Masih lekat dalam ingatan akan perhelatan akbar Festival Sombori pada akhir November tahun lalu yang digadang-gadang dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Sombori. Enam bulan berlalu, namun upaya tersebut agaknya kurang membuahkan hasil dan boleh dikata jauh dari apa yang diharapkan. Pada libur tahun baru, tahun ajaran baru, maupun libur lebaran sangat sedikit wisatawan yang terlihat menghabiskan waktu ke Sombori. Destinasi wisata yang sejak 2019 lalu telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Morowali tersebut dan diharapkan menjadi destinasi wisata baru di kawasan Timur Indonesia nyatanya tidak mampu memantik kunjungan wisatawan, bahkan untuk sekadar wisatawan lokal.
Di laman sosial media saat ini, sangat sedikit bahkan nihil dijumpai postingan orang-orang yang mengunjungi Sombori untuk berlibur selain mereka yang memang sedang memiliki tugas atau urusan di daerah Pulo (red:pulau). Padahal Sombori dikenal dengan sebutan miniatur Raja Ampat karena eksotisme gugusan karang dan pemandangan bawah lautnya yang begitu menakjubkan. Sejak awal dibuka hingga tahun lalu saat pandemi masih melanda, Sombori masih ramai dikunjungi. Namun sekarang, wisatawan perlahan mulai meninggalkan Sombori dan mencari destinasi wisata baru.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Tidak lain dan tidak bukan adalah karena kurang maksimalnya pengelolaan dan pengembangan pariwisata yang dilakukan oleh para stakeholder terkait dalam hal ini Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Morowali. Sebuah cuplikan video dari seorang warga di salah satu pulau di Kawasan Konservasi Perairan Sombori beredar luas di sosial media. Video dengan durasi 34 detik tersebut berisi keluhan seorang warga yang merasa kebijakan Disporapar Morowali tidak memberikan sumbangsi apapun pada masyarakat yang bermukim di daerah pariwisata Sombori.
Mereka menuturkan bahwa dulunya wajib lapor berlokasi di Balai Desa Mbokita namun ujug-ujug dialihkan ke home stay milik Pemda yang berada di Pulau Kayangan. Akibatnya perputaran ekonomi tidak lagi terjadi di desa tersebut. Padahal menurutnya, saat balai desa masih dijadikan sebagai tempat wajib lapor, masyarakat masih dapat mengais rezeki lewat pembelian air minum maupun pop-ice yang tidak seberapa. Namun saat kebijakan tersebut berubah, satu per satu warung milik warga tutup dan sekarang hanya tersisa satu saja.
Kebijakan Disporapar tersebut bukanlah kebijakan baru sebab telah berjalan selama dua tahun lamanya. Nahas, dampaknya baru kelihatan sekarang. Dulu masyarakat berharap dapat diberdayakan oleh Pemda sehingga mereka setuju untuk memindahkan wajib lapor tersebut. Namun ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan dan membuat kehidupan mereka malah berujung sengsara.
Bagi mereka yang belum pernah berkunjung ke Sombori mungkin akan sangat senang ketika diajak mengunjungi pulau yang disebut sebagai hidden gem Sulawesi ini. Namun bagi mereka yang telah berulang kali berkunjung ke sana, Sombori sekarang hanya sekadar tempat yang membuat diri tidak betah berlama-lama. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Igun, salah seorang mahasiswa yang baru saja mengunjungi Sombori pada pertengahan bulan lalu.
“Banyak sampah, jembatannya banyak yang rusak, pokoknya jelek”, ujarnya.
Igun menuturkan bahwa Sombori mulai kehilangan ruhnya. Pemandangan bawah laut dan bebatuan karang pada pulau-pulaunya tidak didukung dengan pembangunan sarana dan prasarana yang memadai. Sampah-sampah yang berserakan tak kunjung dibersihkan, bahkan terkesan diabaikan. Jembatan-jembatan penyeberangan sudah banyak yang rusak sehingga menyulitkan akses bagi para wisatawan. Bahkan Pulau Kayangan yang pada tahun lalu menelan korban juga tak kunjung mendapatkan pengawasan sehingga para wisatawan yang akan mengambil foto di spot berbahaya tersebut merasa was-was.
