• About
  • Contcat Us
Thursday, June 12, 2025
Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
Kamputo.com
  • Login
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore
No Result
View All Result
Morning News
Home Ulasan Opini

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 1): Reformasi Birokrasi Yang Masih Berkutat Pada Kegiatan Simbolis

Aksan by Aksan
12/06/2025
in Opini
0
Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 1): Reformasi Birokrasi Yang Masih Berkutat Pada Kegiatan Simbolis

Reformasi birokrasi telah menjadi janji normatif dalam setiap kontestasi politik nasional maupun local. Praktiknya kerap terperangkap dalam sekat-sekat administratif yang kaku dan simbolis. Di Kabupaten Morowali, wacana ini kembali mengemuka setelah terpilihnya pasangan Iksan–Irene sebagai Bupati dan Wakil Bupati, yang dalam dokumen visi-misinya menegaskan komitmen pada tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Namun, sebagaimana telah menjadi perhatian dalam berbagai literatur kebijakan publik, reformasi birokrasi tidak bisa dimaknai sebagai sekadar penguatan sistem teknokratis atau digitalisasi prosedur layanan, tetapi harus menyentuh jantung struktural dari bagaimana kekuasaan dijalankan, bagaimana sumber daya dikelola, dan bagaimana masyarakat dilibatkan. Pendekatan ini sejalan dengan arah kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010–2025, yang menekankan pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik dalam membicarakan urusan dan kepentingan publik.

Problem birokrasi di Morowali jauh lebih dalam ketimbang sekadar lambatnya digitalisasi arsip atau rendahnya disiplin pegawai. Di balik berbagai klaim inovasi pelayanan dan keterbukaan informasi, tersembunyi struktur birokrasi yang masih terjebak pada logika kuantitatif semata—mengukur keberhasilan berdasarkan jumlah penerima manfaat atau besaran anggaran yang terserap, alih-alih pada kualitas dan dampak. Misalnya, keberhasilan program pendidikan hanya dinilai dari pencapaian angka penerima bantuan, bukan pada bagaimana bantuan itu menjawab kebutuhan riil atau meningkatkan kapasitas mahasiswa. Ini menandakan absennya evaluasi berbasis manfaat (outcome-oriented evaluation) yang mestinya menjadi ruh dari tata Kelola modern.

BACA JUGA

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 6): Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 5): Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Lebih jauh lagi, dalam konteks 100 hari kerja Iksan–Irene, birokrasi Morowali belum menunjukkan tanda-tanda restrukturisasi mendasar. Kurangnya langkah konkrit dalam rotasi pejabat struktural atau penyegaran sistem mutasi jabatan memperlihatkan bahwa birokrasi masih dikendalikan oleh pola patronase lama.

Bahkan pendataan ulang tenaga honorer cenderung bersifat administrative semata—belum menyentuh persoalan laten seperti resistensi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terhadap inovasi, minimnya prinsip organizational learning, serta absennya budaya kolaboratif lintas sektor dalam menangani isu-isu krusial seperti Pendidikan, lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Reformasi birokrasi di Morowali, dengan demikian, belum menjadi “gerakan perubahan” yang transformatif. Ia masih bersifat simbolik, berhenti pada retorika, namun gagal menghidupkan partisipasi warga secara substantif. SKM (Survei Kepuasan Masyarakat), misalnya, belum dilakukan secara merata dan belum dipublikasikan secara terbuka. Padahal, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, PERMENPAN Nomor 14 Tahun 2017,  dan peraturan daerah terkait mewajibkan pemerintah daerah melakukan Survei Kepuasan Masyarakat (SKM) secara berkala. SKM ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh unit pelayanan publik di suatu daerah. 

Di sisi lain, perencanaan partisipatif digantikan dengan sistem proposal top-down yang justru mengaburkan makna partisipasi itu sendiri. Padahal, partisipasi publik bukan hanya bentuk pelibatan simbolik, tetapi merupakan hak masyarakat yang dijamin oleh Pasal 18 dan 20 UU No. 25 Tahun 2009, yang mewajibkan penyelenggara layanan publik untuk membuka akses informasi dan melibatkan masyarakat dalam penyusunan kebijakan. Situasi ini menunjukkan bahwa semangat reformasi yang dijanjikan dalam visi-misi hanya menyentuh permukaan, belum menyentuh struktur kekuasaan dan pola relasi yang membentuk birokrasi lokal selama ini.

