Pengelolaan sampah masih menjadi salah satu masalah yang sampai saat ini belum terselesaikan di Morowali, khususnya di Kecamatan Bahodopi. Peningkatan jumlah penduduk di wilayah ini berdampak pada tingginya produksi sampah yang dihasilkan, baik sampah domestik dari rumah tangga maupun sampah non domestik dari kegiatan perdagangan, pasar, dan industri.
Hal ini semakin mengkhawatirkan sebab TPA (Tempat Pembuangan Akhir), bak/tong sampah, dan fasilitas mobil pengangkut sampah masih kurang tersedia, sehingga menimbulkan banyak permasalahan. Kondisi ini diperparah dengan belum adanya kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah. Umumnya masyarakat akan membuang sampah pada aliran sungai yang nantinya akan terbawa sampai ke laut. Lalu, apa yang terjadi jika sampah tersebut sampai di laut ?
Sekedar informasi, Indonesia memiliki platform yang bergerak di bidang penanggulangan polusi sampah plastik bernama National Plastic Action Patnership (NPAP). Platform ini merupakan hasil kerja sama antara pengusaha, pemerintah, pakar, dan organisasi sipil masyarakat dengan misi mengurangi sampah plastik di lautan sebesar 70% pada 2025 dan mengupayakan bebas dari sampah plastik pada 2045. Dari hasil laporan mereka diketahui bahwa Indonesia menghasilkan sampah plastik sebesar 6,8 juta ton per tahun dengan peningkatan 5 % per tahunnya.
Global Plastic Action Patnership (GPAP) yang merupakan platform serupa NPAP dalam skala global menyatakan bahwa Indonesia hanya mampu mengumpulkan sampah sebesar 39 % dengan kemampuan daur ulang 10%. Hal ini menyebabkan sampah sangat banyak terakumulasi di lautan karena tidak optimalnya pengelolaan di darat.
Data World Bank tahun 2010 melaporkan kota-kota di Indonesia menyumbang sampah dalam jumlah besar di lautan khsususnya di kawasan pesisir meliputi 0,48-1,29 juta metrik ton sampah plastik, setara dengan 178-480 juta sampah plastik rumah tangga per tahunnya. Angka ini diperkirakan akan meningkat sebagai akibat adanya peningkatan industri penggunaan plastik dan sektor lainnya seperti industri makanan dan minuman sebesar 6-7%.
Sejauh ini penulis belum menemukan data jumlah produksi sampah di Kabupaten Morowali. Portal persampahan online yang disediakan oleh Direktorat Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan jumlah timbunan sampah per orang/hari sama dengan 0.00. Angka ini menandakan bahwa belum ada informasi dan data terkait jumlah sampah yang dihasilkan setiap harinya. Payah !
Hasil penelitian Sembiring pada 2011 lalu menyatakan bahwa perairan Morowali merupakan kawasan coral triangle yang yang memiliki 37% spesies ikan terumbu karang, di mana terdapat 66 spesies dan 17 family yang berbeda. Dari angka tersebut, populasi ikan target famili Acanthuridae dan jenis ikan mayor famili Omacentridae adalah yang terbanyak.
Bagi masyarakat Bungku, ikan target dikenal dengan nama lokal bontiti dan ikan mayor disebut ikan bendera. Adanya beragam jenis ikan tersebut rupanya berpotensi menyebabkan tercemarnya biota laut dalam jumlah besar apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan sejak dini.
Mikroplastik yang berada dalam tubuh ikan sukar terurai sehingga terus terakumulasi dan berujung pada gangguan metabolisme yang disebut bioakumulasi. Sifat plastik yang sulit lapuk memungkinkan perpindahan mikroplastik dari ikan kecil ke ikan besar yang berperan sebagai predator atau dari biota tingkat rendah ke biota tingkat tinggi, kemudian berpindah ke lingkungan terestrial ketika ikan dikonsumsi manusia atau hewan yang berada di darat.
Proses ini tidak jauh berbeda dengan proses berpindahnya logam berat melalui rantai makanan seperti ulasan sebelumnya yang berjudul “Antisipasi Ancaman Limbah Tailing di Morowali.”
Lalu, sejauh mana sih dampak pencemaran plastik jika tidak dikelola dengan baik ?
Pencemaran Plastik di Tanah
Agar bisa terurai dalam tanah, sampah plastik membutuhkan waktu sekitar 1000 tahun. Proses ini beresiko melepaskan beragam zat beracun ke dalam tanah dan air. Para peneliti Jerman menyatakan bahwa mikroplastik memberikan dampak negatif jangka panjang terhadap tanah, air tawar, dan sedimen. Mereka memperingatkan bahwa polusi mikroplastik di daratan jauh lebih berbahaya dibanding lautan, diperkirakan 4 sampai 23 kali lebih berbahaya tergantung keadaan lingkungan.
Meskipun masih sedikit penelitian yang menganalisa persoalan ini tetapi mikroplastik hampir terdapat di seluruh tempat dan memberikan beragam efek samping. Studi ini menyimpulkan bahwa sepertiga dari semua sampah plastik terakumulasi di tanah dan air tawar yang akan mengalami proses pelapukan menjadi ukuran yang lebih kecil. Permasalahan terbesarnya adalah pertikel-pertikel ini dapat memasuki rantai makanan sehingga menimbulkan ancaman kesehatan.
