Pagi itu, Bungku Tengah diguyur hujan deras, udara di luar rumah dingin menusuk hingga ke tulang. Dari balik jendela, seorang lelaki paruh baya berjalan membelah cuaca buruk. Saat kebanyakan orang sedang bermalas-malasan di dalam rumah, ia mantap mengatur langkah dengan jaket mantel usang menyelimuti tubuhnya.
Oleh-orang di kampung, ia memang dianggap selalu berbeda, tak gampang terbawa arus orang kebanyakan. Saat orang-orang sedang sibuk mengatur posisi tidur di waktu istirahat malam, ia masih di atas ladang sawah mengawasi tanaman dari babi hutan. Saat orang-orang sibuk menjual lahannya ke industri pertambangan, ia mantap bertahan dengan hasil panen yang tak menentu.
Namanya adalah Ramang, di kampungnya Desa Sakita , ia dikenal dengan nama Uani Sau. Sejak usia belasan, ia sudah mangerti banyak hal tentang pertanian bukan saja karena latar belakang keluarganya, sejak kecil ia mengaku sudah cocok dengan pekerjaan ini. Bertani menurutnya adalah “pekerjaan orang merdeka” dari dulu hingga sekarang.
“Keto jadi petani, nato ta pusing akono mia, tolako mekarija poundato panta (Menjadi petani tidak terikat apapun dan kita tidak perlu pusing sama urusan orang lain),” ujarnya.
Ramang sudah menggarap lahan tani miliknya selama lebih dari 40 tahun. Ketika hadir pekerjaan lain yang menjanjikan materi yang berlebih, ia tak pernah berpikir untuk beralih profesi, seperti yang dilakukan kebanyakan orang di kampungnya. Kunci Keberhasilan suatu usaha dilihat dari konsistensi, baginya, bertani memberikan kenikmatan hidup yang tidak bisa didapatkan pada pekerjaan manapun.
“Siu pongkita karija mebinta le ofoseno atau le odidino” (Jangan pernah melihat pekerjaan yang kamu lakoni dari besar atau kecilnya materi yang kamu dapatkan),”
Karena kegigihannya itu, Uani Sau dikenal sebagai petani paling berkecukupan di kampungnya. Memiliki banyak aset berharga dan mampu meyekolahkan sembilan orang anaknya sampai tingkat perguruan tinggi adalah pencapaian tertinggi bagi seorang kepala rumah tangga.
Uani Sau memiliki banyak pinombula (tanaman) baik yang bisa dipanen tahunan maupun musiman seperti cingkeh, pala, jambu mete, kakao, kelapa, merica, umbi-umbian, padi, jagung, kacang tanah, sayur-mayur, cabe, rambutan, jeruk bali, langsat, durian, dan jambu air.
Hasil panen yang kadang ia dapat tidak main-main, jagung yang ditanamnya pernah mencapai 40 kampili bara (karung besar), jika dinilai dengan rerata harga jagung per kilogram saat ini bisa mencapai enam hingga tujuh jutaan rupiah. Belum lagi tanaman lain yang tak kalah mendatangkan untung.
Meski begitu, tak jarang juga Uani Sau menemui gagal panen. Kebanyakan disebabkan oleh faktor alam seperti cuaca dan hama. Namun, segera ia menimpali, bahwa gagal dalam bertani adalah hal yang biasa.
“Keu gagal, pendeno semangat, percaya ongko jala anu moiko ta hinumpumu” (Ketika kamu gagal, tetaplah semangat karena ada yang lebih baik disiapkan untukmu).
Alam telah menyediakan semuanya, manusia tinggal memanfaatkan dan mengelolanya. Baginya, bertani adalah bentuk bersedekah, baik kepada makhluk hidup, maupun alam. Bertani menghasilkan produk yang bisa dikonsumsi manusia, bertani memelihara alam dari kerusakan, dan bertani juga memberikan makanan untuk makhluk lainnya.
Uani Sau tak pernah memaksa anak-anaknya untuk mengikuti jejaknya menjadi seorang petani. Anak-anaknya diberi kebebasan untuk memilih apa yang mereka inginkan dan apa yang ingin mereka capai dalam hidupnya masing-masing.
Beberapa anaknya yang telah menikah dan mau berkebun diberi lahan untuk dikelola sendiri sedangkan yang tidak memiliki niat tidak diberikan apapun.
Uani Sau adalah contoh konsistensi sejati seorang petani. Saat banyak orang terpelajar lulusan pertanian yang pulang menjadi buruh di pabrik-pabrik tambang, ia adalah inspirasi. Saat orang beramai-ramai menjual lahan untuk dirusak industri tambang, beliau adalah symbol kosesistensi.
Sebab mecintai alam memang perkara yang sulit, namun merasakan dampak kerusakannya adalah perkara yang sangat mudah…mudah sekali.
Hujan mulai reda, ia mengakhiri pembicaraan kami pagi itu, lalu melipat mantel usangnya yang tak berguna lagi, kemudian berjalan dan menghilang ditelan hutan yang menghijau. Sebelum pergi, ia beri saya sebait pantun;
Burung maleo tinggal di hutan
Sertanya pagi buang suara
Biar si tuan sembunyi rupa
Lama kutahu dari suara
“Ungkesio panta artino” (cari sendiri artinya), katanya sembari tertawa.
Discussion about this post