Dalam konteks inilah, perlu diajukan pertanyaan mendasar: Apakah 100 hari kerja pertama Iksan–Irene telah menjadi titik tolak reformasi birokrasi yang sejati, atau justru memperpanjang kelanggengan struktur birokrasi lama dalam kemasan digital dan slogan modernisasi? Tulisan ini berupaya menjawab pertanyaan tersebut, dengan membuka ruang refleksi kritis atas komitmen, capaian, dan tantangan nyata dalam membangun birokrasi yang benar-benar melayani masyarakat, bukan sekadar mengulang administrasi lama dengan gaya baru.

Komitmen Reformasi Birokrasi dalam Visi-Misi Bupati Iksan–Irene

Dalam dokumen visi-misinya, pasangan Bupati dan Wakil Bupati Morowali, Iksan–Irene, menyampaikan komitmen kuat terhadap reformasi birokrasi. Janji tersebut idealnya dikemas dalam tiga pilar utama: membangun birokrasi yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), meningkatkan kapasitas dan integritas aparatur sipil negara (ASN), serta memperluas penggunaan teknologi informasi dalam layanan publik. Tiga hal ini menjadi dasar dari harapan masyarakat terhadap perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan daerah, terutama dalam mengatasi ketimpangan pelayanan dan lemahnya akuntabilitas institusi publik.

Namun, sebagaimana yang sering terjadi dalam politik lokal, komitmen reformasi birokrasi tidak bisa hanya diukur dari narasi visi-misi. Ia harus diuji dalam praktik keseharian pemerintahan, dan salah satu momen penting untuk melihat itu adalah dalam 100 hari pertama masa kerja, ketika ekspektasi masyarakat masih tinggi dan janji kampanye masih segar dalam ingatan.

Capaian Awal dalam 100 Hari: Langkah-Langkah Administratif

Selama 100 hari kerja pertama, Pemerintah Kabupaten Morowali telah mengambil beberapa langkah administratif yang disebut sebagai bagian dari reformasi birokrasi. Di antaranya adalah penguatan koordinasi antar-Organisasi Perangkat Daerah (OPD), serta pendataan ulang aparatur desa dan tenaga honorer. Namun, langkah-langkah ini masih cenderung berfokus pada aspek prosedural dan administratif semata, belum menyentuh akar persoalan birokrasi yang lebih dalam seperti sistem patronase yang mengakar, rendahnya keterbukaan informasi publik,serta minimnya partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan dan evaluasi pelayanan.

Padahal, semangat reformasi birokrasi secara tegas menyatakan bahwa perubahan birokrasi harus mencakup aspek struktural dan kultural, tidak hanya administratif. Reformasi diarahkan untuk menciptakan birokrasi yang profesional, berintegritas, dan bebas dari praktik-praktik nepotisme dan patronase politik. Di samping itu, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik wajib dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Tanpa menyentuh aspek transparansi dan keterlibatan warga, langkah administrative tersebut hanya memperkuat wajah lama birokrasi dalam kemasan baru—jauh dari transformasi yang diharapkan.

Kritik tajam dapat diarahkan pada satu hal krusial: tidak adanya perencanaan yang jelas terkait rotasi atau mutasi jabatan struktural dalam 100 hari pertama. Hal ini menjadi indikator bahwa komitmen reformasi birokrasi belum disertai langkah konkret dalam menata ulang struktur kekuasaan internal yang selama ini stagnan dan tertutup terhadap evaluasi kinerja, baik dari segi kualitas maupun asas manfaat.

Mutasi pejabat memang hak prerogatif bupati, namun hak ini harus dijalankan secara profesional, transparan, dan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Sebab jabatan publik menyangkut pelayanan kepada masyarakat, bukan sekadar urusan pribadi atau politik. Hak prerogatif bupati tetap harus dijalankan dalam koridor hukum dan etika pemerintahan. Mutasi pejabat struktural diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil tentang Manajemen PNS (dan perubahannya) Harus melalui tim penilai kinerja atau uji kesesuaian (job fit) untuk jabatan tinggi pratama.