Selain itu, partikel plastik dapat bertindak sebagai pembawa organisme penyebab penyakit dan berperan sebagai vektor penyakit di lingkungan sekitar. Secara perlahan, mikroplastik juga dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah melalui pengaruhnya terhadap fauna tanah. Artikel pada Science Daily menunjukan bahwa mikroplastik menganggu keberadaan cacing tanah akibat tercemarnya lubang cacing oleh mikroplastik. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kesuburan dan kesehatan tanah karena menganggu habitat organisme tanah yang berperan dalam mendaur dan menyediakan unsur hara.
Pencemaran Plastik di Udara
Plastik dapat mencemari udara ketika membusuk dan terkena sinar matahari. Hasil penelitian Universitas Hawai’i menunjukan bahwa sampah plastik yang membusuk melepaskan metana dan etilene ke udara yang mana kedua unsur tersebut berkontribusi dalam peningkatan emisi gas rumah kaca.
Para peneliti menguji bahan-bahan yang digunakan untuk membuat plastik meliputi, akrilik, polipropilen, polikarbonat, polistirena, polietilena tereftalat, dan polietilen densitas rendah dan densitas tinggi. Pengamatan menunjukkan bahwa polietilen densitas rendah dapat memancarkan gas rumah kaca ke udara ketika diinkubasi di udara dengan kecepatan sekitar 2 dan 76 kali lebih tinggi daripada saat diinkubasi dalam air untuk metana dan etilene.
Etilene sering digunakan pada industri kimia dan produksinya pada 2016 lalu melebihi produksi senyawa lainnya yaitu sebesar 150 juta ton. Sebagaian besar produksinya mengarah pada polietilene yang digunakan untuk pembuatan tas belanja. Padahal makromolekul tersebut merupakan yang paling banyak digunakan dan dibuang di alam serta menjadi sumber emisi gas rumah kaca yang besar.
Metana merupakan unsur berbahaya yang tidak boleh diabaikan karena dapat meningkatan pemanasan global dua kali lipat sejak abad ke-18. Selain dari plastik, emisi metana juga bersumber dari aktivitas pertanian, penggunaan batu bara, minyak, dan gas alam. Menurut Intergovermental Pannel Climate Change (IPCC), metana meningkatkan pemanasan global sebesar 86 kali dibandingan Carbon Dioksida (CO2). Sejalan dengan hal tersebut, dalam buku ilmu tanah yang ditulis oleh Utomo tahun 2016 menyatakan bahwa meskipun keberadaan metana di alam sedikit tetapi dampaknya terhadap emisi gas rumah kaca 30 kali lebih kuat daripada CO2.
Pencemaran Plastik di Air
Masuknya mikroplastik ke dalam air melalui banyak cara, baik limpasan air tanah maupun saluran limbah rumah tangga. Mikroplastik terbawa dalam berbagai macam komposisi kimia, warna, dan ukuran meliputi fragmen, serat, serpih, dan busa. Di antara keragaman tersebut, jenis serat mikro adalah yang paling banyak terbawa oleh air limbah dan air tawar sehingga memerlukan perhatian khusus. Berbagai bentuk mikroplastik tersebut menyebar di banyak tempat bahkan telah teridentifikasi di saluran pencernaan zooplankton, kerang, dan organisme dasar sungai lainnya. Bahkan yang lebih membhayakan adalah mikroplastik dapat menyebabkan penyumbatan usus dan kelaparan.
Salah satu sumber pencemaran mikroplastik ke perairan adalah pakaian yanag kita gunakan. Bahan yang terdiri dari nilon, akrilik, polister, dan spandeks dengan ukuran sangat kecil dapat terlepas setiap kali saat mencuci pakaian atau dibuang ke lingkungan terbuka. Sebuah studi dari Water World mengungkapkan bahwa lebih dari 700.000 serat mikroplastik terlepas ke lingkungan ketika mencuci pakaian dengan mesin cuci. Studi yang dilakukan oleh Universitas California dan perusahaan pakaian Petagonia juga menunjukkan bahwa serat mikroplastik dapat terlepas 1,7 gram setiap kali mencuci jaket sintesis.
Keberadaan mikroplastik di perairan dapat membahayakan manusia dan biota laut. Hal ini dibuktikan oleh hasil studi Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) di mana setiap orang di Indonesia dapat menelan 1500 partikel mikroplastik setiap tahun, sebagai akibat tercemarnya biota laut jenis ikan teri sebesar 89%. Berbagai jenis masalah kesehatan seperti ganguan pencernaan, peradangan, dan masuknya bahan kimia ke tubuh manusia akibat mikroplastik dapat terjadi ketika mengkonsumsi ikan yang telah tercemar di lautan. Selain mencemari laut sebagai saluran akhir perairan, sampah plastik juga dapat mencemari tanah dan udara di alam, bahkan dapat ditemukan pada garam yang kita konsumsi setiap hari.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana strategi yang dibutuhkan untuk mengelola permasalahan sampah khususnya di wilayah Kabupaten Morowali ?
Jawabannya akan kami berikan pada minggu mendatang, tunggu yah hehe
Penulis :
- Zul Masrikail (Mahasiswa Pasca sarjana Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada)
- Aksan (Mahasiswa Pasca sarjana Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada)
Discussion about this post