Bagi mereka yang sekarang jadi anak rantau, entah itu merantau untuk melanjutkan pendidikan, bekerja, dan lain sebagainya, mungkin sudah familiyer dengan satu prinsip yang saya sendiri pun sampai saat ini tidak tahu dari mana usal usulnya.
Prinsip itu berkaitan dengan jalinan kesosialan para anak rantau. “Kalau merantau di kampung orang, tidak usah bergaul dengan teman yang sesama kampung”, kira-kira begitulah bunyi pesan-pesannya.
Saya tidak tahu apa motivasinya orang-orang yang seperti ini. Apa iya mereka malu kalau ditahu berasal dari kampung atau pedesaan? Terus mau jadi sok-sokan jadi anak kota begitu?
Kita hidup di zaman yang sudah mulai menghilangkan batas-batas wilayah dengan adanya internet yang sudah tembus sampai ke pelosok-pelosok, dan kamu masih malu kalau dikenal sebagai anak kampung/desa? Hadeh… Segitunya, vroh!
Emang kenapa sih kalau jadi orang kampung/desa? Kalau memang dibilangi kampungan, ndeso, kuno, toh yang penting kita masih punya kampung. Bisa tumbuh besar dengan adat istiadat yang kental, budaya gotong-royong yang tidak dibungkus sandiwara, dan yang paling penting: sesama tetangga masih bisa saling mengenal satu sama lain, bahkan kadang kala bisa barter makanan.
Gini loh, saat ini akses sudah begitu terbuka lebar. Kita sudah bergeser ke zaman teknologi-informasi. Baik dia anak kota maupun anak desa, zaman sudah tidak memandang asal muasal daerahnya. Sehingga yang akan menjadi pembeda dari keduanya adalah siapa yang punya informasi dan dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk kemajuannya.
Toh, selama ini untuk mengakses informasi melalui internet, tidak pernah juga harus melalui seleksi pemeriksaan dengan pertanyaan: “kamu orang kota apa orang desa? Jawab jujur, nggak pakai bohong!”. Kan, tidak! Tetap saja faktor penentunya itu quota atau wifi.
Saya memang dari dulu paling risih dengan orang-orang yang lagaknya macam begitu. Terutama pada teman yang sama-sama sedang kuliah diperantauan. Dari kampung itu disuruh datang sekolah, cari ilmu, bukan malah datang jadi orang yang sok ke-kota-kota-an. Kentara juga itu bau badannya orang yang memang sering makan pizza dengan yang makan nasi-mie-ikan asin.
Gegara yang begini ini makanya mulai muncul sudah istilah-istilah sindiran yang terlontar dari sesama anak-anak rantau. Besar hati memeluk kota, tapi sayang… ekonomi moleu (layu).
Oh, ya… balik lagi ke soal prinsip tadi! (Sorry, kebawa perasaan soalnya. Wihihih)
Ini yang kadang bikin saya geleng ubun-ubun. Apabila mendapati seorang teman yang sudah sampai pada laku membatasi diri untuk tidak bergaul dengan sesama anak rantau yang asalnya sekampung.
Alasan yang paling andalan katanya, “jauh-jauh kasih tinggal kampung halaman, masa cuma itu-itu juga yang mau diteman akan, cuma bikin rugi waktu saja”, dan beragam alasan-alasan wagu lainya yang musykil dicerna oleh akal sehat anak rantau.
Begini, Lau! (Sapaan untuk laki-laki dalam bahasa bungku). Tidak ada yang melarang untuk bergaul dengan siapapun ketika kita merantau, termasuk bergaul dengan orang-orang selain dari teman sekampung. Silakan, bebas. Justru dilain sisi, itu malah sangat dianjurkan. Karena memang begitu banyak manfaatnya. Dan saya tidak perlu lagi untuk menjelaskannya di sini. Pasti sudah bisa paham lah.
Tapi… Ini ada tapinya. Bukan berarti juga sudah tidak mau bergaul dengan teman sekampung. Ini keliru menurut saya. Hidup terpisah dengan kampung halaman, tidak mesti juga harus melonggarkan tali persekawanan dan persaudaraan dengan teman sekampung. Apalagi ini tinggal di tempat rantau yang lokasinya sama.
Sama halnya berteman dengan orang yang tidak sekampung, berteman dengan orang sekampung ditanah rantau juga punya sisi yang tidak kalah manfaatnya buat kita selaku anak rantau. Contoh paling sederhana, saat-saat kita lagi merindukan kampung halaman, bersenda gurau bersama teman-teman sekampung ternyata cukup ampuh untuk mengobati kerinduan.
Dengan teman sekampung, ada banyak hal yang bisa kita lakukan yang itu sama dengan yang kita lakukan di kampung halaman. Semisal, bikin acara modui (semacam papeda/kapurung yang bahan dasarnya adalah sagu) bersama sambil bercengkrama menggunakan bahasa daerah. Saya pikir itu akan menciptakan suatu momen yang tidak kalah apiknya seperti halnya di kampung halaman.
Dan… Pokoknya masih banyak lagi faedah-faedah yang akan kita rasakan. Bisa buktikan sendirilah.
Untuk itu, bagi kamu yang sampai saat ini masih di tanah rantau, tapi sangat jarang dan bahkan tidak pernah bergaul dengan teman sekampung, sudah waktunya kamu ber-‘tobat’.
Selesaikan bacaan ini, lalu whatsapp temanmu, “Fali (teman), di mana posisi? 20 ribu di sini, baku tambah-tambah torang baru modui“.
Discussion about this post