Pada masa awal pemerintahan, seharusnya telah dirancang arah kebijakan jangka menengah, termasuk pemetaan kompetensi jabatan, penyusunan standar kinerja pejabat struktural, serta penyusunan skenario rotasi dan mutasi sebagai bentuk penataan birokrasi ke depan. Grand Design Reformasi Birokrasi Nasional 2010–2025 secara eksplisit menekankan pentingnya manajemen sumber daya manusia berbasis merit system, termasuk perencanaan pengembangan karier melalui rotasi dan mutasi yang sesuai dengan kompetensi dan kebutuhan organisasi.

Dalam pendekatan manajemen publik modern dan prinsip Good Governance, perencanaan rotasi dan mutasi merupakan upaya mendesain ulang birokrasi agar lebih adaptif, efisien, dan akuntabel (Lihat Pollitt & Bouckaert, 2017 dan Dwiyanto 2009). Dengan kata lain, ketiadaan perencanaan ini menandakan belum hadirnya visi reformasi birokrasi yang transformatif, dan hanya memperkuat kecenderungan birokrasi sebagai struktur yang mempertahankan status quo, bukan sebagai instrumen pelayanan publik yang progresif dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Dalam konteks reformasi birokrasi, rotasi dan mutasi pejabat bukanlah sekadar formalitas. Ia adalah mekanisme penting untuk mencegah pembentukan “kerajaan kecil” di setiap OPD, menghindari praktik KKN yang mengakar, serta membangun kembali semangat meritokrasi dalam ASN. Ketika pejabat struktural dibiarkan tetap pada posisinya tanpa evaluasi terbuka, maka birokrasi cenderung melestarikan pola kerja lama yang tidak produktif, tidak adaptif terhadap perubahan, dan anti kritik.

Mirisnya lagi, tidak adanya diskursus serius terkait keterbukaan dalam proses mutasi pejabat—baik dari standar evaluasi kinerja, hingga dasar keputusan—membuka ruang spekulasi bahwa politik balas budi dan loyalitas personal masih menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan. Ini berlawanan dengan prinsip reformasi birokrasi yang semestinya menjunjung tinggi akuntabilitas, profesionalisme, dan transparansi.

Ketimpangan Antara Visi dan Implementasi

Gap antara visi ideal reformasi birokrasi dan realitas lapangan terlihat sangat nyata. Meskipun layanan digital diluncurkan sebagai bagian dari modernisasi birokrasi, efektivitasnya belum merata, terutama di wilayah pedesaan yang minim akses internet dan pendampingan teknis. Adopsi teknologi baru sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia, dan konteks sosial budaya (Lihat:Rogers, 2003). Tanpa kesiapan ini, inovasi teknologi cenderung tidak berfungsi optimal.

Lebih jauh, UU No. 25 Tahun 2009 menegaskan bahwa pelayanan publik harus mengedepankan prinsip kemudahan, kesetaraan, dan keterjangkauan bagi seluruh masyarakat (Pasal 7), sehingga ketimpangan akses digital ini menunjukkan adanya kegagalan dalam memenuhi prinsip-prinsip tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pembaruan teknologi saja tidak cukup untuk menjawab kebutuhan pelayanan publik, melainkan harus disertai reformasi struktural dan perubahan budaya birokrasi yang lebih mendalam agar pelayanan bisa efektif dan inklusif.

Masyarakat, khususnya kelompok muda, mahasiswa, dan tokoh sipil lokal yang kritis, juga merasakan keterasingan dari proses perubahan ini. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses evaluasi dan pengawasan merupakan kunci keberhasilan reformasi birokrasi karena memperkuat akuntabilitas dan transparansi (Fung & Wright, 2003). Namun, kenyataannya, keterlibatan mereka masih sangat minim dan proses reformasi seringkali berjalan dengan pendekatan yang elitis dan eksklusif.

