Layaknya kematian yang menampilkan pelbagai macam prosesi upacara adat agar jenazah dapat mencapai alam arwah dengan lancar, kelahiranpun juga demikian. Upacara kelahiran dilakukan untuk tujuan memperkenalkan bayi pada dunia baru yang akan dijalaninya ke depan.
Pada dasarnya, ritual seperti ini dilakukan hampir di seluruh wilayah Indonesia sebagai bagian dari daur hidup seseorang yang mengandung nilai-nilai luhur kehidupan. Tulisan berikut akan membahas terkait tahapan upacara adat yang dilalui oleh masyarakat Bungku ketika melahirkan.
Prosesi pertama disebut meki’ana atau bersalin dibantu seorang dukun (dalam bahasa lokal disebut sando) yang akan memisahkan antara bayi dan tukaka (ari-ari) dengan cara memotong lolai (plasenta) menggunakan simbulu (sembilu). Sebelumnya, lolai akan diikat dengan benang dan simbulu disterilkan menggunakan kunyit dengan cara digosok-gosok.
Untuk memotong lolai, tangan kiri sando memegang lolai, kunyit, dan sekeping uang logam sambil tangan kanan mengayunkan simbulu pada lolai. Setelah terpisah, tukaka dicuci bersih dan diletakkan di atas boru (pelepah sagu), dibungkus menggunakan kain putih, dan kemudian ditanam di dalam tanah.
Untuk menanam tukaka memperhatikan beberapa aturan yaitu kedalaman tanah ±50 cm, berbentuk silinder, menyedikan dua piring yang berfungsi sebagai wadah dan penutup bagi si tukaka, dan menindihkan batu besar pada si tukaka yang telah ditanam.
Lokasi penanaman antara tukaka laki-laki dan perempuan berbeda dan masing-masing ditanami pohon kelapa yang akan menjadi milik si bayi kelak ketika dewasa. Untuk tukaka laki-laki ditanam di dekat pintu depan rumah dengan harapan si bayi nantinya bisa menjadi calon kepala keluarga yang berani mengembara dan hidup mandiri.
Sedangkan untuk tukaka perempuan ditanam di belakang atau samping rumah dekat jendela agar kelak ketika besar ia menjadi seorang istri yang betah berada di dalam rumah. Setelah itu dilanjutkan dengan acara makan bersama sebagai perwujudan rasa syukur atas kelahiran anggota baru.
Setelah melahirkan, sando akan merawat ibu dan bayi dengan cara memandikan mereka dua kali sehari yaitu pada setiap pagi dan sore selama tujuh hari berturut-turut. Mereka akan inandu (dipijit) dan sinandu (diurut) agar otot-otot kembali kencang serta diberi rebusan obat-obatan untuk diminum (khusus si ibu).
Setelah itu dilakukan acara merou (membasuh muka) bagi semua orang yang menyaksikan proses kelahiran maupun yang hanya melihat darah. Prosesinya dimulai pada bayi kemudian dilanjutkan ibu si bayi, sando, dan orang-orang yang terlibat dengan menggunakan air sumur atau air tempayan ember.
Untuk mengambil air merou tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang karena yang berhak mengambilnya hanya seorang anak yang masih lengkap orangtuanya. Air tersebut diambil pada dini hari saat belum disentuh oleh orang lain dengan harapan si bayi memiliki sifat tenang seperti air yang belum terjamah oleh orang lain. Dalam upacara tersebut, ada beberapa alat dan perlengkapan upacara yang harus disediakan di antaranya piring mangkuk, uang logam perak, emas, kapas, dan damar.
Setelah menjalani acara merou, bayi baru bisa diperkenankan untuk keluar rumah (umumpa). Namun, bayi diwajibkan memegang uta-uta (api puntung) daria, dan sebilah pisau untuk melindungi bayi dari gangguan roh. Pada prosesi ini, bayi akan dibawa di rumah kerabat untuk diberikan ucapan, doa, dan pesan-pesan agar si bayi dapat menjalani kehidupannya dengan baik kelak ketika dewasa. Setelah itu, si kerabat akan diberikan unsobiri (penutup telinga) berupa sarung, baju, uang, atau bibit tanaman tertentu.
Prosesi selanjutnya adalah mepoleti (balas jasa kepada dukun) yang dilakukan dengan cara memberikan seserahan tertentu sebagai ungkapan terima kasih karena telah membantu proses lahiran sampai merou. Seserahan tersebut berupa kebutuhan rumah tangga baik diberikan secara langsung atau dimasak terlebih dahulu.
Bahan seperti ±4 liter beras, dua sisir pisang raja, minyak kelapa, gula, teh, kopi, garam, dan terigu diberikan secara langsung, sedangkan seserahan yang dimasak terlebih dahulu berupa gula pasir, gula merah, 4 butir telur, dua sisir pisang raja, ketupat, kue, dan sepiring nasi. Selain bahan-bahan kebutuhan rumah tangga, para sando juga biasanya dikasih uang, ihilendo (seikat padi dan sebungkus sagu), dan seperangkat pakaian.
Prosesi terakhir dari serangkaian upacara kelahiran adalah mebokulu atau gunting rambut yang terdiri atas empat tahap pengguntingan. Jika bayi laki-laki yang mebokulu, maka pemotong terakhir harus menggunting rambut anak perempuan yang hadir. Sebaliknya, jika bayi perempuan yang mebokulu, maka rambut anak laki-laki yang akan digunting. Hal ini dilakukan atas dasar kepercayaan bahwa baik laki-laki maupun perempuan nantinya harus berpasangan satu sama lain.
Setelah itu, semua potongan rambut akan dimasukkan ke dalam poti dan oleh seorang pinoko pelanda atau orang yang dituakan akan menginjakkan kaki bayi pada pokondo, mapu, poti, serta metona (berdoa) agar kelak bayi tersebut dapat kokoh seperti kokohnya rumput pokondo, sejuk kehidupannya seperti sejuknya Daun Mapu, dan bersih dan tenangnya hati si bayi laiknya air poti.
Ritual khusus yang dilakukan pada bayi baru lahir bukan sekadar tradisi turun-temurun saja, melainkan memiliki makna filosofi, harapan, serta doa-doa baik. Namun dewasa sekarang, prosesi tersebut sudah mulai ditinggalkan karena program pemerintah mewajibkan untuk siapapun yang akan bersalin harus melalui prosedur dokter.
Akibatnya, para Sando yang selama ini bertugas untuk membantu ritual kelahiran mulai kehilangan pamornya sebagai penguasa sentral persalinan di dalam masyarakat. Padahal prosesi merou, umumpa, dan mepoleti adalah serangkaian acara yang memiliki nilai-nilai luhur kehidupan sehingga keberadaanya sepatutnya tetap menjadi perhatian untuk dijadikan sandaran filosofis dalam prosesi kelahiran di tanah Bungku.
Referensi:
Mahid, Syakir., 2002. “Sosialisasi Nilai Budaya dalam Keluarga di Lingkungan Etnis Bungku”, dalam Tesis Universitas Gadjah Mada.
Discussion about this post