Pada medio 2016 lalu, saya terlibat dalam research collaboration antara Jepang dan Indonesia di Goa Vavompogaro, Desa Topogaro, Kec. Bungku Barat. Di sana kami memperoleh informasi tentang keberadaan Suku Wana di pedalaman Hutan Desa Topogaro. Mereka adalah beberapa anggota kelompok Suku Wana yang masih mempertahankan kehidupan leluhur dan juga jauh tersentuh dari peradaban modern.
Berbekal dari informasi tersebut, Tim Kamputo.com melakukan ekspedisi menembus belantara hutan untuk bertemu Suku Wana pada awal bulan lalu (8/10). Kami mengawali perjalanan dari Kota Bungku menuju pemberhentian terakhir di Desa Tondo dengan waktu tempuh ±45 menit.
Sayangnya, kendaraan yang kami gunakan tidak mampu menembus medan menuju hutan belantara tempat Suku Wana bermukim. Di sana, kami menemui salah satu aparat Desa Tondo untuk menggali informasi awal. Kami diarahkan mengunjungi salah satu pemukiman suku Wana yang terdapat di Desa Tondo. Ya, Suku Wanaa yang tinggal jauh di atas gunung, rupanya sebagian dari mereka telah berdomisili dan menjadi bagian dari masyarakat di Desa Tondo selama beberapa tahun terakhir.
Suku Wana atau Tao Taa Wanna adalah salah satu komunitas adat tertua di Indonesia. Mereka pada umumnya mendiami lembah dan bukit-bukit di sepanjang aliran Sungai Salato tepatnya di Cagar Alam Morowali, Kabupaten Morowali Utara. Sebagian dari mereka masih menjalani kehidupan yang jauh dari peradaban modern.
Sebagai informasi, Suku Wana tak hanya mendiami Kabupaten Morowali Utara saja, beberapa pemukiman mereka juga ditemukan di Kabupaten Morowali tepatnya di Dusun Folili, Desa Topogaro, Kec. Bungku Barat.
Kami bertamu ke rumah Pak Raflin ketika musik lawas Nike Ardilla sedang menggema mengisi sudut-sudut ruangan rumah. Di balik tirai yang terbuka, beberapa warga juga terdengar tengah asik mendendangkan lagu dari salah satu musisi kenamaan Indonesia tersebut.
Melihat kedatangan kami, mereka buru-buru mematikan musik lalu menyambut kami dengan hangat. Terlihat di luar rumah, anak-anak bergerombol dan mengintip dari sela-sela jendela kayu. Keramahan dan kesederhanaan tersebut seketika membuat kami terenyuh.
Bapak Raflin adalah Kepala Dusun III Desa Tondo, sekaligus penduduk asli Suku Wanaa yang telah meninggalkan kehidupan nomadennya dan berbaur dengan masyarakat luar. Bersama penduduk suku Wanaa lainnya, mereka menghuni sebuah perkampungan kecil di Desa Tondo.
Dusun III Desa Tondo dihuni oleh sekitar 40 Kepala Keluarga (KK) yang kesemuanya adalah penduduk asli suku Wanaa. Beberapa dari mereka telah menikah dengan suku lain namun tetap tinggal dalam komunitas adat suku Wanaa. Bahkan, mereka sudah mampu berbahasa Bungku yang merupakan bahasa mayoritas di Kabupaten Morowali. Boleh dikata, mereka adalah poliglot karena mampu berkomunikasi dalam tiga bahasa di antaranya bahasa Tao Taa Wanaa, bahasa Bungku, dan bahasa Indonesia.
Ketika ditanya bagaimana mereka bisa mendiami Dusun Folili, Pak Raflin tidak dapat memberikan informasi yang cukup mendalam. Seingatnya mereka adalah bagian dari Suku Wanaa yang berada di Baturube, Kec. Bungku Utara. Leluhur mereka sudah sejak lama meninggalkan belantara hutan dari wilayah asli mereka dan kemudian bermigrasi menuju Morowali.
Mereka meninggalkan hutan dengan satu alasan, ialah akses pendidikan.
Tidak adanya bangunan sekolah di sekitar tempat tinggal mereka di Dusun Folili dan jauhnya akses menuju sekolah terdekat membuat mereka memutuskan mendirikan rumah di tengah-tengah perkampungan masyarakat luar. Kini, mereka tinggal di dua tempat yaitu di hutan untuk mencari penghidupan dan di perkampungan untuk akses pendidikan.
Pak Raflin bercerita dengan matanya yang keruh berkaca-kaca, bahwa selama ini mereka kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah terutama di bidang pendidikan. Bantuan yang mereka dapatkan selama ini kebanyakan berasal dari pemerintah Provinsi yang mereka gunakan untuk membangun rumah.
Obrolan kami kadang terhenti sebab beberapa kali beliau bolak-balik ke kamar menahan rasa haru dan rintikan air mata. Harapan besar dari kepala dusun tersebut adalah agar ada salah satu dari anggota komunitas mereka bisa sukses dan menjadi “orang besar”.
Rata-rata pendidikan terakhir dari anak-anak Suku Wanaa hanya sampai tingkatan SMA, itupun hanya beberapa orang saja. Belum ada satupun dari mereka yang berhasil sampai ke tingkat Universitas. Anak-anak yang telah lulus SMA akan bekerja serabutan mengikuti pekerjaan yang orangtua mereka lakukan.
Jika kebanyakan perempuan Suku Wanaa memilih bersekolah, maka lain halnya dengan laki-lakinya yang putus sekolah dan menjadi pengumpul batu. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, mereka hanya mengandalkan hasil pertanian dan hutan. Selain itu, mereka juga bekerja sebagai tukang sensor, pengumpul batu, pemikul kayu, dan pencari rotan. Itupun tergantung dari permintaan.
“Kami bekerja di hutan sebagai pencari rotan sedangkan di kampung sebagai pengumpul batu”, ucap Pak Raflin sambil menyeka air matanya.
Adapun Ibu-ibu Suku Wanaa tidak memiliki pekerjaan tetap selain menanam sayur-sayuran di pekarangan rumah. Hasil dari pekerjaan tersebut tidaklah seberapa, sehingga tidak cukup untuk menyekolahkan anak mereka ke jenjang perguruan tinggi.
Tanpa pendidikan, komunitas adat seperti Suku Wanaa rentan dibohongi oleh pihak yang memiliki niat tidak baik. Hutan yang menjadi sandaran hidup mereka bisa menjadi rusak dan mereka rentan mengalami diskriminasi.
Padahal, salah satu cara untuk mendampingi komunitas adat terpencil adalah dengan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan. Indikator keberhasilan pendidikan masyarakat adat ialah dengan hadirnya kader yang kuat dari masyarakat adat sendiri yang memahami adat sekaligus memiliki pengatahuan luas.
Mereka hidup dalam keterbatasan. Semangat dan keinginan kuat untuk menimba ilmu membuat mereka memutuskan turun gunung. Berusaha menjalani kehidupan masyarakat modern untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak demi generasi mereka ke depan.
Mereka tidak primitif, tidak bodoh, udik, dan kampungan. Mereka hanya berusaha mempertahankan kehidupan leluhur yang penuh kearifan.
Kita sebagai masyarakat yang mengaku modern, harus sadar akan pentingnya kehadiran komunitas adat yaitu dengan menjaga hak-hak mereka untuk tidak merusak daerah tempat tinggal mereka dan memudahkan akses pendidikan.
Akankah pemerintah terketuk hatinya untuk memperhatikan mereka ?
Discussion about this post