Dalam tata kelola pemerintahan, program 100 hari kerja idealnya menjadi ruang awal untuk menguji arah kebijakan kepala daerah, menerjemahkan visi-misi ke dalam strategi sektoral, dan memperlihatkan komitmen terhadap reformasi struktural. Dalam literatur administrasi publik, ini dikenal sebagai fase konsolidasi—yaitu masa kritis untuk membangun pondasi pemerintahan yang responsif dan terarah (Peters, 2019). Namun, pembacaan atas laporan resmi 100 hari kerja Pemerintah Kabupaten Morowali memperlihatkan hal sebaliknya: sejumlah program diperlakukan sebagai ruang selebrasi, bukan konsolidasi.
Sektor pertanian menjadi korban paling jelas dari kekosongan strategis ini. Dari puluhan program yang dilaporkan, hanya dua yang menyentuh pertanian secara langsung: pembentukan tim verifikasi pupuk bersubsidi dan larangan alih fungsi lahan. Tidak ada peta jalan pertanian, tidak ada perencanaan kawasan produksi pangan, dan tidak ada penguatan kelembagaan petani. Padahal visi pemerintahan Iksan–Iriane menjanjikan “kemandirian” dan “keadilan” —dua hal yang seharusnya bertumpu pada keberdayaan desa dan pertanian.
Dalam kerangka kerja pembangunan, kegagalan mengaitkan program 100 hari dengan perubahan struktural disebut sebagai bentuk policy inertia—yaitu kecenderungan melanjutkan pola lama tanpa berani menyusun arah baru (Howlett & Ramesh, 2003). Pemerintah tampaknya lebih sibuk menyenangkan hari ini, ketimbang membangun hari esok. Maka tak heran bila sektor pertanian tetap dipinggirkan, sementara konflik ruang, stagnasi produksi, dan ketimpangan akses terus berlanjut.
Dalam 100 hari kerja pertamanya, Pemerintah Kabupaten Morowali belum menunjukkan pemahaman substansial atas makna strategis program ini. Alih-alih membangun transisi kebijakan yang progresif, 100 hari pertama justru diisi dengan tindakan-tindakan simbolik yang luput dari transformasi sektoral. Pertanian, yang seharusnya menjadi tulang punggung visi daerah, justru diabaikan di awal pemerintahan.
Ketahanan Pangan: Sebuah Janji yang Terperangkap dalam Bantuan Teknis
Ketahanan pangan merupakan konsep besar yang mencakup ketersediaan produksi, akses yang adil, stabilitas pasokan, dan keberlanjutan ekologi. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah kerap menyederhanakan makna ketahanan pangan menjadi sekadar distribusi input—seperti pupuk dan benih—tanpa menyentuh struktur yang menopang produksipangan itu sendiri (FAO, 2016). Inilah yang terjadi di Morowali: retorika ketahanan pangan hadir tanpa kerangka kebijakan yang transformatif.
Pembentukan tim verifikasi pupuk bersubsidi, misalnya, adalah langkah administratif yang penting, tetapi terlalu teknokratis untuk menjawab problem struktural. Tidak dijelaskan bagaimana basis data petani diperbaiki, tidak ada sistem distribusi yang transparan, dan tidak ada pelibatan kelompok tani dalam pengawasan. Bantuan pupuk akan terus meleset dari sasaran jika distribusi dikendalikan oleh elite lokal tanpa mekanisme akuntabilitas publik.
Kebijakan larangan alih fungsi lahan juga perlu dibaca secara hati-hati. Secara normatif, larangan ini penting untuk menjaga ruang produksi pangan. Namun tanpa peta kawasan pertanian strategis, tanpa perlindungan hukum atas tanah petani, dan tanpa pengawasan tata ruang, kebijakan ini tak lebih dari imbauan moral. Di lapangan, alih fungsi lahan terus berlangsung—baik secara legal maupun terselubung—terutama di sekitar kawasan industri ekstraktif.
Yang paling mengkhawatirkan, tidak satu pun program diarahkan pada penguatan kelembagaan petani. Tidak ada koperasi tani yang dibentuk atau diperkuat, tidak ada pelatihan kewirausahaan agraria, dan tidak ada integrasi dengan pasar lokal maupun regional. Dalam kondisi seperti ini, petani tetap berjalan sendiri di tengah tekanan biaya produksi yang tinggi dan fluktuasi harga yang tidak menentu.
