Jalan hauling pembangunan jetty milik PT Bintang Delapan Terminal (PT BDT) di Desa Labota sudah sepekan disegel warga. Pembangunan terminal khusus untuk operasional PT IMIP tersebut diklaim belum memiliki izin pembangunan atau ilegal di mata hukum.
Pembangunan jetty oleh PT BDT sudah aktif beroperasi dalam dua bulan terakhir. Tak jauh dari pemukiman warga, mobil sepuluh roda pengangkut bahan timbunan setiap hari melintas memotong Jalan Trans Sulawesi menuju bibir pantai lokasi reklamasi.
“Yang tidak kami terima adalah perusahaan ini sudah mulai beroperasi tanpa ada sosialisasi perizinan dan hasil Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) kepada masyarakat yang terdampak langsung,” kata Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Labota Sudirman Ishak kepada Kamputo.com, di kediamannya, Rabu (26/8).
PT BDT merupakan perusahaan khusus pembangunan pelabuhan jetty yang didirikan Shanghai Decent Investment Group Co., Ltd bekerja sama dengan PT Bintang Delapan Investama pada penghujung 2015. Kala itu, perusahaan ini mulai beroperasi mengerjakan proyek dermaga kargo curah berkapasitas 92.500 ton di Kawasan PT IMIP.
Di Desa Labota, PT BDT hendak membangun pelabuhan raksasa di atas lahan reklamasi seluas 83,32 Ha dengan ukuran dermaga 1.946 meter x 28 meter. Kawasan pelabuhan ini nantinya lebih luas dibandingkan pelabuhan jetty 1 PT IMIP yang saat ini sudah beroperasi di Desa Fatufia.
“Selama ini pihak perusahaan belum pernah melakukan sosialisasi ke warga terutama bagi mereka yang bermukim tidak jauh dari lokasi pelabuhan,” ujar Sudirman.
Kepala Desa Labota Ahmar mengaku sudah pernah melakukan koordinasi dengan PT BDT ketika hendak memulai operasi pembangunan jetty. Namun pihaknya kala itu tak bisa berbuat banyak utamanya dalam menuntut perizinan pembangunan pelabuhan karena hal tersebut merupakan kewenangan kepala pemerintahan daerah dalam hal ini Bupati Morowali.
“Saat itu pihak PT BDT mengaku siap bertanggungjawab untuk memulai operasi pembangunan meski dokumen perizinan belum lengkap,” ujar Ahmar di kediamannya, Rabu (26/8).
“Tapi akhirnya situasi sekarang berubah, masyarakat akhirnya menuntut”.
Pada 4 Juli, saat reklamasi sedang berjalan, Ahmar memimpin musyawarah antar warga untuk membicarakan rencana pembangunan pelabuhan jetty. Pertemuan tersebut kemudian melahirkan berita acara yang memuat 16 poin tuntutan masyarakat yang harus dipenuhi pihak perusahaan.
Manajemen PT IMIP baru memberikan respon terhadap berita acara tersebut pada 19 Agustus. Pada surat jawaban pengajuan bernomor 98/EXT-IMIP/LABOTA-MWL/VII/2020 tersebut, PT IMIP bersedia memenuhi sebagian besar tuntutan masyarakat, kecuali beberapa poin, salah satunya pengadaan mobil ambulance karena alasan perizinan.
Penetapan lokasi dan pembangunan pelabuhan khusus oleh PT BDT memang baru mengantongi surat rekomendasi dari Bupati Morowali Taslim bernomor 848/1087/DISHUB/XI/2019 pada 15 November 2019 silam.
Peraturan Menteri Perhubungan No.125 tahun 2018 tentang pengerukan dan reklamasi serta Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan, perusahaan diwajibkan mengurus legalitas atau perizinan terkait pembangunan pelabuhan dan kegiatan reklamasi. Untuk mendapatkan izin, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah pembuatan laporan Amdal atau dokumen kelayakan lingkungan.
Supervisor Humas PT IMIP Jaimu mengatakan pengurusan dokumen perizinan PT BDT terhambat karena situasi pandemi Covid-19 yang belum kunjung berakhir. Banyaknya aturan yang membatasi pertemuan juga menjadi penghambat pembuatan laporan Amdal yang seharusnya selesai pada bulan ini.
“Sebetulnya pada Juni, kami sudah mengagendakan sosialisasi bersama dengan pemerintah dan perwakilan masyarakat, namun semuanya batal karena pandemi,” ujar Jaimu pada pertemuan di Kantor Camat Bahodopi, Jumat (28/8).
