Pencegahan terhadap penularan Covid-19 di Indonesia kian ramai dilakukan. Di pelosok desa, perkotaan, daerah-daerah, para warga masyarakat terus menggelar aksi, bekerja sama dengan pemerintah setempat memerangi penularan Covid-19. Tanpa pamrih, orang-orang rela membantu, demi keselamatan bersama.
Negara pun tak boleh tinggal diam. Imbauan untuk melakukan social distancing atau pembatasan sosial rasanya memang tak cukup efektif untuk memotong rantai penyebaran Covid-19. Di beberapa negara, kebijakan Lockdown (karantina wilayah) menjadi opsi yang ramai diterapkan.
Dalam rapat terbatas bersama jajaran pemerintah di Istana Bogor beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan sebuah kebijakan yang kemudian diberi nama Pembatasan Sosial Berskala besar (PSBB). Kebijakan tersebut berlandaskan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Tak lupa, opsi terakhir pemerintah adalah Darurat Sipil yang berlandaskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959.
Pemerintah daerah yang ingin menerapkan kebijakan PSBB telah diberikan syarat-syaratnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020. Sederhananya, dapat dipahami bahwa pelaksanaan PSBB ditiap daerah tidak dapat dilaksanakan secara langsung tanpa kordinasi pemerintah pusat. Terkesan remeh temeh ? Tidak mengapa, asal sungguh-sungguh dan bertanggungjawab dilaksanakan.
Setidaknya terdapat tiga hal mengapa kebijakan ini dianggap penting untuk dikeluarkan. Pertama, penyebaran Covid-19 merupakan musibah yang sama dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia. Kedua, penularan Covid-19 sangat berpotensi menelan banyak korban, baik di negara lain maupun di Indonesia. Ketiga, Indonesia dalam kurun waktu beberapa minggu terakhir penularan Covid-19 semakin berdampak hampir di seluruh wilayah.
Untuk mendukung pelaksanaan PSBB, dibentuk pula Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitias Sistem Keuangan”. Perppu ini kemudian akan menjadi pedoman pelaksanaan anggaran penanganan Covid-19.
Sebagai hasil kerja manusia, setiap produk hukum memang tidak sempurna. Selalu menyimpan kelemahan dan kekurangan. Olehnya, dalam penerapannya selalu terbuka untuk dibenahi. Melalui tulisan ini, penulis tidak mempersoalkan lahirnya Perppu Nomor 1 Tahun 2020, karena memang menjadi kewenangan Presiden untuk membuatnya.
Namun, apakah ada potensi masalah dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ini?
Tentunya, ada. Dan semoga pemerintah dan juga DPR RI melalui mekanisme politik tidak absen terkait hal ini. Dalam pasal 27 ayat 3 disebutkan bahwa, ‘segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat di ajukan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Potensi masalah hukumnya apa? Disinilah celah pintu masuk yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu, atau sejumlah pihak dalam mengelola anggaran. Belum lagi dalam pasal 27 ayat (1) dan (2) dalam Perppu tersebut terkesan memagari tindakan para pihak dalam menjalankan anggaran, hal yang sangat problematik ditengah musibah seperti ini.
Penerapan Perppu ini akan menstimulus anggaran negara sebesar Rp 405,1 triliun dengan jalan memangkas anggaran di kementrian dan lembaga negara. Anggaran ratusan triliun tersebut akan di alokasikan secara terbagi untuk mengoptimalkan penanganan penularan Covid-19.
Hemat penulis pemerintah mesti berhati-hati, sehingga penting untuk mendorong pembuatan dan menerapkan secara terbuka sistem transpransi dalam implementasi pengalokasian anggaran. Selayaknya di tengah pandemi ini, kita boleh menyatakan bahwa keadaan sangat darurat, tetapi bukan berarti meloloskan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. Atas dasar itu pula peran semua pihak dibutuhkan.
Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan mesti bekerja serius, jujur dan dapat bertanggungjawab. Masyarakat dapat mengawal. Tentu kita tidak ingin setelah musibah ini berlalu, masalah baru muncul karna dampak dari ketiadaan transparansi anggaran. Sudah cukuplah pemerintah oleh banyak pihak dinilai terkesan lambat menangani pandemi Covid-19 ini, jangan lagi ada celah yang semestinya dapat ditutup justru merugikan pemerintah dan masyarakat tentunya.
Kita ingin penanganan pandemi ini berjalan serius dan responsif, meski dengan berbagai kelemahan tetapi hal yang fundamental berkaitan dengan masalah hukum dan konstitusi harus ditaati secara sungguh-sungguh.
Utamanya para pihak yang memiliki kewenangan menjalakan tugasnya berdasarkan kebijakan pemerintah harus menyadari bahwa tidak sebatas menolong nyawa orang atas penularan pandemi ini, tetapi harus disadari bahwa menjalankan perintah peraturan perundang-undangan merupakan tugas kenegaraan yang bukan hanya melaksanakan mandat pemerintah tetapi juga menjaga kepercayaan seluruh rakyat Indonesia.
Ditengah situasi seperti ini, political will pemerintah sangat diperlukan untuk mengatasi secara tepat, dan kita sekalian sebagai warga negara tetap menghidupkan kesadaran diri melawan pandemi ini. Tentunya badai pasti berlalu, dan tak ada yang abadi. Covid-19 akan mati dan berlalu. Ini harapan bersama. Semoga.
Discussion about this post