Ada yang ulang tahun nih, ciee
20 tahun lalu tepatnya pada 3 November 1999, Kabupaten Morowali resmi berpisah dari Kabupaten Poso dan secara administratif menjadi kabupaten baru dengan ibukota Bungku. Namun karena infrastruktur di Kota Bungku pada saat itu belum memadai, maka untuk sementara waktu pemerintahan ibukota berada di Kolonodale, Kec. Petasia. Barulah pada tahun 2007, ibukota Kab. Morowali akhirnya pindah ke Kec. Bungku Tengah sesuai yang diamanatkan oleh Undang-undang.
Selama kurun waktu tersebut, Morowali telah melalui pelbagai sepak-terjang kehidupan yang kemudian mengantarkannya menjadi salah satu kabupaten termuda sekaligus termaju di Indonesia saat ini. Bahkan dilansir dari Beritagar.Id, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Morowali termasuk dalam 10 daerah tertinggi di Indonesia. Dalam tulisan yang dirilis pada September 2019 tersebut, disebutkan jika sumbangan pajak dan retribusi Morowali paling besar, mencapai Rp 1.013.561 per kapita.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Morowali adalah yang tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya yang ada di Indonesia. Angka ini pada tahun 2020 diprediksikan mencapai Rp 48,3 triliun sehingga akan berdampak pula pada peningkatan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Sulawesi Tengah menjadi Rp 190,2 triliun yang sebelumnya pada semester 1 tahun 2018 mencapai Rp 134, 24 triliun. Wow !
Buntut dari Defisit
Tapi teha, walaupun memiliki PAD tinggi, nyatanya Morowali di dua tahun terakhir mengalami defisit anggaran. Akibatnya, program-program kerja pro pemerintah rakyat belum bisa terealisasi karena pemerintah daerah fokus memerangi defisit yang konon mencapai angka triliunan rupiah. Padahal kenaikan PDRB Kab. Morowali pada tahun 2017 melonjak dua kali lipat di angka Rp 14,6 triliun yang sebelumnya hanya di angka Rp 7,4 triliun. Tapi kok malah defisit terus ? uangnya pada kemana yah ? hm hm hm Nisa Sabyan
Pemerintah saat ini berkilah dengan menyatakan bahwa defisit anggaran yang konon merupakan warisan dari kepemerintahan satu dekade sebelumnya membuat Morowali harus meminimalisir anggaran. Oleh karena itu, dalam setahun kepemimpinan Bapak Taslim-Najamuddin yang dimulai sejak September 2018, keduanya berfokus untuk menyelesaikan defisit dan setelahnya baru kembali merealisasikan program-progam yang pernah mereka janjikan pada masa kampanye. Warisan defisit anggaran ini diakabarkan akan diselesaikan tahun ini sehingga APBD tahun 2020 diharapkan sudah bersih dari defisit.
Morowali dalam Kegelapan
Tak hanya defisit, permasalahan lain yang juga membuat gemas masyarakat adalah mati lampu. Sejak awal berdirinya Morowali sampai sekarang, permasalahan listrik menjadi hal yang belum dan mampu diselesaikan oleh pihak terkait. Padahal, Morowali sudah memiliki tiga unit pembangkit listrik di antaranya PLTA Sakita, PLTD Bahoruru, dan PLTU IMIP, namun permasalahan listrik belum bisa ditangani dengan baik. Akibatnya, desa-desa seperti Wata, Ambunu, dan Uedago di Kec. Bungku Barat maupun Kec. Witaponda harus mendapat supply listrik dari Kolonodale yang juga sedang mengalami pemadaman bergilir. Nah lo ?
Di linimasa sosial media pesbuk, keluhan dari masyarakat di kedua kecamatan tersebut semakin santen terdengar seiring perayaan ulang tahun Morowali. Pemadaman lampu sudah terjadi dua minggu lamanya karena debit air di salah satu sungai yang menjadi sumber kelistrikan di Kolonodale sedang mengalami kekeringan. Akibatnya, daya mesin mengalami menurunan. Walaupun PLN secara institusi dimiliki oleh negara dan dikelola oleh BUMN, tapi peran pemerintah daerah juga dibutuhkan agar permasalahan ini sesegera mungkin dicarikan solusinya. Itu yang jadi pemangku kepentingan dan digaji oleh rakyat pada ngapain aja ?
Terus kalau listrik mati tanggungjawab siapa ?
Terkait itu, sayapun tak tahu karena pemadaman listrik merupakan salah satu bentuk overmacht atau kejadian di luar kehendak manusia. Namun sependek pengetahuan saya, UU ketenagalistrikan No. 30 tahun 2009 pasal 29 ayat 1 menyatakan jika konsumen berhak untuk mendapatkan tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keadaan yang baik sehingga tidak ada alasan apapun bagi PLN untuk tidak melayani masyarakat.
