Corporate Social Responsibility atau disingkat dengan CSR merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap perusahaan sesuai dengan tuntunan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Perkembangan CSR tidak bisa lepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainability Development). Konsep ini memberikan dampak kepada perkembangan definisi CSR sebagai suatu komitmen berkelanjutan dari para pelaku bisnis untuk berperilaku secara etis dan memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi.
Morowali sebagai kawasan industri nikel yang masuk proyek strategis nasional, seperti tertuang dalam Peraturan Presiden No. 3/2016, tentu saja tidak lepas dari persoalan CSR. Apalagi saat ini di Morowali mulai berdiri banyak perusahaan. Salah satu perusahaan terbesar di Morowali adalah PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
PT IMIP merupakan proyek kongsi swasta Tiongkok-Indonesia yang beroperasi di wilayah kecamatan Bahodopi. Di atas kertas pemegang sahamnya terdiri dari beberapa perusahaan: Shanghai Decent Investment Group (49,69%), Sulawesi Mining Investment (SMI, 25%), dan Bintangdelapan Group (25,31%). Seakan sudah menjadi keharusan, di mana ada investasi maka mengikut pula berbagai masalah sosial. Begitu juga yang kini terjadi di daerah Morowali. Belakangan ini sudah banyak terjadi polemik yang terjadi antara pihak perusahaan, buruh/karyawan, dan masyarakat. Yang paling mencuat adalah persoalan CSR.
Tim kamputo.com berkesempatan mewawancarai seorang aktivis masyarakat area tambang yang cukup vokal menyuarakan berbagai kebijakan perusahaan untuk kepentingan masyarakat, tertutama menyangkut CSR. Namanya YS (nama nisial). Menurutnya CSR PT IMIP ini mulai bermasalah sejak 4 tahun terakhir. Mulai dari pengelolaan yang tidak jelas, hingga penunggakan CSR yang sampai sekarang belum terselesaikan. Sejak 2014 sampai sekarang, pihak perusahaan baru membayarkan CSR tahun 2015.
“Sampai sekarang CSR tahun 2014, 2016, dan 2017 belum dibayarkan oleh perusahaan” jelasnya.
YS menyampaikan bahwa berdasarkan info terakhir, perusahaan akan membayar CSR 2016 dan 2017 sebesar 10 Miliyar dengan pembagian 5 miliyar per tahunnya. Namun, Hal tersebut masih menjadi polemik menurut YS, karena jumlah CSR setiap tahun seharusnya berbeda, dengan pertimbangan bahwa pasti ada peningkatan produksi.
Untuk CSR tahun 2014 memiliki kasus tersendiri dikarenakan saat itu perusahaan belum melakukan produksi. Sejak 2013 sampai awal 2015, IMIP sedang membangun pabrik pemurnian (smelter) dan menghabiskan uang hampir US$ 4 miliar.
“2014 memang tidak dibayarkan karena saat itu perusahaan belum memproduksi, tetapi ada pertemuan yang pernah disepakati bahwa pihak perusahaan tetap akan membayar dengan catatan atas pertimbangan pemerintah daerah. Tetapi sampai saat ini belum ada kejelasan (terkait pembayaran CSR) baik dari perusahaan maupun pemerintah daerah”, tegas YS.
Hal tersebut senada dengan yang disampaikan pak Jefri Mulyono bahwa tidak memproduksi bukan menjadi alasan untuk tidak melakukan CSR.
“Pertambangan itu hanya untuk orang kaya, kalo kamu tidak kaya, jangan sentuh daerahku. Kalo kamu lagi membangun kemudian rugi dan lain sebagainya, kemudian ngomong saya nggak bisa bayar CSR, ya sudah jangan sentuh dong, pergi aja” tegasnya.
Pak Jefri merupakan seorang konsultan CSR yang menetap di Jakarta. Beliau telah banyak melakukan seminar dan pelatihan CSR baik dikalangan akademisi maupun di perusahaan-perusahaan yang membutuhkan konsultan. Saat beliau dihubungi via telpon oleh tim Kamputo.com, pak Jefri sedang berada di Bandara Soekarno Hatta dan akan menuju Kota Manado untuk memberikan seminar/workshop.
