ekonomis. Anggaran untuk melakukan riset dan pengembangan keterampilan masyarakat bahkan dipersiapkan oleh pemerintah agar mereka dapat bersaing di kancah nasional bahkan internasional.
Objek kebudayaan yang didaftarkan oleh Disdikda Morowali merupakan HAKI komunal dalam bentuk ekspresi budaya tradisional (traditional cultural expression/expression of folklore). Hal ini selaras dengan UU Hak Cipta No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dalam UU tersebut, perlindungan warisan budaya dianggap sesuai dan relevan dalam prinsip hukum kekayaan intelektual. Perlindungan yang dimaksud adalah segala bentuk upaya melindungi warisan budaya bangsa terhadap pemanfaatan yang dilakukan tanpa hak dan melanggar kepatutan. Ada tiga alasan mengapa warisan budaya perlu dilindungi yaitu 1) adanya potensi keuntungan ekonomis yang dihasilkan dari pemanfaatan pengetahuan tradisional, (2) keadilan dalam sistem perdagangan dunia, dan (3) perlunya perlindungan hak masyarakat lokal.
Budi Argap Situngkir, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Tengah, dalam sambutannya pada kegiatan Festival Montunu Hulu menyampaikan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan produk yang berbasis potensi geografis dapat berkontribusi pada pembangunan nasional maupun daerah serta dapat menyejahterakan masyarakat. Hal ini didukung oleh keragaman budaya dan sumber daya alam yang tersebar luas di Kabupaten Morowali.
“Potensi kekayaan intelektual komunal di Morowali sangat banyak, beragam, dan luas sehingga jika dikelola dengan baik, maka dapat mendorong dan meningkatkan perekonomian daerah”, ucapnya.
Lebih lanjut Budi mengatakan bahwa perlindungan dan pengembangan produk berbasis indikasi geografis dapat meningkatkan daya saing produsen, membangun masyarakat daerah, dan mendorong perekonomian daerah karena mampu berkontribusi dalam menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan petani dan produsen, meningkatkan PDB, serta kekuatan sosial masyarakat”.
Dalam acara serah terima HAKI tersebut, Surat Pencatatan Inventarisasi Kekayaan Intelektual Komunal Ekspresi Budaya Tradisional atas tari luminda tercatat dengan No. EBT72202200062, mehule dengan No. EBT72202200063, dan ndengu-ndengu dengan No. EBT72202200066.
Terbitnya HAKI atas empat objek kebudayaan Morowali bukan menjadi akhir dari perjuangan untuk melindungi warisan budaya leluhur. Namun hal ini merupakan langkah awal untuk meningkatkan kesadaran semua stakeholder baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk sama-sama terlibat dalam pemeliharaan dan pelestarian objek kebudayaan. Pemanfaatan sarana dan teknologi informasi di era kiwari dapat menjadi salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menyebarluaskan informasi kebudayaan yang selama ini terbelenggu dalam jurang “kemadesusan” sehingga anggapan bahwa budaya adalah sesuatu yang kampungan, malu-maluin, norak, dan tidak penting dapat hilang dari Bumi Morowali.
Discussion about this post