Selain itu, konsumen berhak mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik. Dilansir dari hukumonline.com, bahwa untuk menentukan apakah pemadaman bergilir atau mati lampu mendadak dan beberapa jam baru menyala lagi termasuk kategori dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b UU 30/2009 atau tidak, hal ini bergantung pada tingkat mutu pelayanan tenaga listrik yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan. Apabila besaran tingkat mutu pelayanan tenaga listrik melebihi 10%, maka PT PLN (Persero) wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen.
Yang berkepentingan mungkin bisa menjawab ini !
Susah Sinyal
Permasalahan lainnya adalah jaringan. Saya ingat sekali setahun lalu ketika pulang kampung dari perantauan yang cukup melelahkan, saya dihadapkan pada persoalan jaringan yang bikin mulut saya auto komat-kamit tiap kali ingin berkomunikasi. Saya tinggal di wilayah perkotaan, namun untuk mendapatkan jaringan harus pergi ke tempat-tempat tertentu seperti dermaga Bungku dan daerah perkantoran Fonuasingko. Setelah kembali ke daerah rantau, saya pikir permasalahan tersebut telah selesai karena konon jaringan akan membaik pada bulan Agustus setelah pemasangan fiber optic selesai.
Namun, sampai sekarang, kenyataan yang saya dapatkan tetap saja sama dengan tahun-tahun jahiliah Morowali sebelumnya. Tiap kali menelfon dengan papa saya, komunikasi kami hampir selalu terputus karena jaringan yang tidak bagus dan papa saya selalu mengirim pesan “Nai tepodea suaramu, mosao jaringan”, eh apu !
Setahun lalu, Kamputodotcom pernah merilis tulisan saya terkait susahnya jaringan telekomunikasi di Morowali “Morowali Kaya Tambang Tapi Sinyal dan Listrik Kayak Tumbang”. Walaupun jaringan kekinian 4G telah ada (red:sinyal terbatas pada daerah-daerah tertentu), namun jangkauannya hanya terbatas di daerah perkotaan. Desa sakita contohnya, berada dalam wilayah administratif ibukota Kabupaten, tidak lantas membuat jaringan di desa sini lancar dan kencang. Melainkan sebaliknya, sangat buruk dan tidak memungkinkan untuk internetan. Pun ketika menelfon, kadang yang terdengar hanya bunyi “krik,krik” sungguh terlalu !
Hal yang sama juga terjadi di daerah Bahodopi dengan jumlah pengguna terbanyak se-Kabupaten Morowali namun tidak dibarengi dengan jumlah satelit komunikasi yang memadai. Akibatnya jaringan di wilayah ini sangat parah, GSM (Geser Sedikit Mati). Sungguh disayangkan, daerah yang digadang-gadang menjadi daerah industri baru di Kawasan Timur Indonesia memiliki jaringan yang susah, sesusah menghilangkan perasaanku padamu ehh.
Ciri Khas dalam Tata Kota Morowali, Ada kah?
The last, Morowali konon katanya sudah memiliki master plan pembangunan kota, namun realita di lapangan menunjukkan pembangunan fasilitas sarana dan prasarana yang asal-asalan dan tidak memiliki ciri khas. Dalam konsep pembangunan ruang kota, tiap-tiap kota seharusnya memiliki perencanaan terkait branding kota yang diunggulkan sehingga nantinya bisa menjadi landmark di kota itu. Kebanyakan masyarakat menganggap masjid raya adalah landmark Kota Bungku. Itu jelas sama sekali tidak menonjolkan bahkan menampilkan satupun ciri khas Kota Bungku selain lokasinya yang berada di Kota Bungku. Itu saja !
Tidak usah jauh-jauh, Kantor Bupati yang seharusnya menjadi ikon kota dan bangunan perkantoran maupun komersil lainnya, sama sekali tidak memiliki ciri khas atau nilai budaya. Lah bagaimana mau punya landmark, peraturan daerah yang ada sampai sekarang hanya sebatas pada tataran RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang seharusnya sudah harus dalam bentuk RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota). Artinya adalah pemerintah sudah memuat syarat bangunan pemerintah maupun komersil (kantor, hotel, restauran, bank, dan lain-lain) sesuai tema pembangunannya.
Industri Tambang yang Ramah Pendatang Belum Tentu Ramah Lingkungan
Terlepas dari permasalahan tersebut, Morowali saat ini tumbuh menjadi daerah Kawasan industri baru di Indonesia Timur. Kehadiran PT. IMIP menjadi titik balik perkembangan Morowali yang semula merupakan daerah terbelakang di Sulawesi Tengah menjadi daerah yang dilirik oleh banyak investor. Keberadaan sumber daya alam berupa nikel yang konon memiliki kualitas numero uno dan smelter terbesar se-Asia Tenggara menarik minat banyak investor untuk datang menanamkan modalnya.
