Gelombang penolakan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja (Ciptaker) menggema di seantero Indonesia tak terkecuali di Morowali.
Sebagai Kawasan Strategi Nasional, keberadaan industri di Morowali menjadi perhatian besar, sebab wilayah yang memiliki smelter terbesar se-Asia Tenggara ini mempekerjakan ribuan buruh/karyawan.
Sebentar lagi, akan dibangun pula pabrik lithium pertama di Indonesia yang tentu saja akan menjadi sasaran utama para tenaga kerja baik asing maupun dalam negeri.
Ialah Aliansi Mahasiswa dan Rakyat Morowali (AMRM) yang turut menolak Omnibus Law dengan melakukan aksi long march dari alun-alun Rumah Jabatan Bupati Morowali di desa Matansala menuju Gedung DPRD Morowali di Desa Bahoruru, Kec. Bungku Tengah.
Dalam aksi tersebut, terdapat dua hal yang menjadi tuntutan yaitu menolak Omnibus Law dan meminta DPRD Morowali untuk ikut menolak penetapan Omnibus Law.
Perwakilan massa berpendapat bahwa Omnibus Law berdampak besar terhadap masyarakat di antaranya upah minimum menjadi kebijakan provinsi sehingga daerah tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengintervensi, jam kerja atau outsourcing yang ditambah, dan status pekerja kontrak yang terus bekerja tanpa ada kepastian status dalam perusahaan.
“DPR RI bersama Pemerintah tidak mempedulikan aspirasi rakyat. Saat masyarakat sedang sibuk menghadapi pencegahan COVID-19, mereka (DPR RI) malah ngotot mengesahkan undang-undang cilaka tersebut,” kata Amrin, salah seorang demonstran kepada Kamputo.com usai aksi, Morowali, Kamis (08/10).
Mereka membakar ban. Tak peduli pada terik matahari dan imbauan protokol satgas COVID-19, massa aksi tetap bertahan di Gedung DPRD hingga tuntutan mereka terealisasi. Beberapa kali terlihat aksi saling dorong dengan pihak kepolisian yang berujung nyaris bentrok karena Ketua DPRD Kuswandi tak kunjung keluar menemui massa aksi.
Setelah beberapa saat, Kuswandi akhirnya menemui perwakilan dari massa aksi di dalam Gedung DPRD. Negosiasi berlangsung alot, saling ngotot mempertahankan pendapat mewarnai jalannya perundingan.
Buntut negosiasi tersebut membuahkan hasil berupa kesepakatan bahwa tuntutan demonstrasi disetujui oleh Ketua DPRD bersama 16 anggota DPRD lainnya yang ditandatangani dalam berita acara dengan nomor 910/741/DPRD/X/2020.
“Tuntutan penolakan Omnibus Law akan diteruskan oleh DPRD Kabupaten Morowali ke DPRD tingkat provinsi untuk kemudian diteruskan ke tingkat pusat,” tulis Kuswandi dalam berita acara yang ikut ditandatangani oleh 16 anggota DPRD Kab. Morowali.
UU Ciptaker yang baru disahkan tersebut dianggap hanya menguntungkan pihak investor dan menyengsarakan pekerja dari semua elemen.
Para mahasiswa, buruh, pelajar atau STM, dan masyarakat se-Indonesia turun ke jalan menentang Omnibus Law. Di linimasa sosial media pun turut ramai berseliweran tagar #Mositidakpercaya sebagai bentuk kekecewaan pada DPR dan pemerintah.
Lalu, mengapa Omnibus Law ini menjadi polemik ?
Omnibus Law memiliki 15 bab, 1244 pasal dengan tebal 905 halaman yang memuat aturan ketenagakerjaan dan lingkungan hidup. Beberapa pasal yang dianggap bermasalah di antaranya:
Pasal 59 tentang pekerja kontrak. Dalam UU Ciptaker terbaru, ketentuan terkait pekerja kontrak baik mengenai jenis/sifat kegiatan pekerjaan dan jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) akan sepenuhnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Padahal kebijakan ini sebelumnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan di mana pengangkatan pekerja kontrak dapat diadakan paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali dalam jangka waktu 1 tahun.
Pasal 79 tentang cuti hak pekerja. Dalam UU Ciptaker terbaru, hak cuti pekerja untuk mendapatkan hari libur dipangkas. Pemberian dan pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Jika sebelumnya perusahaan dapat memberikan cuti selama 2 bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun berturut-turut, maka kebijakan baru digantikan dengan cuti tahunan paling sedikit 12 hari setelah pekerja bekerja selama 12 bulan secara kontinuitas. Gile
Pasal 88 tentang pengupahan pekerja. Dalam UU Ciptaker terbaru, ketentuan dalam pasal ini hanya menyebut tujuh kebijakan saja padahal sebelumnya memiliki 11. Kebijakan yang dihapus di antaranya upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Selain itu, dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum pekerja. Ketentuannya akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Padahal kita tahu bersama jika pemerintah di era kiwari selalu menjadi pelayan oligarki sehingga alih-alih menyejahterakan buruh, malah nantinya berujung menyengsarakan.
Pasal 90 dan Pasal 91 dihapus dari UU Ketenagakerjaan. Padahal kedua pasal tersebut mengatur soal aturan, sanksi dan larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan. Sebelumnya, pengusaha tidak diperbolehkan untuk mengupah para pekerja lebih rendah dari ketentuan pengupahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun dihapuskannya kedua pasal tersebut dapat menyebabkan para pengusaha membayar pekerja dengan gaji di bawah upah minimum.
Pasal 93 tentang penghapusan cuti khusus pada perempuan yang sedang menstruasi. Padahal dalam ketentuan sebelumnya disebutkan bahwa pekerja atau buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Bahkan perempuan yang sakit karena mesntruasi sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan wajib dibayar oleh pengusaha. Kebijakan baru pada UU Ciptaker tentu saja merugikan pekerja perempuan sebab ada beberapa perempuan yang merasakan sakit berat saat datang bulan sehinga dapat berpengaruh pada aktivitas kerja.
Memang beberapa pasal bermasalah telah dihapus dan diubah. Namun, bagaimanapun bahasanya, Omnibus Law akan tetap menguntungkan pengusaha alih-alih buruh.
“Pro-kontra pasti selalu ada, Ini hanya tentang di mana kita sedang berpihak dan siapa yang kita bela,” tegas Amrin
Discussion about this post