Selaras dengan pernyataan Igun, Sahrir yang baru saja mengunjungi Sombori pada akhir bulan lalu juga menuturkan hal yang sama. Sahrir mengungkapkan bahwa fasilitas destinasi wisata di pulau tersebut perlu perbaikan secara massif agar tidak membahayakan para wisatawan yang datang berkunjung.
“Fasilitasnya waktu saya dari Sambori kurang bagus, kayunya sudah mulai lapuk, banyak lubangnya, ditambah catnya sudah pudar”, ucapnya.
Pengelolaan pariwisata di Kawasan Konservasi Perairan Sombori memang masih sangat kurang. Berbagai fasilitas yang dibangun oleh Pemda Morowali nyatanya hanya menjadi bangunan “berhantu” karena lama tidak digunakan. Tak hanya itu, manajemen pengelolaannya juga masih amburadul sehingga acap kali ada oknum-oknum nakal yang memanfaatkan kesempatan. Seorang tour guide yang tidak ingin disebutkan namanya mengeluhkan ketidakjelasan tarif yang dibanderol oleh Pemda Morowali. Retribusi yang seharusnya dibayarkan sejumlah Rp 10.000 sesuai yang tertulis pada karcis masuk malah membengkak menjadi Rp 15.000. Dan hal tersebut telah berulang kali terjadi, namun tidak banyak hal yang mereka bisa lakukan selain menerima perilaku oknum-oknum nakal tersebut.
“Di karcis kan ta tulis 10 K, tapi disuruh bayar 15 K”, tuturnya.
Selaras dengan hal tersebut, seorang mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya juga mengeluhkan hal yang hampir sama persis. Dirinya yang tengah mencari data untuk kebutuhan tugas akhir dibuat geleng-geleng kepala dengan kenyataan yang ada. Saat dirinya menanyakan berapa PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Morowali di sektor pariwisata, Kadis Disporapar tidak mampu memberikan nominal pasti.
“Masih kecil”, ucapnya.
Padahal untuk mengetahui PAD Morowali di sektor pariwisata bisa diketahui melalui rekapan kunjungan wisatawan; berapa banyak karcis yang terjual, berapa banyak home stay yang disewa, dan lain sebagainya yang menjadi sumber pemasukan.
Tak dapat dimungkiri, Sombori terkesan dibiarkan tumbuh tanpa pengelolaan yang pasti dari si empunya tuan rumah. Hal ini tampak pada beberapa pembangunan proyek yang tidak fungsional dan terkesan mubazir. Proyek yang diharapkan memudahkan wisatawan malah menghalangi dan mengurangi nilai originalitas dari kawasan tersebut. Bahkan Pemda Morowali selalu berkoar-koar akan menjadikan Sombori sebagai destinasi ekowisata unggulan Sulawesi Tengah karena dinilai mirip Raja Ampat Papua. Mendengar ini, saya hanya bisa manggut-manggut sebab saya yakin yang mengucapkan pernyataan ini belum pernah mengunjungi langsung Raja Ampat.
Dalam pembangunan kawasan objek wisata perairan, terdapat empat elemen penting yang harus diperhatikan di antaranya nilai sosial-budaya, lingkungan, ekonomi, dan kelembagaan. Keempat komponen ini harus seimbang, tidak ada yang tumpang-tindih, semuanya harus padu satu sama lain. Sayangnya dari apa yang terjadi di Sombori memperlihatkan jika elemen yang ditonjolkan hanya dari aspek ekonominya saja. Pembangunan sarana dan prasarananya tidak memperhatikan aspek tata ruang, masyarakat sekitar tidak diberdayakan, dan pembangunannya yang tidak memperhatikan kaidah konservasi. Sombori yang seharusnya dibiarkan perawan malah dirusaki dengan pembangunan fasilitas pendukung yang tidak tepat guna. Akibatnya para wisatawan yang awalnya excited untuk mengunjungi Sombori akan menelan kenyataan pahit mengingat Sombori yang sesungguhnya tidak sebagus yang dipromosikan, pun yang diunggah di sosial media.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan agar Sombori dapat berbenah menjadi wisata kelas dunia?