Pengurusan perizinan pembangunan pelabuhan sebenarnya bukanlah hal yang rumit. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Morowali Rizal Badudin menjelaskan prosedur pengurusan izin pembangunan pelabuhan di Morowali hanya melalui beberapa tahap.
Setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati, pihak perusahaan kemudian diwajibkan melapor ke syahbandar di Morowali Utara untuk meminta rekomendasi.
“Kita di Morowali belum memiliki syahbandar sendiri, sehingga pengurusan rekomendasi ke pelabuhan harus melalui syahbandar di Kolonodale, Morowali Utara,” kata Rizal saat ditemui kamputo.com di kantornya, Senin (24/8).
Rekomendasi tersebut kemudian dibawa ke provinsi tepatnya pada Dinas Perhubungan Provinsi tingkat 1 untuk kemudian mendapatkan rekomendasi yang ditandatangani oleh Gubernur Sulawesi Tengah.
“Setelah itu, baru dibawa ke Jakarta untuk mendapatkan izin dari Kementerian Perhubungan,” ujarnya.
Dishub Daerah kata Rizal tidak memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada perusahaan yang tidak mematuhi prosedur sesuai ketentuan undang-undang. Pihaknya hanya sekadar memberikan teguran atau membuat laporan untuk diteruskan ke pemerintah pusat sebagai pemberi izin.
“Karena bukan kami yang mengeluarkan izin, sehingga tidak bisa memberikan sanksi penalti,” tegasnya.
Setiap enam bulan sekali Dishub turun ke perusahaan yang beroperasi di Morowali untuk melakukan inspeksi dan melihat persuratan yang dimiliki oleh perusahaan.
“Sejauh ini, hampir tidak ada perusahaan di Kabupaten Morowali yang mendapat sanksi karena pemerintah pusat tidak bisa dikibuli,” kata Rizal.
Penyegelan jalan hauling dimulai sejak Jumat (21/8). Warga Desa Labota yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Desa Labota (AMDL) memblokade jalan membawa empat tuntutan. Adalah meminta kejelasan dokumen perizinan dan laporan Amdal pembangunan jetty, izin reklamasi pantai pembangunan jetty, meminta pihak PT. BDT untuk melaksanakan sosialisasi pembangunan jetty, dan meminta perusahaan untuk memenuhi hak-hak masyarakat Desa Labota.
“Pihak perusahaan dalam menjalankan usahanya harus dapat memberikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan,” kata Koordinator Lapangan (Korlap) Yadin Lambeja usai aksi.
“Kami berharap kehadiran jetty milik PT BDT di Desa Labota dapat berkontribusi besar dalam memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat, bukan malah sebaliknya dengan memberikan kesengsaraan di desa kami”, ujarnya.
Pada Jumat (28/8) atau satu minggu kemudian, buntut penyegelan jalan hauling, pihak perusahaan bersedia memenuhi beberapa tuntutan masyarakat Desa Labota melalui sebuah pertemuan yang dimediasi oleh pemerintah Kecamatan Bahodopi di kantor kecamatan. PT BDT diperbolehkan melanjutkan aktivitas pembangunan pelabuhan jetty sembari menyelesaikan perizinan.
Gerak investasi di Morowali khususnya di Kecamatan Bahodopi kian agresif. Bangunan industri menjamur di sekeliling pemukiman warga. Percepatan investasi melahirkan diskresi di mana-mana, regulasi yang menghalang-halangi dapat ditabrak tanpa peduli.
Esensi laporan Amdal yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan melihat kelayakan terhadap lingkungan hidup hanya menjadi persuratan adminsitratif yang dapat dilengkapi secara formalitas.
Seorang warga dusun 1 Desa Labota, Ambas mengeluhkan lokasi pemukimannya yang bersisian langsung dengan lokasi pembangunan pelabuhan jetty. Sebagian besar warga dusun 1, kata Ambas akan terdampak langsung oleh kehadiran pelabuhan ini.
“Jika pelabuhan jetty ini mulai beroperasi, kami yang tinggal di dusun 1 akan lari dengan sendirinya, karena pasti di sana akan ada pembongkaran batu bara nantinya,” ujar Ambas di kantor kecamatan, (28/8).
Jika sudah demikian, apa arti lingkungan hidup bagi investasi industri yang setiap hari tumbuh di depan hidung para warga di pemukiman ?
Discussion about this post