Dalam literatur ekonomi politik agraria, kondisi semacam ini disebut sebagai disempowerment through neglect—petani dibiarkan dalam kesulitan, bukan karena ditindas secara langsung, tetapi karena tidak pernah menjadi prioritas dalam kebijakan (Vijayabaskara and Menon, 2018). Padahal data BPS 2023 menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga di kecamatan-kecamatan seperti Bumi Raya, Bungku Barat, dan Witaponda masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Tetapi suara mereka tidak cukup kuat untuk menembus birokrasi dan politik anggaran daerah.
Dengan demikian, janji ketahanan pangan yang digaungkan pemerintah daerah belum menyentuh persoalan substansi. Tanpa infrastruktur produksi, tanpa perlindungan harga, tanpa kelembagaan tani, dan tanpa kejelasan arah produksi pangan lokal, ketahanan pangan hanya akan menjadi proyek musiman yang disandarkan pada logika distribusi, bukan transformasi.
Konflik Agraria dan Ruang Hidup: Mediasi Bukan Solusi Struktural
Di tengah stagnasi kebijakan pertanian, Pemerintah Kabupaten Morowali patut diapresiasi karena mencoba menengahi sejumlah konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Dua kasus yang disorot adalah penolakan warga terhadap pipa intake di Sungai Karaupa dan konflik agraria di Desa Matarape. Ini menunjukkan adanya kesadaran awal bahwa pembangunan industri tidak bisa dilepaskan dari potensi dislokasi sosial dan ekologis.
Namun, sejauh ini mediasi hanya menghasilkan penyelesaian sementara, bukan perlindungan jangka panjang terhadap hak-hak agraria masyarakat. Konflik agraria di Morowali bukan hal baru. Laporan WALHI (2024) dan AEER (2024) dalam beberapa tahun terakhir mencatat bahwa banyak lahan pertanian masyarakat diambil alih oleh konsesi tambang atau proyek infrastruktur tanpa proses partisipatif yang layak.
Ironisnya, sebagian besar lahan yang disengketakan justru merupakan lahan subur dan produktif yang selama ini menopang ekonomi desa. Tetapi dalam kebijakan 100 hari kerja, tidak tampak satu pun langkah ke arah reforma agraria, pengakuan hak atas tanah garapan, atau penyusunan peta kawasan pertanian berkelanjutan.
Dalam sudut pandang keadilan ekologis, kehilangan lahan tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga mencabut hubungan manusia dengan ruang hidup yang diwarisi secara turun-temurun (Schlosberg, 2007). Petani tidak sekadar kehilangan alat produksi, tetapi juga kehilangan identitas sosial, rasa aman, dan jaringan komunitas yang menyokong keseharian mereka. Namun narasi seperti ini tidak ditemukan dalam pendekatan kebijakan Pemerintah Kabupaten Morowali. Konflik hanya dilihat sebagai masalah hubungan antar-aktor, bukan sebagai akibat dari struktur ruang yang timpang dan eksploitatif.
Mediasi, dalam konteks ini, menjadi solusi jangka pendek yang menunda reformasi struktural. Pemerintah tidak membentuk lembaga penyelesaian sengketa agraria, tidak membuat regulasi perlindungan petani dari kriminalisasi, dan tidak mengintegrasikan isu agraria ke dalam dokumen perencanaan daerah. Akibatnya, petani tetap berada di garis depan konflik tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Oleh karena itu, tanpa keberanian untuk menyusun kebijakan perlindungan ruang hidup petani, sektor pertanian Morowali akan terus digerus oleh logika pertumbuhan industri. Mediasi tidak bisa menggantikan keadilan agraria. Dan pembangunan yang adil tidak bisa berdiri di atas tanah yang diperebutkan.
Kelembagaan dan Sistem Data: Ketika Petani Menjadi Objek, Bukan Subjek
Salah satu pilar penting dalam pembangunan pertanian adalah kelembagaan yang kuat dan sistem informasi yang akurat. Namun dua hal ini justru absen dalam 100 hari kerja Pemerintah Morowali. Kelompok tani tidak diperkuat sebagai organisasi produksi, koperasi tidak didorong sebagai instrumen pemasaran, dan tidak ada forum petani daerah yang dijadikan ruang dialog kebijakan. Akibatnya, relasi antara petani dan pemerintah tetap bersifat hierarkis dan paternalistik.
Dalam aspek data, kondisi lebih memprihatinkan. Tidak ada dashboard pertanian, tidak ada basis data petani by-name-by-address yang terbuka, dan tidak ada integrasi data spasial untuk keperluan zonasi dan distribusi bantuan. Pemerintah masih mengandalkan pendekatan proposal dan data dinas yang tertutup, padahal teknologi informasi memungkinkan pengelolaan data yang transparan dan real-time.