Pertama, membuat grand desain kawasan Sombori. Hal ini perlu dan penting dilakukan sebab Sombori telah menjadi kawasan konservasi perairan sehingga pembangunan di sekitar kawasan tersebut harus memiliki konsep yang jelas, tidak asal bangun, dan tidak menyalahi aturan. Kalau kekurangan sumber daya manusia, Pemda Morowali dapat menggaet anak muda zaman now yang dijamin kreatif, inovatif, dan banyak ide. Kalau kekurangan anggaran, pembangunan bisa dilakukan secara bertahap asal berkelanjutan dan berkesinambungan. Jangan terkesan dipaksakan atau sekadar “mencari proyek”. Atau kalau tidak mampu, serahkan saja ke sektor swasta.
Di Morowali, begitu banyak fasilitas publik yang terkesan asal bangun tanpa memperhatikan pemeliharaannya. Material yang digunakan kurang bagus sehingga bangunan yang bisa bertahan lama malah cepat rusak. Salah satu hal yang perlu diperhatikan di Sombori saat ini adalah memperbaiki fasilitas pendukung seperti dermaga perhubungan, home stay, WC/kamar mandi, warung makan, air bersih, dan papan informasi.
Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang terus berulang seperti pembangunan infrastruktur di Pulau Kayangan. Sekilas tidak ada yang salah dengan pembangunan tersebut, hanya saja sarana dan prasarananya dibangun pada salah satu objek wisata yang sering dikunjungi oleh para wisatawan yaitu Pasir Putih Kayangan. Apa tidak ada lokasi lain yang bisa menjadi alternatif selain Pasir Putih Kayangan?
Home stay yang dimiliki Pemda pun bahkan mengalami hal yang sama. Penggunaan seng alih-alih rumbia sebagai material penutup atap bagi sebagian pihak dinilai dinilai tidak tepat. Seorang pengguna sosial media Facebook bahkan pernah berujar bahwa home stay milik Pemda Morowali tak ubahnya seperti sebuah rumah kebun, tidak layak jual.
Pemakaian material penutup atap tidak boleh sembarangan sebab harus mempertimbangkan beberapa hal seperti fungsi, estetika, dan kondisi alam eksisting yaitu arah matahari dan angin. Jika kondisi alam seperti angin di sekitar lokasi wisata mempunyai karakter tenang, maka bisa memakai material penutup atap rumbia. Selain menambah estetika bangunan, atap rumbia tersebut juga bisa mengangkat nilai kearifan lokal dan memperindah tampilan fasad bangunan wisata pantai. Namun jika angin di sekitar lokasi lebih sering angin kencang/ribut, maka lebih baik menggunakan seng.
Kedua, membentuk tim pengelola profesional. Sudah saatnya Sombori memiliki tim pengelola agar manajemen pengelolaannya jelas dan terkoordinir dengan baik. Kondisi dari bangunan-bangunan di Sombori umummnya tidak terurus dan mulai mengalami kerusakan karena tidak memiliki penjaga. Dua tahun lalu, pernah ada kasus di mana seorang penjaga yang berasal dari Pulau Dongkalang ditugaskan menjaga Sombori namun hanya bertahan selama sebulan. Pekerjaan yang dilakoninya tak sebanding dengan pendapatan yang diterimanya. Si penjaga tersebut diminta untuk wajib lapor (tanda tangan) 2 minggu sekali ke kantor Dinas Pariwisata Kabupaten Morowali yang membutuhkan transportasi laut dan darat untuk bisa sampai tujuan dengan durasi waktu ±6 jam. Walhasil, si penjaga kemudian memilih berhenti.
Kondisi yang sama juga terjadi pada menara pantau. Sebenarnya pembangunan menara ini penting adanya agar dapat memantau setiap pengunjung dan kapal yang sedang berkunjung ke Sombori. Namun, pembangunan menara tersebut terkesan asal jadi tanpa ada tindak lanjut untuk memfungsikannya. Sampai sekarang, menara yang dibangun di Pulau Mbokita tersebut tidak memiliki pengawas sebagaimana mestinya sehingga keberadaannya menjadi bangunan hantu.
