Pergerakan angin Muson Barat tahun ini nampaknya lebih banyak membawa uap air. Semburat jingga Sang Surya yang terpancar sepanjang hari belakangan terlihat meredup di cakrawala. Cuaca yang awalnya cerah di pagi hari seketika akan berubah membawa titik-titik hujan saat sore menjelang.
Suara gemuruh masih berkelebat di luar sana, bersamaan dengan deru hujan yang semakin menderas. Aku kembali melirik jam tangan, sudah 30 menit aku menunggu. Pesan WhatsApp yang kuterima sebelumnya mengatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju salah satu cafe berkonsep Mediterania, tempat kami memutuskan untuk bersua.
Tak lama berselang, sosok yang ku tunggu akhirnya muncul dengan sedikit basah pada sekujur tubuhnya. Ia menyapaku dan mengulurkan tangan sembari meminta maaf atas keterlembatannya. Setelah memesan makanan dan minuman, kami pun terlibat dalam obrolan hangat.
Aku sengaja datang dari Jogja ke Gresik untuk bertemu dengannya karena untuk kali pertama, Kamputo akan menuliskan rubrik khusus mengenai tokoh inspiratif dari Morowali setiap bulannya. Kamputo memutuskan memilih bidang olahraga sebab kegiatan Pekan Olahraga Kabupaten Morowali yang untuk kali pertama digelar baru saja berlalu pekan lalu. Yah, hitung-hitung ikut memeriahkan euforia tersebut kan? hehe.
Dari Tanah Kaili ke Tanah Tobungku, Morowali
Namanya Firdaus Umar. Orang-orang di sekitarnya memanggilnya dengan sebutan Daus. Ia lahir dan besar di Tanah Kaili, kota Palu hingga kemudian separuh hatinya membawanya hijrah ke Tanah Tobungku, Morowali.
Kedatangannya ke Gresik adalah untuk menjadi salah satu wasit pertandingan Liga 3 Nasional bersama tiga orang rekannya dari Sulawesi Tengah. Daus menuturkan bahwa awalnya yang akan berangkat berjumlah 10 orang, namun pihak PSSI mengurangi jumlah kuota tersebut karena sedang pandemi. Dan berdasarkan rekomendasi dari Asprof, dirinya direkomendasikan untuk ikut serta.
“Awalnya yang mau berangkat itu berjumlah 10 orang, ditambah 1 wasit perempuan. Namun karena pandemi, dari 10 nama tersebut PSSI hanya memilih 4 orang termasuk saya, 2 wasit dan 2 asisten”, ujarnya.
Untuk bisa menjadi wakil Sulawesi Tengah, Daus harus bersaing dengan wasit pemegang lisensi nasional dari kabupaten lain seperti Kabupaten Donggala, Parigi Mautong, Luwuk Banggai, Poso, Palu, dan Buol. Beruntung, Daus sudah memiliki jam terbang yang cukup tinggi dalam memimpin pertandingan sepak bola di wilayah Sulawesi Tengah sehingga pengalamannya tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilannya untuk bisa lolos seleksi.
Berlaga di Liga 3 Nasional membuat Daus begitu bersyukur sebab untuk bertugas di kompetisi PSSI, ada banyak tahapan yang harus dilewati seperti pemberkasan administratif, fitness test (tes kebugaran), physical test (tes kesehatan), analysis test (tes analisis), jam terbang memimpin pertandingan, dan kecapakan komunikasi. Selain itu, untuk sampai di tingkat provinsi pun tidak sembarangan sebab mereka terlebih dahulu harus mengikuti seleksi dari Asosiasi PSSI kabupaten/kota, kemudian berlanjut ke Asosiasi PSSI provinsi dan diakhiri keputusan di level nasional.
Daus menuturkan bahwa dari tahapan tersebut, salah satu kesulitan yang dia hadapi adalah saat mengikuti test kebugaran atau fitness test. Test tersebut terdiri atas dua jenis yaitu RSA (Repeated Sprint Ability) dan interval run test yang dilakukan untuk mengukur daya tahan, kekuatan, kecepatan, dan kelincahan seorang wasit. Tes tersebut seharusnya dilakukan dua kali yaitu 1 kali di provinsi dan 1 kali di Jakarta. Namun karena pandemi, fitness test hanya dilaksanakan satu kali saja.
