Akhir-akhir ini, televisi swasta mulai gegap gempita menyiarkan berita yang ada kaitannya dengan kabupaten Morowali. Mulai dari siaran ceramah agama yang jadwal tayangnya pagi-pagi sekali, sampai pada permainan petak-umpet para tenaga kerja asing ilegal yang mulai betah tinggal di Morowali.
Tidak cuma sampai di situ untuk urusan siar-menyiar-tersiar, baru-baru ini televisi swasta kembali dibondong oleh KPU Morowali untuk meliput secara langsung debat terbuka calon Bupati dan calon Wakil Bupati Morowali masa bhakti 2018-2023 nanti.
Bagi saya, Ini patut disyukuri. Tidak menutup kemungkinan, barangkali saja ada orang luar daerah yang nun jauh di manapun itu, kebetulan ia menyetel siaran televisinya lalu mendapati para putra (kebetulan cuma putra saja yang ada, putri nggak ada) Morowali sedang berpanco gagasan, kan lumayan. Akan banyak yang tahu kalau orang morowali juga bisa berdebat, eh salah, maksudnya punya sumber daya manusia yang tidak kalah mumpuninya.
Baik, sebelum lanjut. Saya mau beri tahu lebih dulu. Bahwa tulisan ini tidak akan mengulas soal materi debat yang dipertontonkan baru-baru ini. Apalagi saya mau menentukan siapa yang akan jadi juaranya. Sama sekali bukan untuk itu. Saya bukan sebagai juri. Saya di sini sebagai orang yang tidak punya kerjaan dan suka mengulik hal-hal yang nirfaedah, seperti membikin tulisan yang saat ini kamu baca tentunya. Jadi saya mau tanya lagi, masih mau lanjut baca, nggak? Sila mikir dulu.
Mau? Baiklah. Mari kita lanjut, Broo~
Ada yang menarik setiap kali ada momen debat kandidat Pilkada di negeri ini. Tanpa terkecuali juga yang ada di Morowali. Tapi, bukan terletak pada saat debat tersebut digelar. Melainkan setelah acara debat itu digelar.
Coba perhatikan saja, pasti usai acara debat kandidat berlangsung, sebetulnya yang namanya debat itu belum benar-benar selesai. Masih ada lanjutannya. Hanya saja sudah diluar dari kendali pihak pelaksana, dalam hal ini KPU.
Tahukah, kamu? Saya beri tempe tahu, ya…
…Apalagi coba kalau bukan debatnya masyarakat alias debat-sosial. Iya, toh?
Mau dia pengurus partai kek, mau dia tim sukses kek, petani, nelayan sampai pengurus rumah tangga orang lain, kelihatannya tidak bakal mampu untuk tidak melibatkan dirinya dalam ruang perdebatan ini. Cuma bedanya, isi perdebatannya: mendebatkan hasil debat kandidat. Ya, hasil debat yang diperdebatkan. Bisa paham kan, goys?
Kemudian diantara orang-orang yang lagi berdebat itu, pasti akan selalu muncul insan bijak yang berusaha untuk menengahi situasi. Apalagi kalau situasinya sudah rada-rada hangat, hakulyakin saja kalau di situ akan nongol insan bijak tersebut. Tentu saja dengan kalimat sapu jagadnya yang dianggap mampu melerai: “Sudah… Sudah, tidak perlu berdebat, Pilih saja sesuai dengan hati nurani”.
Eitsss… Tunggu, tidak perlu berdebat? Itu tidak salah? Coba dipikir-pikir lagi.
Begini, siapa lah masyarakat itu sampai bisa menahan diri untuk tidak terlibat pada ruang perdebatan. Lha, para kandidat saja bahkan dibuatkan acara resmi untuk berdebat, kok! Coba bayangkan, acara resmi, loh. Masa iya masyarakat tidak boleh ikutan berdebat. Hadeh!
Jadi, daripada mencegah agar masyarakat tidak berdebat, mending pastikan saja diri sendiri untuk tidak terjangkit penyakit iri, hasut, dan dengki. Itu mungkin akan lebih berfaedah bagi diri sendiri dan juga orang lain. Juga barangkali bagus untuk kesehatan jantung.
Supaya yang muncul itu adalah sikap welas asih dari dalam diri. Karakter yang begini-begini kadang mulai pamit satu-satu kalau sudah beda pilihan politik, apalagi kalau masih riak-riak Pilkada begini. Banyak orang yang emosinya lebih tinggi ketimbang urat malunya.
Kecuali memang ada hasrat tersembunyi dibalik ramah-tamahnya seseorang, ya tahu sendirilah maksudnya bagaimana. Cuma, tetap saja kita jangan keburu suudzan. Kali saja itu betul-betul sikap yang ikhlas tanpa tedeng aling-aling.
Bukan apa-apa, berharap agar dalam masyarakat tidak terlibat perdebatan dalam situasi Pilkada macam sekarang, bukan tidak bisa atau mau pesimis, tapi bagi saya ini terlalu musykil. Karena sama saja ketika imam sedang rukuk, makmumnya malah disuruh salam. Kan tidak nyambung. Masa calon pemimpin bisa berdebat, terus masyarakat mau dilarang-larang berdebat? Tidak demokratis sekali, Bung!
Kalau memang mau supaya masyarakat itu tidak ikut berdebat, ya calon pemimpin kita jangan saling bertanduk berdebat dong. Masyarakat kita ini kan paling lihai dalam urusan meniru. Sedangkan budaya dari negeri barat yang jauhnya minta ampun sana bisa ditiru, apalagi cuma tingkah polah para calon pemimpinnya yang jaraknya itu hanya sejauh jangkauan percikan liur dan ingus orang bersin.
Makanya kalau ketemu gerombolan masyarakat yang sedang berdebat, kasih biar saja. Mau distop juga pasti tidak bakalan bisa. Selama debatnya cuma sama-sama saling lempar bau mulut argumen, bukan debat otot, saling adu ilmu doti (santet), pokoknya biarkan saja. Nanti juga kalau sudah mengantuk, pasti akan bubar dengar sendirinya itu tanpa diminta.
Toh, perdebatan seperti ini juga tidak bakalan bertahan lama. Selesai momen Pilkada, selesai pula perdebatan itu. Makanya memang dianjurkan sekali kalau di momen Pilkada seperti ini jangan pernah coba-coba pakai perasaan. Berat, kamu nggak kuat. Bisa-bisa tenggelam dalam rasa-rasa yang mengecewakan lagi menyakitkan nantinya. Halah. Wihihihi.
Untuk itu, yang masih suka berdebat, sila saja berdebat. Asal pastikan kondisi perut sedang normal—bukan malah sebaliknya, berdebat demi mengisi isi perut sendiri, loh—buat Jaga-jaga saja supaya tidak baper alias baku perang. Karena boleh jadi, hari ini kita berdebat, besok lusa… kita sudah suap-suapan. Eh, bisa jadi kan lawan debat kita saat ini ternyata jodoh kita nantinya. Kan?! Krik-krikkk
Benarlah kata orang-orang. Bahwa dalam politik itu, tidak ada yang namanya kawan sejati dan lawan abadi. Yang abadi itu hanya punya Tuhan saja. Sementara kawan atau lawan itu punyanya manusia. Dan sejati, adalah milik mie instan yang harganya seribu perak itu: Mie sejati.
Discussion about this post