Di tengah Pandemi Corona Baru (COVID-19), mudik merupakan salah satu pilihan yang diambil sebagian masyarakat Morowali yang berada di luar daerah. Terutama mereka (red: mahasiswa) yang sedang menjalani kuliah daring jarak jauh karena terdampak kebijakan penanganan COVID-19. Alasan mudik pun beragam, mulai dari memanfaatkan libur, ingin berlebaran bersama keluarga, kurangnya pasokan bahan makanan, hingga tekanan psikis yang mungkin diterima jika tetap bertahan di daerah rantau. Ya, hidup di zona merah memang tidak semudah itu Fergusooo.
Berdiam diri di indekos dengan istilah #dikosaja tidak semudah berdiam diri di rumah dengan keluarga atau yang dikenal dengan istilah kekinian #dirumahaja. Semenjak adanya wabah ini, mahasiswa indekos dihadapkan dengan berbagai macam persoalan mulai dari peningkatan harga bahan pokok, jarangnya penjual makanan, hingga rasa takut untuk sekadar keluar mencari makanan. Untuk itu, sebagian mahasiswa memutuskan utuk kembali ke kampung halaman dengan harapan bisa lebih tenang bersama keluarga.
Namun, pilihan untuk pulang nyatanya bisa membawa bencana untuk keluarga dan masyarakat. Di Cimahi, Jawa Barat misalnya, seorang lansia positif terpapar COVID-19 setelah dikunjungi anaknya yang baru mudik dari Jakarta. Hal yang sama juga dialami oleh Kabupaten Banjarnegara yang menemukan pasien positif pertama setelah seorang anak dari Jakarta juga pulang ke kampung halaman. Lalu bagaimana dengan Kabupaten Morowali ?
Terhitung sejak 9 April, Kabupaten Morowali dihadapkan pada dua kasus pasien positif pertama. Sebanyak dua orang didiagnosa positif setelah melakukan test swab. Kedua pasien ini memiliki riwayat perjalanan dari Jakarta dan Makassar. Keduanya kini diisolasi di Rumah Sakit Undata Palu. Naas, sebanyak 65 orang secara otomatis berstatus Orang Dalam Pengawasan (ODP) sebab berada dalam satu pesawat dengan salah satu pasien positif tersebut.
Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa dari zona merah yang memilih mudik lebih awal. Lalu apakah kedua pasien positif ini tertular oleh mahasiswa yang pulang kampung atau mereka tertular saat berinteraksi dengan orang lain di wilayah yang dikunjungi?
Entahlah, siapapun tidak menutup kemungkinan dapat menginfeksi apalagi bagi mereka yang memiliki sistem imun lemah terutama mereka yang berusia lanjut. Sampai sini paham konsekuensi kalau tetap keukeh pulang kampung ?. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa COVID-19 dapat ditularkan oleh Orang Tanpa Gejala (OTG).
Karena itu, sebagai pemudik utamanya yang berasal dari zona merah seharusnya bisa lebih sadar diri dan mengikuti protokol kesehatan yang berlaku. Salah satunya dengan melakukan isolasi diri selama 14 hari. Namun dasar mahasiswa kepala batu, kenyataannya masih banyak mahasiswa yang ketika pulang ke Morowali langsung beraktifitas dan berinteraksi dengan orang lain tanpa melakukan karantina terlebih dahulu.
Saya sangat gemes dengan keadaan seperti ini sebab tanpa rasa bersalah, mereka mem-posting kegiatan haha-hihi mereka tanpa memedulikan bahwa mereka bisa saja menjadi carrier yang membahayakan nyawa orang di sekitar mereka. Sungguh sombong !
Permasalahan lainnya adalah pilihan isolasi diri. Sebagian mahasiswa memilih untuk isolasi diri di rumah masing-masing dan sebagian lainnya memilih untuk tinggal di sebuah kos/kontrakan. Akan tetapi, pilihan untuk isolasi diri di rumah bisa saja berbahaya untuk keluarga jika pemudik tidak betul-betul mengerti bagaimana proses penularan, ataupun isolasi seperti apa yang seharusnya dilakukan ketika berada di rumah bersama keluarga.
Hal ini juga harus menjadi perhatian pemerintah setempat. Memberikan edukasi tentang bentuk isolasi yang sesuai anjuran pemerintah ataupun menyediakan tempat khusus dengan tujuan mengisolasi pemudik di tempat berbeda dari keluarganya.
Selain itu, hal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana meredam stigma negatif masyarakat terhadap OTG maupun ODP. Karena jika muncul stigma negatif yang berujung pada pengusiran atau hal-hal buruk lainnya, maka akan menambah beban psikologis OTG maupun ODP. Sehingga pilihan untuk mengisolasi diri secara terpisah dari keluarga pun pada akhirnya akan terasa menakutkan.
Sampai saat ini, cara pemerintah daerah Morowali dalam menanggulangi penyebaran COVID-19 adalah dengan membentuk satgas COVID-19, menyampaikan himbauan kepada masyarakat, melakukan pemeriksaan kepada setiap pemudik, dan melakukan pengawasan bagi mereka yang masuk ataupun keluar Morowali di setiap perbatasan.
Demi tujuan memutus mata rantai penyebaran virus, kabarnya mereka yang bisa masuk ke Morowali hanya diperuntukan bagi yang ber-KTP Morowali. Kendatipun cara-cara tersebut dilakukan, isolasi diri dan pemeriksaan lanjutan terhadap para pemudik harus tetap dilakukan dengan serius.
Edukasi kepada masyarakat tentang perbedaan dan perlakuan terhadap OTG, ODP dan PDP seyogyanya menjadi sangat penting karena untuk menghadapi wabah ini dibutuhkan kerjasama antar sektor baik pemerintah, masyarakat, dan pemudik agar kita bisa survive secara bersama-sama karena tak ada dalam sejarah, manusia bisa survive sendiri.
Prinsip saling menjaga perlu ditumbuhkan oleh setiap pemudik. Sayangi kelurga anda, agar kepulangan tidak membawa mudarat untuk keluarga dan masyarakat setempat.
Discussion about this post