Sudah menjadi rahasia umum, kalau Kabupaten Morowali adalah daerah yang sudah begitu terkenal tidak hanya di level nasional tapi juga internasional. Daerah ini dikenal bukan karena memiliki penyanyi sehebat Dian Sorowea yang beberapa minggu terakhir mengguncang panggung hiburan tanah air dengan lagunya karena su sayang itu yang juga membawa nilai tambah dengan dikenalnya Kota Maumere. Kabupaten Morowali terkenal karena sumber daya alamnya. Daerah ini memiliki lumbung nikel dengan kualitas terbaik nomor satu di Asia Tenggara dengan kadar sampai 40 persen yang tentu saja membikin para investor tidak berpikir panjang kali lebar kali tinggi untuk berinvestasi di sini.
Hadirnya investasi langsung (Direct Invesment) dalam jumlah yang besar di sektor pertambangan dan industri, ini memberi pengaruh secara makro ekonomi dengan kontribusi kedua sektor ini sebesar 61 persen. Menjadikan Kabupaten Morowali sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah, yakni sebesar 14 persen tahun 2017 atau hampir 3 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasional. Fantastis, bukan? Pertumbuhan ekonomi yang salalu tinggi dari tahun ke tahun menjadi salah satu indikator yang mengubah status daerah ini dari daerah tertinggal menjadi daerah maju sesuai dengan Perpres 131/2015 tentang penetapan daerah tertinggal tahun 2015-2019.
Ya, Morowali itu sudah diakui sebagai daerah maju, saudara-saudara…
Tapi saudara-saudara sekalian yang saya cintai dan banggakan. Sebelum kita larut dan tertidur dalam sanjungan bahwa daerah kita daerah yang kaya dan maju dengan laju pertumbuhan ekonominya yang luar biasa. Mari kita duduk dan diam sejenak, lalu berpikir. Jangan cuma duduk dan diam saja, tidak memberi faedah kalau hanya begitu. Nah, jika kita teropong lebih dalam dan masuk ke kehidupan sosial masyarakatnya, ada anomali dari data-data menggembirakan di atas.
Pertama. Kita mulai dari jumlah pengangguran. Angka pengangguran di Kabupaten Morowali dari rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2016, sebanyak 1.121 orang atau sebesar 2,29 persen dari angkatan kerja. Tahun 2017 meningkat menjadi sebanyak 1.374 atau sebesar 2,74 persen dari angkatan kerja. Situasi ini membuat, saya secara pribadi, lantas bertanya-tanya. Kenapa perusahaan yang hadir di daerah ini belum bisa mengurangi angka pengangguran? Wajar kemudian pada tanggal 12 Desember 2018 beberapa hari lalu Masyarakat Morowali tumpah ruah di jalan menyuarakan soal kesempatan kerja alias berdemonstrasi di area Smelter PT IMIP. Semoga saja masalah ini secepatnya bisa terselesaikan agar tidak terjadi lagi reuni 1212 di tahun depan. Ehhh…
Meningkatnya jumlah pengangguran adalah konsekuensi dari peningkatan jumlah penduduk yang memasuki umur 15 tahun dan tidak sedang bekerja dan bersekolah. Seseorang yang umurnya berada antara 15-64 tahun kemudian tidak bekerja dan bersekolah, otomatis akan tercatat sebagai penganggur produktif. Belum lagi keluhan saudara-saudara kita yang bekerja sebagai buruh perusahaan. Belakangan banyak yang diputus kontraknya secara sepihak. Sehingga itu tentu saja menambah jumlah pengangguran yang baru lagi. Dan, sadar atau tidak sadar di Morowali sendiri jumlahnya bertambah setiap tahun. Sehingga ini butuh perhatian biar populasi PNS alias Pengangguran Nomor Satu kita di Morowali tidak semakin beranak-pinak.
Kedua. Ini soal distribusi pendapatan yang ketimpangannya masih tinggi. Tahun 2016 gini rasio Kabupaten Morowali sebesar 0.33. Buat yang belum tahu, angka gini rasio adalah ukuran untuk melihat ketimpangan distribusi pendapatan antar penduduk. Semakin tinggi angkanya semakin tinggi pula ketimpangan atau disparitas pendapatan masyarakatnya. Angka 0.33 itu sudah cukup tinggi. Namun, ini tentu bukanlah alasan untuk kita jadi orang yang pesimistis. Saya sendiri berharap semoga tidak meningkat sampai 0.50 karena itu kategorinya sudah sangat tinggi. Kalau menyentuh angka itu, maka jelas sudah, yang nikmati pertumbuhan ekonomi itu hanya segelintir orang saja. Dan, konsekuensinya adalah… silakan pikir sendiri. Hehehe
Munculnya ketimpangan pendapatan antar masyarakat tidak selalu karena masyarakat bawah malas bekerja. Kalau soal semangat kerja tidak perlu lagi diragukan semangatnya masyarakat kita untuk bekerja. Hal ini bisa dilihat dari antusias anak-anak muda mengikuti pasar tenaga kerja (job fair) yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah beberapa minggu yang lalu. Menurut saya bukan soal semangat kerja yang menjadi akar masalahnya. Melainkan Investasi juga bisa membawa ketimpangan pendapatan jika tidak di kontrol dengan baik. Investasi besar yang berfokus pada proyek-proyek besar lagi padat modal, akan lebih banyak menggunakan tenaga mesin dari pada tenaga manusia. Sehingga pendapatan akan lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah keatas. Sementara pengaruhnya ke bawah akan meningkatkan pengangguran, tersebab kurangnya penggunaan tenaga kerja.
Ketiga. Masalah kemiskinan. Sepintas, kita melihat masyarakat kita baik-baik saja. Namun, perlu disadari bahwa Kabupaten Morowali ini cukup luas, ada sembilan kecamatan di dalamnya, dan data memberi informasi bahwa ada sebanyak 16.990 orang tahun 2017 berada di bawah garis kemiskinan. Angka yang cukup besar dan berbanding terbalik dengan status daerah yang maju dan pertumbuhan ekonomi nomor satu di Sulawesi Tengah.
Inilah beberapa gambaran terkait daerah yang sama-sama kita cintai, yang bisa dikatakan bahwa kehadiran investasi belum bisa di kelola dengan maksimal dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat Morowali. Perlu menemukan solusi ideal untuk diselesaikan dan jadi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat terutama pemangku kepentingan (Stakeholder). Jangan sampai kekayaan alam yang kita miliki menjadi kutukan yang memperlebar jurang kemiskinan. Saya masih meyakini seperti yang di katakan oleh Chenery and Syrquin, bahwa daerah yang berusaha melakukan transformasi dari sektor tradisional menuju sektor modern (industri) pada titik kedewasaan akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Jadi, tingginya pertumbuhan ekonomi sebuah daerah, itu bukan jaminan ya untuk memastikan bahwa daerah tersebut dalam keadaan yang baik-baik saja. Perlu diselami lebih dalam lagi. Dicek lebih detail lagi. Bahwa benar adanya Morowali itu kaya. Namun, apakah seluruh masyarakatnya juga ikut menikmati kesejahteraan dari kekayaan itu? Maka pengalaman kita dalam menjalani kehidupan yang disesaki dengan berbagi ketimpangan setiap hari, itulah realitas dan kenyataan Morowali yang sesungguhnya, saudaraku.
Terima kasih, terima sayang serta terima kritiks dan saran.
Discussion about this post