Menurut Pak Jefri, seyogianya CSR ini merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat yang tinggal di sekitar daerah tempat perusahaan melakukan aktivitas pertambangannya. Selain itu, pengelolaan CSR ini sebaiknya dikelola langsung oleh pihak perusahaan, karena CSR merupakan program pemberdayaan masyarakat.
“Pengelolanya harus perusahaan, karena masyarakat belum tau. kalau masyarakat sudah tahu, mustinya mereka sudah berdaya dari dulu dong”, Urainya.
Perusahaan masuk dan kemudian menilik sampai ke akar rumput, mengetahui apa yang jadi masalahnya, selanjutnya merumuskan kebutuhan massyarakat sesuai dengan pengalaman dan pengamatan yang mereka punya. Bukan malah mengandalkan pihak ketiga yang kerap kali menjadi broker atau koruptor yang tidak tercatat.
“Pengelola pihak ketiga ini ikut menikmati juga, padahal dia tidak ada kepentingannya”, ungkap pak Jefri.
Sejurus dengan itu, YS juga bersepakat jika program CSR ini harus tetap dikelola oleh perusahaan sendiri agar capaian programnya bisa tepat sasaran dan berkelanjutan. Sebab sebelumnya, CSR ini hanya dijadikan sebagai program bagi-bagi uang oleh beberapa oknum. Padahal tindakan seperti ini sangat merugikan perusahaan, lebih-lebih masyarakat.
Kata YS, belakangan ini CSR dari perusahaan dikelola oleh Pegelola pihak ke tiga yang dibentuk oleh pemerintah, beranggotakan 3 tim yaitu tim Kabupaten, tim kecamatan, dan tim desa. Tapi, sampai saat ini CSR sama sekali belum dirasakan langsung oleh masyarakat. Maka itulah alasannya kenapa program CSR ini harus dikelola langsung dari pihak perusahaan.
“CSR ini ibaratnya anak kandung perusahaan, pertanyaannya kemudian haruskah ibu kandung menyerahkan anaknya untuk dipelihara oleh orang lain? Jika perusahaan ini betul-betul ingin memajukan area tempat beroperasinya, alangkah lebih baiknya CSR dikelola langsung oleh perusahaan supaya programnya berkesinambungan”, tegas YS.
Saat ditanya mengenai program yang ideal terkait pengelolaan CSR, Pak Jefri mengatakan, setidaknya ada 4 pilar atau program penting. Pertama adalah Kesehatan; Kedua, Pendidikan; Ketiga, Ekonomi Dan terakhir Kebudayaan.
“kalau saya selalu menggunakan 4 pilar ini, dan boleh bikin variasi dari itu dan sudah dipraktekkan dengan berhasil”, kata pak Jefri.
Salah satu kabupaten yang sudah berhasil mengelola CSR, menurut Pak Jefri, adalah kabupaten Kutai Timur, provinsi Kalimantan Timur. Bentuk pengelolaan yang mereka lakukan dengan membentuk forum CSR di bawah pengawasan perusahaan yang dikepalai oleh orang independen (bisa dari pemerintah atau pensiunan) dan Kemudian anggota forum CSR ini yaitu perwakilan dari pihak perusahaan.
“Jadi agenda mereka adalah ngumpul setiap bulan untuk membicarakan program apa melalui pengawasan perusahaan. Jadi tim ini dibayar oleh pemerintah di luar dari dana csr. Karena dana CSR tdak boleh disentuh sama sekali”, Tegas pak Jefri.
Sebelum menutup telepon, Pak Jefri memberikan pesan kepada masyarakat penuntut CSR perusahaan. Bahwa jika ingin menuntut sesuatu harus betul-betul untuk kebaikan masyarakat, bukan kepentingan pribadi. “Kamu boleh menonton, kamu boleh mengkritik, tetapi kamu tidak boleh menikmati apa-apa”.
“Mari fokus ke depan.Fokus ke program, jangan menuntut duit saja. Pola pemikiran ke belakang ini biasanya pola pikir pemerasan. Duitnya buat mereka yang menuntut saja, bukan buat program”, Ujar pak Jefri menutup pembicaraan.