Ketiga, memaksimalkan destinasi wisata lain. Menurut pegiat wisata Ifan Bente, di Kabupaten Morowali terdapat sekitar 50 destinasi wisata dan beberapa di antaranya berlokasi di dekat Kawasan Konservasi Perairan Sombori utamanya di Kecamatan Bungku Selatan. Selama ini, strategi yang dilakukan Pemda untuk menggaet wisatawan adalah dengan memaksimalkan satu destinasi wisata saja. Padahal, destinasi wisata pendukung juga harus mendapat perhatian agar dapat berdaya nilai jual dan terkesan tidak di anaktirikan. Wajar saja jika para pelaku travel menjual paket Labengki-Sombori karena Pemda setempat mampu menangkap peluang itu. Sama seperti apa yang terjadi di Yogyakarta di mana paket yang dijual umumnya adalah Candi Prambanan dan Borobudur padahal keduanya berada di provinsi yang berbeda dan dengan jarak tempuh yang sangat jauh, Prambanan di Yogyakarta dan Borobudur di Magelang, Jawa Tengah.
Keempat, menggiring wisatawan untuk masuk lewat jalur Morowali. Pertanyaan paling krusial, berapa banyak wisatawan yang menunjungi Morowali melalui bandara udara Morowali? jawabannya sangat nihil. Kebanyakan mereka yang menggunakan armada udara tersebut adalah para pendatang yang akan mengadu nasib di Morowali. Salah satu alasan yang membuat orang-orang enggan masuk lewat jalur Morowali karena tiket pesawat yang dinilai mahal.
“Jadi kita kalau mau ke Morowali, kita lebih pilih lewat Kendari. Kalau lewat Morowali, pe mahal sekali tiketnya”, ujar salah satu dosen saya yang sering kali melakukan penelitian di Morowali.
Kalau ini mah bukan kebijakan Pemda, Pak!
Kita terlalu terfokus untuk mendatangkan wisatawan ke Sombori tanpa pernah berpikir untuk mendatangkan wisatawan ke Morowali. Padahal Morowali memiliki banyak destinasi wisata yang bernilai jual jika Pemda serius untuk mengembangkan destinasi wisatawa di daerah ini. Pantas saja destinasi wisata lain banyak yang mati sebab fokus pengelolaan dan pengembangan wisata hanya ditempatkan di Sombori. Lihat saja pada kondisi yang terjadi sekarang. Adakah destinasi-destinasi wisata di Morowali masih ramai dikunjungi?
Kelima, memberdayakan masyarakat sekitar. Daya tarik wisata tidak hanya terbatas pada keindahan alamnya saja tetapi juga budaya dan nilai-nilai dari kearifan lokal yang terpelihara di masyarakat. Selama ini, promosi budaya Morowali lebih banyak dipusatkan di daerah Bungku padahal potensi budaya dari Kecamatan Menui Kepulauan juga cukup banyak seperti ritual pamalupaan (izin kepada Tuhan), malupakaka (melarung ari-ari), tarawa (penyambutan gerhana bulan), mendirikan rumah, pijat tradisional, disompo (khitanan), dan penganan tradisional seperti tolimbu dan kanjoli.
Pariwisata bisa dijadikan sebagai salah satu sektor dalam pembangunan ekonomi Morowali jika dikelola dengan baik terutama Sombori yang memiliki keindahan alam bawah laut dan pulau-pulau yang memesona. Yang dibutuhkan Sombori saat ini adalah hadirnya instrumen pengelola yang bisa digunakan sebagai alat untuk memadukan aspek konservasi dan ekonomi, berkekuatan hukum serta ditopang oleh sumber daya lokal. Itulah alat pengelola yang sering dikenal dengan istilah Marine Protected Area atau Kawasan Konservasi Perairan.
Dan kalau bisa yah, Pemda Morowali dalam hal ini Disporapar harus meninjau ulang program ekowisata Sombori. Jangan terlalu terburu-buru apalagi berkoar-koar untuk menjadikan Sombori sebagai destinasi wisata masa depan jika pengelolaannya saja masih amburadul. Kalau fasilitas masih kurang, tolong ditahan dulu promosinya. Kalupun ingin promosi, sito pagamba lahi-seperti yang orang Bungku bilang. Dengan kata lain, jika ingin menjadikan Sombori sebagai destinasi wisata baru sebaiknya berbenah dulu, fasilitas pendukung segera diperbaiki dan pengelolaannya harus jelas. Karena kalau tidak, jatuhnya buang-buang anggaran.
Discussion about this post