“Waktu mau ba ikuti fitness test di Palu, dari Morowali so tidak enak badan saya. Flu, meriang juga, tapi beruntung istriku sigap. Sehari sebelum berangkat, dia langsung kasih minum segala rupa jenis obat. Mo muntah saya rasa kalau ba ingat itu obat. Pas sampai Palu, Alhamdulillah bisa sehat”, ungkapnya sembari tertawa.
Sebuah Tragedi; Bertahan atau Memilih Pergi
Pekerjaan menjadi wasit belum lama Daus lakoni sebab dulunya dirinya adalah seorang pemain sepak bola dengan posisi pemain bertahan (bek). Namun cedera lutut yang ia alami pada akhir 2013 lalu membuatnya banting setir menjadi wasit. Tak tanggung-tanggung, ia memilih menjadi wasit untuk dua cabang olahraga sekaligus yaitu sepakbola dan futsal. Beruntung, proses untuk menjadi wasit profesional dengan lisensi nasional didapatkannya dalam kurun waktu lima tahun.
Selama berkiprah di dunia perwasitan, Daus telah malang-melintang menjadi wasit pertandingan baik di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Di tingkat provinsi, dirinya pernah memimpin Liga 3 Asprov Rayon Sulteng, Soeratin Cup U-17 Sulawesi Tengah, Piala Walikota U-19, pertandingan antar komunitas klub sepak bola se-kota Palu, dan baru-baru ini Piala Gubernur Rusdi Mastura Cup 2022.
Di Kabupaten Morowali, Daus pernah menjadi wasit dalam pertandingan Piala Askab 2021, pertandingan Sombori Cup I 2021, dan Porkab Morowali 2022. Sedangkan untuk futsal, ia pernah menjadi wasit dalam pertandingan yang diadakan oleh Kerukunan Masyarakat Kecamatan Bahodopi, Liga Ramadhan di kota Palu pada 2019 dan yang baru ini memimpin Liga Futsal Nusantara Rayon Sulteng menuju putaran 34 besar nasional di Kalimantan Timur.
FYI, tidak ada sekolah khusus untuk menjadi seorang wasit profesional. Calon wasit baru hanya wajib mengikuti kursus selama kurang lebih seminggu untuk mempelajari dasar-dasar aturan. Untuk sampai pada tahap wasit profesional pun membutuhkan beberapa tahapan yaitu pertama kursus pelatihan C3 yakni tingkatan kabupaten atau kota. Mereka yang lulus kursus C3 ini hanya boleh memimpin laga dan jenjang usia muda. Selanjutnya untuk laga pertandingan tingkat provinsi, wasit harus memiliki lisensi C2 dan untuk memimpin laga-laga nasional harus memiliki lisensi C1.
Selama memimpin pertandingan, Daus berujar bahwa dirinya tidak banyak memiliki pengalaman buruk saat laga sedang berlangsung. Sedikit kekeliruan dan kesalahan dari wasit memang bisa menjadi polemik untuk kubu yang sedang bertanding. Tak jarang, stadion menjadi bising oleh ejekan para fans yang tidak puas atas keputusan wasit. Mereka akan mencemooh, mengumpat, melempar, bahkan terkadang mencerca wasit dengan kalimat vulgar sebagai bentuk protes atas ketidakpuasan. Bagaimana tidak, wasit hanya memiliki sepersekian detik untuk memberikan keputusan. Keputusan yang benar akan menetralkan dua kubu tetapi keputusan yang salah akan mengubah hasil akhir pertandingan dan nasib tim yang sedang bertanding.
“Alhamdulillah, selama saya bertugas, pertandingannya sukses dan tidak ada serangan oleh suporter fanatik, paling yah cuman dimaki-maki cuman saya diamkan saja, berusaha tenang. Namanya pekerjaan selalu ada risikonya apalagi sepak bola di Indonesia banyak peminatnya, jadi kalau situasinya sedang buruk saya hanya berusaha tenang”, ujarnya.