Ketiadaan data menyebabkan kebijakan tidak presisi. Bantuan sering tidak sampai ke petani yang benar-benar aktif, distribusi pupuk tidak mencerminkan kebutuhan per komoditas, dan penganggaran tidak berbasis produktivitas wilayah. Padahal dalam model pembangunan berbasis bukti (evidence-based policy), data adalah fondasi dari seluruh keputusan publik.
Tanpa forum partisipatif dan sistem data yang terbuka, pertanian Morowali akan terus terjebak dalam pola bantuan yang karitatif. Petani tidak dianggap sebagai produsen yang mandiri, tetapi sebagai objek pembangunan yang hanya diberi bantuan sesekali. Dalam jangka panjang, ini menciptakan ketergantungan dan apatisme, bukan kemandirian.
Rekomendasi: Membangun Arah Baru Pembangunan Pertanian Morowali
Apa yang tergambar dari 100 hari kerja Pemerintah Kabupaten Morowali adalah absennya arah strategis yang menjadikan pertanian sebagai prioritas kebijakan. Program-program yang dijalankan lebih menonjolkan logika administratif ketimbang kerangka transformasi. Ketahanan pangan hanya dimaknai sebagai distribusi pupuk, bukan penguatan sistem produksi. Sementara itu, konflik agraria yang meminggirkan ruang hidup petani ditanggapi sebatas mediasi kasus per kasus tanpa upaya perlindungan jangka panjang. Kurang ditemukan desain kawasan pangan, penguatan koperasi, dan tidak ada langkah reformasi terhadap distribusi sumber daya agraria yang timpang.
Lebih dari itu, lemahnya kelembagaan petani, ketiadaan forum partisipatif, dan buramnya sistem data menandakan kegagalan membangun ekosistem pertanian yang adil dan berdaya. Petani tetap diposisikan sebagai penerima bantuan, bukan sebagai aktor pembangunan.
Maka, rekomendasi yang ditawarkan di sini bukan sekadar teknis, melainkan ajakan untuk menyusun ulang orientasi politik pembangunan sektor pertanian Morowali—agar benar-benar mencerminkan semangat kemandirian desa, keadilan ruang hidup, dan kedaulatan pangan yang dijanjikan dalam visi pemerintahan Iksan–Iriane.
1. Reformulasi Konsep 100 Hari Kerja sebagai bagian dari siklus perencanaan pembangunan jangka menengah, bukan sekadar daftar program. Setiap program harus terhubung langsung dengan visi sektoral dan RPJMD.
2. Penyusunan Peta Jalan Pertanian yang memuat zonasi kawasan lindung pangan, komoditas unggulan per kecamatan, dan strategi penguatan produksi berbasis wilayah.
3. Digitalisasi dan Transparansi Data Petani, termasuk sistem distribusi pupuk, bantuan alat, dan pelaporan kelompok tani. Data ini harus terbuka, partisipatif, dan digunakan sebagai dasar alokasi.
4. Penguatan Kelembagaan Petani dan Koperasi Agribisnis melalui pelatihan, insentif, dan integrasi dengan BUMDes. Pemerintah harus memfasilitasi kelembagaan yang memungkinkan petani mengelola produksi dan pemasaran secara kolektif.
5. Pembentukan Regulasi Perlindungan Agraria, termasuk lembaga mediasi konflik lahan, penetapan zona pertanian lestari, dan jaminan hak atas tanah bagi petani kecil.
6. Pembangunan Infrastruktur Produksi dan Rantai Nilai seperti jalan tani, gudang desa, pasar petani, dan pengolahan hasil pertanian. Arah kebijakan harus bergeser dari bantuan input ke penguatan sistem agraria lokal.
Dengan keberanian politik dan kejelasan arah, sektor pertanian Morowali bisa bangkit menjadi fondasi ekonomi desa yang kuat. Tanpa perubahan struktural, semua program hanya akan menjadi seremonial tahunan yang tidak menyentuh akar persoalan. Dan tanpa petani yang berdaulat, Morowali yang mandiri dan berkeadilan hanya akan menjadi visi tanpa pijakan nyata.
***Tulisan ini merupakan Part 6 dari edisi khusus “Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali” yang terbagi dalam beberapa part. Anda bisa mengaksesnya dalam link di bawah ini:
Part 1: Reformasi Birokrasi Yang Masih Berkutat Pada Kegiatan Simbolis
Part 2: Persampahan Yang Krisis Tata Kelola
Part 3: Bantuan Mahasiswa Yang Jalan Tanpa Arah
Part 4: Layanan Kesehatan Yang Tidak Menyentuh Krisis Struktural
Discussion about this post