Apa sebenarnya yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali hingga permasalahan dari zaman baheula seperti pemadaman bergilir dan buruknya jaringan telekomunikasi sampai saat ini masih sulit untuk diatasi?
Pertanyaan tersebut sekilas terbesit dalam pikiran kala melihat perdebatan netizen di kolom komentar sosial media Facebook. Melalui sebuah postingan yang meminta ketua PLN Rayon Bungku untuk mengundurkan diri karena dianggap tidak becus mengatasi permasalahan lampu di Morowali, netizen saling beradu argumen. Ada yang pro dan kontra.
Perdebatan tersebut semakin memanas karena Bupati Morowali pada salah satu media mengatakan bahwa permasalahan listrik bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah melainkan kewenangan dari BUMN dalam hal ini PLN.
Adalah hal yang lumrah ketika masyarakat meminta kepala PLN mengundurkan diri dari jabatannya. Pasalnya sudah sepekan terakhir terjadi pemadaman bergilir se-Kabupaten Morowali. Bayangkan saja, kabupaten yang konon masuk dalam daerah C-20 atau kabupaten dengan pendapatan tertinggi di Indonesia malah harus tetap berjibaku dengan dunia jahiliyahnya yang penuh dengan kegelapan. Sungguh sebuah ironi!
Memang dibandingkan saat Morowali menjadi daerah otonom baru dan sekarang, kondisi Morowali sudah jauh lebih baik. Jika dulu masyarakat mengandalkan lampu pelita dan lampu petromak gas, diselingi listrik yang hanya menyala pada malam hari, sekarang masyarakat bisa merasakan listrik 24 jam. Namun, kondisi ini tidak menyasar seluruh wilayah Morowali.
Di Kec. Bahodopi misalnya, yang menjadi pusat pertambangan sering kali mendapat pemadaman lampu setiap minggunya dengan durasi waktu ± 8 jam. Surat cinta dari PLN selalu datang dengan alasan bermacam-macam. Mulai dari pemeliharaan mesin, pengujian mesin, pemotongan pohon, dan sederet alasan lainnya.
Padahal, supplai listrik di Morowali bersumber dari tiga pembangkit listrik yaitu PLTU PT IMIP, PLTA Desa Sakita, dan PLTD Desa Bahoruru. Itupun daerah seperti Wata, Ambunu, dan Uedago di Kec. Bungku Barat harus mendapat supplai listrik dari Kolonodale, Morowali Utara yang juga sedang mengalami pemadaman bergilir. Ahh Ribet
Yang membingungkan lagi, daerah yang memiliki tiga pembangkit listrik, plus bantuan listrik dari PLN Kolonodale, masih terus mengalami permasalahan lampu.
Padahal pihak PLN seharusnya memiliki defense scheme yaitu skema proteksi yang digunakan dengan tujuan menjaga sistem kelistrikan jika sewaktu-waktu mengalami hal yang tidak normal pada sistem operasi. Selain itu, skema tersebut juga mampu meminimalkan dampak gangguan pada sistem, mengatasi kondisi N-1 tidak terpenuhi, dan mengatasi adanya kenaikan beban. Namun, penggunaan defense scheme ini membutuhkan biaya yang besar karena pembangkit cadangan (back-up) yang dibutuhkan cukup banyak. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pihak PLN Bungku selama ini telah menjalankan defense scheme atau tidak ? menurut kamu?
Pemadaman lampu yang sering kali terjadi sudah tidak bisa ditolerir. Sebab listrik menjadi kebutuhan primer masyarakat untuk membantu jalannya perekonomian. Sehingga pemadaman bergilir yang tak berkesudahan tak pelak akan merugikan secara ekonomi. Apalagi, Morowali sedang menjadi sasaran investasi dari luar sehingga infrastruktur seperti listrik menjadi hal yang tidak boleh disepelekan. PLN harus konsisten dan bertanggungjawab untuk memberikan kenyamanan pada konsumen.
Memang, masalah kelistrikan merupakan wewenang dan tanggungjawab PLN, namun bukan berarti Pemda Morowali lepas tangan. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) pada Lampiran CC angka 5, sub Urusan Ketenagalistrikan, pemerintah daerah memang tidak memiliki kewenangan yang kuat mengenai ketenagalistrikan nasional, namun ketentuan tersebut bukan berarti melarang pemerintah daerah untuk berbuat sesuatu seperti membangun pembangkit tenaga listrik demi mengatasi masalah ketenagalistrikan.
Pertanyaannya adalah apakah selama ini Pemda Morowali sudah melakukan tugasnya?
Permasalahan listrik akan berkelindan dengan terganggunya jaringan telekomunikasi. Hal ini disebabkan karena perangkat transimisi sinyal atau BTS (Base Tranceiver Station) mengandalkan listrik PLN sebagai daya sumber utamanya. Walaupun BTS memiliki cadangan listrik dari generator set (genset) dan baterai, namun keduanya tidak akan bertahan lama. Genset hanya akan bertahan jika banyak pasokan solar, pun baterai hanya bertahan 2-3 jam saja. Sedangkan kenyataan lapangan menunjukkan jika kebanyakan BTS tidak memiliki cadangan listrik karena adanya anggapan bahwa tidak akan terjadi mati lampu.
Buang jauh-jauh impian untuk menjadikan Morowali sebagai Smart City dengan infrastruktur pendukung yang tidak mumpuni. Pemda seharusnya lebih aware bahwa menggembor-gemborkan program yang wah namun nihil hanya akan membuat masyarakat tambah muak. Masyarakat sudah terlalu kenyang dengan bija-bija yang selama ini dilontarkan dengan mengatasnamakan rakyat. Sudahi bija-bijanya, mari berbuat untuk masyarakat demi terealisanya Morowali Sejahtera Bersama.
Discussion about this post