Nelangsa Menjadi Wasit
Daus adalah salah dua orang di Morowali yang memang lisensi C1 nasional, namun untuk berkiprah di Liga Nasional seperti Liga 3 barulah dirinya seorang. Pada Liga 3 Nasional, Daus bertugas di dua kabupaten di Jawa Timur yaitu Kabupaten Gresik pada babak 64 besar dan Sidoarjo pada babak 32 besar. Soal mengapa dirinya tidak lerlibat pada babak 16 besar hingga final, dirinya berkelakar kalau yang akan bertugas pada babak tersebut hanyalah wasit dari Liga 2 (wasit senior) yang akan langsung memimpin ke Liga 3.
Kesibukan menjadi wasit yang mengharuskan Daus ke luar kota hingga berminggu- minggu lamanya membuat Daus kehilangan momen berkumpul dengan keluarga kecilnya. Beruntung Daus memiliki seorang istri dan keluarga yang selalu mendukung apa yang ia lakukan. Namun ada saatnya Daus merasa dilematis pada saat-saat tertentu, terutama ketika anaknya yang masih berusia 2 tahun dirawat di rumah sakit.
Daus bercerita bahwa pada saat akan bertolak menuju Surabaya di babak 32 besar, dirinya yang saat itu tengah dilanda demam mendengar kabar bahwa anaknya tengah di-opname di RS. Pertandingan yang beberapa jam lagi akan digelar membuatnya fokusnya buyar. Bahkan saat itu terbesit pikiran untuk kembali pulang ke Morowali, namun sebuah video kiriman dari istrinya yang memperlihatkan anaknya yang tengah di-opname memberikan ucapan semangat untuknya membuatnya begitu terharu sekaligus sedih.
“Itu kadang saya merasa tidak berguna. Anak saya sedang sakit dan saya tidak berada di sampingnya. Tapi, istri saya selalu menguatkan. Katanya pertandingan juga membutuhkan saya. Nanti dia yang handle katanya”, ucapnya dengan mata berkaca- kaca.
Daus juga menuturkan bahwa seorang wasit harus memiliki manajemen waktu yang baik, terlebih waktu bersama keluarga. Untuk menebus momen yang terlewatkan, ketika sedang tidak bertugas, maka seluruh waktu luangnya diberikan pada istri dan anaknya.
Menjadi wasit memang bukan perkara mudah sebab dibutuhkan tanggung jawab dan kebesaran hati untuk melakukannya. Walaupun pekerjaan ini acap kali dipandang sebelah mata, Daus menuturkan bahwa wasit tidak hanya sekadar berlari dan mengamati jalannya pertandingan tetapi mereka menjadi penegak aturan dan penyeimbang dari dua kubu yang sedang bertanding agar pertandingan dapat berlangsung secara adil.
Namun nahas, sering kali kita mendapati laga pertandingan yang memperlihatkan wasit menjadi bulan-bulanan para suporter fanatik sepak bola. Bukankah merupakan sebuah ironi ketika mereka dituntut untuk berlaku adil di lapangan tapi justru mereka juga yang kerap kali mendapat perlakuan tidak adil?
Soal ini, Daus berujar “Itu menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi. Makanya sebisa mungkin kami harus bisa berlaku adil dalam keseharian. Kalau tidak bisa berlaku adil untuk diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sekitar, bagaimana mungkin menjadi pengadil untuk orang banyak?”, ujarnya sembari menyeruput cold brew pesanannya.
Well, kehidupan menjadi wasit tidak sesederhana hanya memberikan menegakan Laws of the Game sesuai aturan FIFA, mengontrol jalannya laga, maupun memastikan bahwa bola yang digunakan dalam pertandingan sesuai dengan peraturan dan ketentuan. Namun lebih dari itu, seorang wasit adalah entitas keadilan dalam sebuah laga. Mereka harus memberikan keputusan seadil-adilnya bagi kedua kubu yang sedang bertanding.
Seperti yang tokoh Minke katakan dalam buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Begitulah seharusnya seorang wasit menunaikan tanggung jawabnya sebagai Sang Pengadil di lapangan hijau “Adil sejak dalam pikiran”.
Discussion about this post