Dilansir dari Media Indonesiadotcom, barang mentah berupa biji nikel yang dihasilkan Morowali diperkirakan mencapai 4 juta metrik per tahun di mana jumlah tersebut mampu menyumpang 10 % kebutuhan dunia. Bahkan kabupaten yang memiliki lebih dari 200.000 hektar tambang nikel ini akan memiliki pabrik baterai lithium pertama di Indonesia. Investasi sebesar Rp 46 triliun ini disokong oleh banyak investor seperti CATL, LG, VW, Mercedes, dan Tesla. Diperkirakan pembangunan pabrik ini akan selesai pada 2021. Peletakan batu pertamanya sudah dimulai pada Januari 2019 lalu. Semoga saja ini tidak menambah beban Morowali menghadapi pencemaran lingkungan yang sebelumnya sudah duluan dilakukan lewat limbah dari smelter nikel perusahaan yang ada saat ini.
Selain itu, para pencari nafkah mulai melirik Morowali sebagai tempat mengumpulkan pundi-pundi uang. Hal ini berdampak pada pembangunan sarana transportasi yang efisien seperti bandar udara berlokasi di Desa Umbele, Kec. Bumi Raya. Pembangunan bandar udara yang diberi nama dengan Bandar Udara Morowali ini dimulai pada tahun 2007 di masa kepemimpinan Anwar Hafid dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2018.
Mari Berbenah
Terkait pemadaman lampu di Morowali yang sudah berlangsung sejak zaman bahula, seharusnya PLN menyiapkan alternatif cadangan yang bisa meng-cover kebutuhan listrik seluruh pelanggan jika sewaktu-waktu terjadi gangguan. Kalau konsumen telat membayar tagihan PLN, auto diberikan surat cinta berupa denda dan bahkan aliran listriknya bisa diputus. Masa kinerja PLN yang tidak melaksanakan kapasistasnya dengan baik dibiarkan begitu saja ?
Untuk master plan kota, orientasi pembangunan ke arah kebudayaan adalah cara terbaik untuk memperbaiki pembangunan Morowali yang asal-asalan ini. Mengapa ? karena jumlah populasi suku yang kecil dan kondisi masyarakat dewasa ini yang plural akan menggerus kearifan lokal dan nilai budaya yang sudah kita (hah kita ??) miliki saat ini.
Setelah menentukan tema, hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat forum diskusi dengan mengundang stakeholder terkait untuk menentukan bagaimana dan apa yang seharusnya ditonjolkan dari kebudayaan itu sendiri. Nanti aplikasinya ke bangunan-bangunan monumental kota. Kalau masih bingung mau pakai yang mana, hasil penelitian saya di salah satu gua prasejarah di Topogaro bisa menjadi langkah solutifnya. Upzz promosi !
Selain itu, Morowali saat ini menjadi sasaran empuk untuk dikeruk kekayaan tambangnya karena berdasarkan skema Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), Pulau Sulawesi termasuk di dalamnya Morowali dipersiapkan untuk menjadi cadangan lumbung tambang Indonesia ke depan. Ini hal yang bagus sebab bisa membantu keuangan, pembangunan, dan masyarakat Morowali itu sendiri. Hanya saja tolong pemangku kepentingan memperhatikan AMDAL agar pencemaran lingkungan bisa diminimalisir, sebab kehidupan ini tidak hanya dihuni oleh manusia saja tapi juga ada tumbuhan dan hewan yang menjadi sumber keberlangsungan hidup manusia selama ini.
Dan terakhir tentu saja, tingkat kemakmuran sebuah kabupaten/kota tidak diukur dari bangunan-bangunan yang menjulang tinggi dan mewah, tapi diukur melalui indikator pendapatan per kapita yang merupakan kalkulasi dari PDRB dibagi dengan jumlah penduduk. Jadi tidak usah mimpi Morowali mau sejahtera Bersama jika PDRB tinggi tapi di saat yang sama defisit masih terjadi!
Terlepas dari hal yang sudah diulas sebelumnya, saya berharap Morowali bisa seperti air yang bermanfaat bagi banyak makhluk hidup sesuai arti Morowali sesungguhnya yaitu “gemuruh air” yang diambil dari bahasa suku Wana, Jangan sampai menjadi seperti salah satu ungkapan tradisional Morowali di zaman dulu “Mompantari Ngolu Tudu Ntonga’oleo” atau menanti embun di tengah hari yang bermakna melakukan pekerjaan sia-sia. Maksud saya adalah jangan sampai pemerintah Morowali hanya fokus pada hal-hal yang bersifat membangun dengan menarik banyak investor tanpa memperhatikan alam sekitar. Jika hal tersebut terjadi maka generasi muda Morowali ke depannya akan menjadi korban kebiadapan dari tangan-tangan jahil manusia sekarang yang serakah akan materi. Generasi ke depan juga butuh kehidupan yang lebih baik !
Selamat ulang tahun kabupatenku yang ke-20 tahun, semoga ke depannya kita bisa benar-benar mewujudkan Morowali Sejahtera Bersama. Anw, logo ulang tahun Kab. Morowali kok sama dengan daerah Cilegon yah, plagiat kah ? hehe
Discussion about this post