Kejadian naas yang semua orang dari belahan bumi manapun membencinya, baru saja terjadi di kabupaten Morowali, tepatnya di desa Keurea, Kecamatan Bahodopi, Sulawesi Tengah. Adalah konflik mengatasnamakan suku yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah berdirinya kampung-kampung di tanah To Bungku.
Konflik etnis atau pada umumnya dipahami sebagai konflik identitas merupakan konflik yang tak pernah berakhir sejak jaman manusia pada tingkatan paling primitif sampai manusia modern sekarang ini.
Perseteruan yang melibatkan kolektifitas manusia selalu menumpas manusia secara buas tanpa peduli. “Suku A membantai…”, “Suku B menghabisi…”,”orang C merampas…”, “orang D tak tahu diri”, dengan sukacita manusia saling mengungkapkan penilaian-penilaian negatif dengan pukul rata kepada semua orang yang bukan bagian dari mereka. Dan tentu ini akan segera diakhiri dengan pertumpahan darah.
Sabtu, 27 Oktober 2018 adalah hari berbelasungkawa bagi damai yang sudah lama terpelihara di tanah to bungku, Morowali. Benda tajam yang selama ini hanya digunakan dengan lazim sesuai fungsinya, saat itu sudah digunakan sebagai senjata untuk melukai hingga darah bertumpahan, hendak menunjukkan simbol kekuatan masing-masing kubu sebagaimana perang-perang besar menjijikkan lain yang sudah pernah terjadi.
Korban pun berjatuhan, tak sedikit yang nyaris menemui ajal jika tidak segera dilarikan ke rumah sakit. Situasi menjadi mencekam, kabar-kabar menakutkan terdengar dimana-mana, anak-anak, ibu-ibu, dan para orang usia renta mulai melarikan diri mencari tempat berteduh dari amukan kedua kubu yang membabi buta.
Para suami dan anak muda tentu harus berada di bagian terdepan, mempersenjatai diri masing-masing, jika harus memilih mati, tak sedikit dari mereka yang berani mengambil resiko, dengan bermodalkan emosi yang menggebu-gebu sebab merasa identitas etnis yang tidak lagi dihormati, belum lagi jika korban yang sudah berjatuhan adalah kerabat atau sanak saudara mereka. Seketika mereka berubah menjadi monster pembunuh hanya dalam hitungan waktu tak cukup semalam.
Pesan propokatif tersiar dengan cepat kemana-mana, dari grup-grup whatsapp, pesan dinding facebook, dan tentu saja dari mulut ke mulut. Jika ada pesan perdamaian, itu dianggap datang dari iblis yang tak pernah tahu situasi apa yang mereka ketahui. Bala bantuan pun datang dari mana-mana, rasa persaudaraan antar sesama etnis yang sudah lama tak pernah terlihat menjadi terbangun dengan kuat, dan penuh gairah.
Tak perlu banyak cerita untuk mengisahkan bagaimana perseteruan bermula, dengan kacamata normatif, Arogansi tentu menjadi salahsatu sebab, karena siapapun akan kesulitan berkompromi dengannya. Tak perlu jauh-jauh mengambil contoh, seorang kakak dalam strata keluarga tentu merasa harus menjadi yang paling didengarkan ketimbang seorang adik. Karena kakak yang lebih dulu lahir ke dunia, begitu juga dengan adik yang merasa paling benar dan angkuh. Ini sudah jadi hukum alam yang kita sembah sejak lama. Penduduk lokal dan pendatang tak bisa berkompromi dengan arogansi identitas masing-masing, sebab jika itu terjadi, konflik tak mungkin pernah ada.
28 Oktober 2018, Perseteruan berakhir, tak sedikit yang menjadi korban. Rumah sakit penuh isak tangis dan amarah, “dendam harus dibayar tuntas”. Malang melintang pasukan keamanan sudah lebih dulu datang menjadi benteng penghalang, amarah terbendung, dendam pun tak terbayarkan. saat tak punya cukup kekuatan membalaskan dendam, ia disembunyikan, dikubur ke lubuk hati paling gelap, menantikan saat pembalasan tiba. Konflik akan selalu berakhir dengan kengerian.
Butir kesepakatan dirumuskan hendak mengusir pihak pendatang yang terlibat perseteruan. Dilakukan dengan hukum adat atau damai secara kekeluargaan, sebab konstitusi negara tak menyiratkan adanya pengusiran rakyat dalam aturan kependudukan daerah.