Sementara itu, dalam sebuah wawancara yang dikutip kamputo.com dari Republika, Jumat (8/1), Pengamat CSR Pak Jalal mengatakan, dalam pengelolaan dana CSR bergantung dari program atau kegiatan yang dibuat oleh perusahaan tersebut. Ia membagi tiga cara pengelolaan CSR. Pertama, bila program kegiatan dikhususkan untuk karyawan perusahaan maka sebaiknya pengelolaan langsung dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Kedua, bila program atau kegiatan untuk lingkungan sekitar perusahaan, biasanya pengelolaan dilakukan dengan cara kemitraan, yakni perusahaan bekerja sama dengan kontraktor untuk lebih memudahkan pelaksanaannya. Dan yang ketiga, bila program kegiatan CSR untuk masyarakat dan jauh dari lingkungan perusahaan maka akan lebih baik bila dikelola oleh pihak ketiga.
Jalal melanjutkan, dari ketiga macam pengelolaan dana CSR tersebut, tentunya masing-masing punya kekurangan dan kelebihan. “Kalau dikelola perusahaan, kelebihannya adanya kontrol penuh. Untuk kelemahannya, tidak semua hal bisa dilakukan sendiri dan setiap perusahaan belum tentu memiliki keterampilan atau kapasitas yang mungkin dibutuhkan,” jelas Jalal.
Kemudian, sambung pendiri CSR Indonesia ini, kelebihan dari pengelolaan secara kemitraan adalah adanya penambahan sumber daya manusia (SDM). Melalui kemitraan juga bisa menghindari adanya tumpang tindih proyek. Kelemahannya, membutuhkan waktu yang lama dalam perumusan program, terlebih lagi bila ada masalah di antara keduanya.
“Tidak semua kemitraan bisa berjalan dengan indah“, kata Jalal.
Walau begitu, kelebihan bila dikelola pihak ketiga adalah adanya kemudahan yang dirasakan oleh perusahaan yang tinggal terima beres. Namun, kelemahannya adalah apabila perusahaan salah memilih organisasi yang mengelola maka sangat berpengaruh dengan jalannya program kegiatan CSR.
Dalam hal pengawasan, perusahaan harus mempunyai basis perencanaan yang baik serta mampu mendefinisikan program yang mantap dan ada indikator yang jelas. Karena, bila perencanaannya berantakan dan tidak ada indikator yang jelas maka pengawasan tidak bisa berjalan efektif.
Sementara itu, pimpinan Lembaga La Tofi School of CSR mengatakan, selama ini masih sering terjadi kekeliruan perusahaan dalam memahami CSR. Banyak perseroan yang berpikir untuk menyisihkan dana terlebih dahulu baru memikirkan program CSR apa yang akan dibuat. Padahal, lanjut dia, CSR adalah tanggung jawab sebuah perusahaan yang dirumuskan untuk melahirkan sebuah program. Setelah adanya program, barulah membuat anggaran dari dana operasioanl perusahaan.
Jalal pun mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, masih banyak perusahaan yang membuat program CSR berdasarkan proposal yang masuk ke perusahaan mereka. Akibatnya, sering kali program CSR tidak memiliki tujuan yang jelas. Hal ini pun memengaruhi pengelolaan program CSR tersebut. “Banyak perusahaan yang justru memanfaatkan CSR untuk memperbaiki hubungan perusahaan yang buruk dengan masyarakat, seperti perusakan lingkungan atau lainnya“, katanya.
Perusahaan pun kemudian mengambil jalan tengah dengan memberikan bantuan berbentuk uang. Padahal, seharusnya perusahaan memikirkan solusi dari dampak yang merugikan masyarakat.
CSR sebetulnya adalah tanggung jawab perusahaan atas dampak yang ditimbulkan, baik dampak positif maupun negatif. “Bila dampaknya negatif, perusahaan harus mengetahui seluruh potensinya dan kalau bisa hal itu tidak terjadi atau diminimalisasi. Sementara, kalau dampaknya positif hendaknya dimaksimalkan, sehingga perusahan bisa memberikan hasil positif bagi masyarakat”, terang Jalal.
Selain itu, Jalal juga melihat banyak yang menjalankan program CSR untuk tujuan pencitraan. Padahal, yang menjadi tujuan utama dari CSR adalah pembangunan berkelanjutan.
“Banyak yang menganggap CSR hanya aspek sosial saja, padahal tidak. Karena, tujuannya adalah pembangunan berkelanjutan, tentunya selalu ada aspek ekonomi, sosial, dan juga lingkungan. Sehingga, kalau ber-CSR untuk tujuan yang lain, itu namanya bukan CSR”, tegasnya.
Discussion about this post