Pemerintah memprediksi potensi penyebaran kasus positif Covid-19 di Indonesia akan mencapai 600 hingga 700 ribu orang, di mana setiap orang bisa menulari setidaknya 406 orang dalam sebulan. Angka tersebut didapat dari perhitungan population at risk yakni jumlah populasi atau individu yang kemungkinan melakukan kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita positif, sehingga memiliki resiko tinggi terinfeksi.
Kita tentu paham, pemerintah saat ini masih kesulitan dalam mengontrol penyebaran pandemi Covid-19. Pilihan-pilihan kebijakan yang tersedia sangatlah terbatas. Bahkan Negara-negara yang sudah berperang duluan melawan virus ini seperti China, Singapura, Jepang, atau Korea setidaknya dianggap berhasil menekan laju penyebaran setelah menerapkan social distancing, work from home, bahkan lockdown. Namun, hal semacam ini kelihatannya masih gagal diterapkan di Indonesia. Kenapa? Kita bisa membayangkan bagaimana sulitnya mengontrol pergerakan manusia.
Pilihan untuk meliburkan aktivitas sekolah atau kampus, menganjurkan bekerja dari rumah bagi perkantoran atau perusahaan, menjadi salah satu opsi untuk memotong rantai penularan virus. Kebijakan ini memang cukup efektif untuk membatasi pergerakan manusia di perkotaan yang padat penduduk. Namun, sekaligus juga menjadi parasit bagi daerah-daerah perkampungan. Waktu jeda segala aktivitas di perkotaan biasanya selalu diikuti gelombang mudik ke kampung-kampung.
Bagi mahasiswa atau perantau pada umumnya, mudik atau pulang kampung selalu menjadi sesuatu yang menyenangkan, selain sebagai ajang melepas rindu dengan keluarga, kampung memang selalu menjadi pelarian saat kota tak lagi mampu menjamin segala macam hasrat.
Hal yang ditakutkan pun sedang terjadi. Saat tujuan menghentikan aktivitas di perkotaan demi memutus rantai persebaran virus, mereka yang terdampak kebijakan justru memanfaatkannya untuk pulang kampung. Resiko membawa pulang virus dari perkotaan ke kampung-kampung sangat mungkin terjadi, apalagi rapid test atau tes massal belum sepenuhnya dilakukan.
Mereka yang pulang kampung sekaligus menambah jumlah daftar OTG (Orang Tanpa Gejala) atau ODP (Orang Dalam Pemantauan) di setiap daerah. Di Kabupaten Morowali, per 31 Maret pukul 17.00 Wita, Seksi Surveilans dan Imunisasi Morowali mencatat terdapat 8.526 orang OTG dan tujuh orang ODP. Selagi rapid test belum dilakukan, tak ada yang menjamin orang dalam deretan angka tersebut bebas dari virus.
Mereka yang mudik menggunakan transportasi publik memiliki resiko terpapar virus yang lebih besar. Kontak fisik secara langsung maupun tidak langsung tentu tak sepenuhnya dapat dihindari. Menggunakan moda transportasi darat atau udara di mana setiap orang berkerumun dan bergantian menggunakan fasilitas umum yang ada seperti toilet, kursi dan lain-lain, baik di stasiun maupun bandara.
Dua bandara internasional yaitu Soekarno-Hatta di Jakarta dan Hasanuddin di Makassar punya andil besar dalam penyebaran virus sebab keduanya menjadi pusat transit penerbangan di Indonesia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pernah merilis pernyataan bahwa penumpang yang telah terinfeksi virus akan menginfeksi penumpang lain dalam jarak dua baris dari tempat duduknya.
Karena itu, untuk mahasiswa yang belum memutuskan untuk pulang kampung, sebaiknya bisa dipertimbangkan kembali resiko yang bisa ditimbulkan. Penulis sedang tidak menuduh setiap dari mereka yang mudik sudah terpapar virus, tetapi bukankah sebaiknya mencegah daripada meratapi.
Kita mungkin sama sekali belum pernah memikirkan bagaimana jika wabah ini meledak di desa tempat keluarga kita tinggal. Hingga saat ini, untuk menangani meluasnya virus di kota besar yang memiliki fasilitas medis memadai saja, pemerintah bahkan belum sepenuhnya sanggup, lantas bagaimana jika itu terjadi di pedesaan?
Rumah sakit umum daerah di Morowali hanya ada satu unit, sementara layanan puskesmas hanya ada sembilan unit yang tersebar di beberapa kecamatan.
Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah dengan jumlah penduduk paling banyak di Sulawesi Tengah. Rerata penghuninya adalah karyawan perusahaan tambang yang datang mencari nafkah. Setiap hari, ada ribuan aktivitas kontak fisik terjadi dalam kawasan industri. Kepadatan penduduk akan memperbesar resiko laju penyebaran virus. Hal inilah yang sedang terjadi di Ibu Kota Jakarta.
Bagi teman-teman mahasiswa yang sudah terlanjur pulang kampung, patuhilah instruksi pemerintah untuk melaporkan diri ke puskesmas yang sudah ditentukan. Sebab dalam situasi pandemi seperti sekarang, nasib keluarga di kampung berada di tangan kita yang baru datang dari bepergian di kota-kota terdampak.
Orang tua memiliki resiko 3x lebih rentan terinfeksi ketimbang kita di usia rerata mahasiswa. Dalam penelitian yang diterbitkan di CDC Weekly China, dari angka 44.700 orang yang telah terinfeksi, sebanyak 80 persen korbannya berusia 60 tahun, dan separuhnya berusia 70 tahun. Hal ini dikonfirmasi melalui tes laboratorium pada pertengahan Februari lalu.
Kita tidak perlu menunggu sampai hal yang tidak diinginkan terjadi pada orang-orang terdekat kita, sebagai kelompok masyarakat yang setidaknya berkesempatan mengenyam pendidikan di perkotaan, kita harusnya lebih mengerti bagaimana virus ini bekerja melalui berita-berita akurat yang kita baca setiap hari di gawai kita. Sebagian dari kita mungkin sesekali memosting status di media sosial masing-masing dengan tagar #stayhome padahal dalam kenyataannya kita abai dengan instruksi stay home dari pemerintah.
Solidaritas adalah kunci utama untuk bisa keluar dari masalah pandemi ini. Dukung pemerintah melakukan tugasnya sebagai penyelenggara negara, dengan taat pada setiap instruksi. Bantu menyebar berita positif dan tidak ikut serta menyebar ketakutan lewat berita hoax. Doakan para tenaga medis bila perlu dibantu semampunya. Dengan begitu, kita sedang melindungi diri, orang tua dan keluarga kita di mana pun sedang berada.
Discussion about this post