Apa yang perlu kita sadari
Peneguhan atas suku dan daerah secara sadar memang terbentuk sebagai asimilasi atas perasaan kekerabatan dan persamaan dalam lingkup kecil terhadap keragaman yang berskala besar, tetapi di saat yang sama juga memisahkan diri dari suku dan daerah lain yang di dalamnya juga terdapat manusia. Begitu pula dengan perasaan senasib sepenanggungan, juga dapat rusak akibat tendensi kebencian kolektif, saling memusuhi karena perbedaan etnis, suku dan instrumen identitas lainnya.
Telah banyak dalam sejarah, konflik dan pembantaian jutaan nyawa manusia, peperangan yang berkepanjangan terjadi karena dibumbui perbedaan identitas.Terlepas dari konflik identitas yang mematikan tersebut, mesti juga disadari bahwa potensi konflik di daerah terdampak industri tentu menjadi paling dekat dan utama.
Bahodopi, Kabupaten Morowali dulu adalah desa kecil terpencil yang penuh damai dan asri. Kini telah terusil industrialisasi. Di sinilah kompleksitas masalah bermunculan. Tak jauh dari sana, konflik serupa juga pernah terjadi di daerah industri lainnya. Perebutan lahan migas Tiaka, kabupaten Morowali Utara yang melibatkan suku ta taa wana dan suku bajo turut menyumbangkan daftar korban jiwa dari kejamnya sebuah konflik. Tak cuma di situ, sejumlah daerah industri lainnya, di pelosok-pelosok Indonesia juga sudah menjadi saksi sejarah atas kebiadaban bernama konflik tersebut.
Perebutan lahan, penjarahan tenaga kerja, adat stiadat tergerus dengan masyarakat yang kian majemuk, ketimpangan modal usaha, politisasi, selalu menjadi tumbal dari industrialisasi.
Pengambilalihan lahan untuk kepentingan industri selalu melewati negosiasi yang tak jarang berujung buntu. Saat seperti inilah jalan potong harus diambil, praktik tipu muslihat jadi alternatif, sesama saudara seperti dirancang berhadap-hadapan saling menerkam merebutkan hak atas tanah. kebencian mulai disiram dengan subur sejak dalam lingkup sosial paling kecil, seperti keluarga.
Tenaga kerja lokal dibiarkan saling tumpang tindih, sementara tenaga kerja asing datang berbondong-bondong hendak datang menyaingi sensus penduduk lokal. Di saat yang sama, tenaga kerja lokal sedang sibuk memperdebatkan perbedaan suku dan saling bertukar keangkuhan, sementara tenaga kerja asing sedang bekerja sukacita dengan upah melambung tinggi.
Politisasi di tengah penduduk yang semakin majemuk, komunitas-komunitas mulai bermunculan dengan bendera masing-masing, saat seperti inilah para agitator yang miskin popularitas naik ke atas panggung. Membakar semangat kebencian, pidato-pidato pantang menyerah ditebarkan, situasi mendesak dan menakutkan dirancang, lalu mereka datang sebagai pahlawan. Tentu saja spanduk-spanduk penebar janji palsu datang setelahnya.
Kegaduhan ini tambah diperparah dengan adat istiadat lokal yang tak lagi dikenali, gaya hidup amoral sudah dipraktikkan terang-terangan, kafe-kafe penyedia miras, bandar judi, dan prostitusi dipertontonkan di jalan-jalan umum, membukakan gerbang bagi siapa saja yang ingin singgah tak perduli usia. Saat pikiran sedang kacau, kericuhan akan datang menyusulnya.
Penduduk setempat mesti secara sadar memetakan konflik horizontal antar penduduk dengan terukur. Soal antara arogansi penduduk lokal dan keangkuhan pendatang, mesti dilihat dan dipahami secara serius. Akar masalah dari konflik seperti ini, tentu memiliki cabang yang tak berujung, tetapi jika kita sadar tentang posisi dan keberpihakan kita, gampang saja untuk menyudahinya.
Sadarilah siapa yang betul-betul sebagai pendatang, dan siapa yang betul-betul sebagai penduduk asli…!
Siapa yang datang mengubah hutan sejuk dengan hijau pohon yang menjulang tinggi menjadi tatanan besi serupa robot, dan mesin-mesin pendulang asap yang hitam mengepul…!
Siapa yang datang mengubah pulau menjadi daratan, mengubah selat menjadi muntahan limbah pabrik ke lautan…!
Siapa yang datang mengubah gunung menjadi dataran gundul dengan tanah memerah…!
Siapa yang datang mengubah tatanan kebudayaan lokal membias jadi tak terbendung…!
Wahai buruh industri, bersatulah, rebut setiap hak kepada pendatang yang sesungguhnya…!!!
Discussion about this post