Kurangnya keterlibatan masyarakat ini berarti prinsip-prinsip demokrasi deliberative belum terpenuhi dalam praktik reformasi birokrasi yang digaungkan.Dengan demikian, meskipun penerapan teknologi digital adalah langkah maju, tanpa didukung oleh reformasi struktural yang memperkuat kapasitas organisasi dan perubahan budaya birokrasi, serta tanpa keterlibatan nyata masyarakat, reformasi birokrasi berisiko hanya menjadi formalitas administratif yang elitis dan jauh dari tujuan awalnya untuk menciptakan birokrasi yang profesional, responsif, akuntabel dan partisipatif.

Catatan Kritis dan Tantangan Struktural

Reformasi birokrasi bukan hanya agenda teknokratis, tetapi politik dan budaya. Dalam konteks Morowali, tantangan utamanya antara lain:

  1. Budaya birokrasi yang top-down masih mendominasi, menghambat ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat, ukuran kinerja masih bersandar pada kuantitas bukan kualitas dan asas manfaat.
  2. Tidak adanya sistem evaluasi terbuka, membuat publik tidak bisa menilai kinerja ASN secara objektif.
  3. Minimnya kontrol sipil terhadap birokrasi menciptakan ruang gelap yang sulit ditembus oleh pengawasan masyarakat.
  4. Struktur lama yang kuat dan resisten terhadap perubahan (kaku) membuat inovasi birokrasi berjalan lamban.

Arah Reformasi: Menuju Transparansi dan Partisipasi

Jika Pemerintahan Iksan–Irene benar-benar ingin konsisten dengan komitmen awalnya, maka reformasi birokrasi harus dipahami bukan sebagai proyek teknis atau seremonial. Ia harus menjadi gerakan perubahan yang terbuka, jujur, dan mengakar.

Beberapa langkah yang perlu segera diambil:

  1. Rotasi jabatan berbasis evaluasi kinerja, dengan dokumen penilaian yang bisa diakses publik.
  2. Sistem rekrutmen ASN dan pejabat struktural yang terbuka, dengan proses seleksi yang diawasi oleh lembaga independen.
  3. Pelibatan aktif masyarakat (kelompok muda, mahasiswa, akademisi dan lainnya), termasuk dalam forum evaluasi pelayanan publik.
  4. Audit berkala terhadap kinerja OPD, bukan hanya oleh Inspektorat Daerah, tapi juga pihak ketiga yang independen dan kredibel.
  5. Perubahan struktur kerja organisasi pemerintah perlu diarahkan untuk membangun budaya kerja yang adaptif, melalui penyederhanaan hierarki, fleksibilitas peran, dan penguatan koordinasi lintas sektor. Transformasi dari pola kerja kaku menuju struktur yang lincah (agile) dan responsif menjadi kunci menghadapi dinamika kebijakan, teknologi, dan kebutuhan masyarakat.

Reformasi birokrasi tidak bisa ditunda atau diabaikan dalam retorika. Ia menuntut langkah nyata, keberanian politik, dan keterlibatan publik. Dalam 100 hari pertama, Pemerintah Morowali belum menunjukkan keseriusan reformasi sebagaimana yang dijanjikan. Tanpa perubahan dalam struktur kekuasaan birokrasi, reformasi hanya akan menjadi slogan, bukan kenyataan. Kini, bola ada di tangan pemimpin daerah: akan melanjutkan praktik lama, atau memulai babak baru birokrasi yang melayani rakyat.

***Tulisan ini merupakan edisi khusus “Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali” yang terbagi dalam beberapa part. Anda bisa mengaksesnya dalam link di bawah ini:
Part 2: Persampahan Yang Krisis Tata Kelola

Part 3: Bantuan Mahasiswa Yang Jalan Tanpa Arah

Part 4: Layanan Kesehatan Yang Tidak Menyentuh Krisis Struktural

Part 5: Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Part 6: Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural

Tags: BahodopiliterasiMahasiswamediaMorowali
Next Post
Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 2): Persampahan Yang Krisis Tata Kelola

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 2): Persampahan Yang Krisis Tata Kelola

Discussion about this post

  • Home
  • Siber
  • Tentang Kami
  • Ketentuan Kami
  • Kontak Kami

© 2020 Kamputo.com - Dev by IT KAMPUTO.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore

© 2020 Kamputo.com - Dev by IT KAMPUTO.