Menjawab tantangan Tanta Dahniar Arsyad: “konsep berbalas konsep, tulisan dengan tulisan”. Maka izinkan saya untuk sekilas berbalas tulis di media Kamputo.com ini. Tapi mungkin, Saya tidak ingin masuk ke kolom perdebatan soal: Pahlawan kesiangan, tanda jasa atau apalah yang diseterukan itu. Karena bagi saya, itu soal persepsi masing-masing. Tergantung dari sudut mana kita berpijak dan bijak melihatnya. Bahkan jika harus diperdebatkan, sampai pulau Sombori lebih maju dari pulau Maldives pun masalah ini tidak akan pernah usai. Itu percuma. Sepercuma menggarami lautan. Karena Sombori tidak akan pernah lebih maju dibanding maldives jika konsep pengelolaan konservasinya begitu-begitu saja. Loh, ini bahas apa kah?
Ok. Kembali ke pokok persoalan!
Bagi saya, tulisan Dahniar Arsyad pada edisi 11 April 2018 kemarin (baca disini), menarik untuk ditelisik. Ibarat pemancing, penulis lihai memilih umpan sebelum mata kail dilempar ke “khlayak ramai”. Jenis umpan, akan menentukan target tangkapan ikan. Ada hukum sebab akibat di dalamnya. Ada aksi dan reaksi. Yang bereaksi, sudah pasti jadi target “ikan” tangkapan karena terpancing memakan umpan. Maka wajar jika ada suara-suara penolakan kerena merasa terusik oleh tajamnya mata kail. Bahkan yang diluar target tangkapan, bisa ikut-ikutan terkail jika mencoba mendekat ke umpan. Contohnya, ya Saya. Makanya tulisan ini saya buat sebagai reaksi atas umpan yang telah ditebar oleh penulis.
Secara kolektif, si penulis sebenarnya mencoba membangun kerangka berpikir yang kontradiktif. Dua subjek, menggarap objek yang sama, perlakuan yang sama, tujuan yang sama, tapi berbeda hasilnya. Yang satu “tanda jasa” dan satunya lagi “terima kasih”. Sedangkan hipotesisnya, (mungkin) dibangun menggunakan teori perbandingan. Kira-kira begini: “jika si A dan Si B melakukan hal yang sama, maka hasilnya (baca: apresiasinya) tidak berbeda nyata”. Pun sebaliknya: “jika si A dan Si B melakukan hal yang berbeda, maka hasilnya berbeda nyata. Dan kesimpulannya menurut penulis, hipotesisnya dinyatakan “keliru”. H nol ditolak dan H satu diterima.
Biar lebih mudah dipahami, anggaplah Si A bernama Luna Maya dan Si B bernama Cut Tari. Luna maya adalah pejabat besar, sedangkan Cut Tari hanya nelayan kecil. Keduanya, sama-sama menyelamatan Hiu Paus yang kebetulan bernama Aril. Tapi dalam hal apresiasi, Luna Maya dianugerahi gelar tanda jasa dari salah satu pejabat ternama. Sedangkan Cut Tari, nol apresiasi. Padahal, dibanding luna Maya, Cut Tari telah melakukan penyelamatan sebanyak tiga kali terhadap Aril sejak 2005-2006. Intinya, Luna maya dipandang lebih spesial dibanding Cut Tari—Oh ya, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Jangan pikir aneh-aneh. Yang jelas Luna Maya dan Cut Tari di tolak, dan Sofia Latjuba diterima. Titik.
Klimaksnya, menurut hemat saya, Penulis mulai menggiring opini untuk mengurai titik keliru hipotesisnya denga dua pertanyaan besar. Pertama, Sebegitu pentingkah penyelamatan si Luna Maya sombori ini, hingga layak untuk dianugerahi gelar tanda Jasa? Sementara di luar sana, banyak nelayan-nelayan kecil yang rela merobek jala, membuang hasil tangkapan bernilai puluhan juta, tapi jarang tersiar kabar bahwa aksi mereka diapresiasi. Apa mungkin karena yang melakukan itu adalah nelayan-nelayan kecil? Atau gelar-gelar seperti itu dikhususkan untuk orang besar saja?
Kedua, Mengapa aksi penyelamatan itu terkesan tunggal (monopoli lembaga tertentu) dan tidak membuka ruang kerja sama ke lembaga-lembaga kompetibel lainnya yang memang sesuai tugas pokok dan fungsinya? WWF misalnya, Whale Shark Indonesia, atau dari NGO lainya yang konsen untuk penyelamatan maupun riset-riset hiu paus?
Hemat saya, ada kesan kuat dari penulis menduga bahwa (koreksi jika saya salah), penyelamatan itu semacam “umpan” yang sengaja disiapkan untuk menargetkan “ikan-ikan” berukuran besar. Rentetan faktanya kemudian terlihat satu bulan pasca ekspedisi penyelamatan hiu paus tersebut yaitu penganugerahan gelar tanda jasa kepada tim ekspedisi.
Bagi yang sudah termakan umpan, jelas akan memunculkan riak-riak penolakan terhadap simpulan hipotesis penulis. Dan itu hal yang sangat wajar. Karena antara pemancing dan yang terpancing berada pada posisi yang berbeda. Satu ada di bawah air dan yang satunya di atas air. Yang di bawah air sudah pasti akan melakukan penolakan minimal dengan rumus sederhana Agustinus Wibowo dalam buku Titik Nol, “Berhentilah membaca aksara dan berteori panjang lebar”. Menceburlah ke Laut, jalani dan resapi. Baru kau akan tahu bahwa gelar tanda jasa itu tidak ada apa-apanya dibanding resiko menyelam saat berjuang menyelamatkan Hiu Paus
Saya pribadi berpendapat, mereka yang sudah bekerja keras, menyumbang tenaga, waktu dan pikiran dalam ekspedisi penyelamatan Hiu Puas Sombori, layak diapresiasi. Apalagi sudah sampai pada gelar sebagai Tim Ahli (sesuai yang tertulis di Piagam), Itu berat. “Nyawa taruhannya” kata SDC Morowali. Dua jempol layak diacungkan. Benar kata SDC Morowali, “usaha tidak pernah menghianati hasil”. Bahkan saya yang sudah 3 tahun terakhir ini aktif memonitor Hiu Paus Gorontalo dan telah melahirkan buku edisi khusus: “Hiu Paus di Pantai Botubarani Gorontalo” (menyusul seri ke-2) bersama Tim, tak pernah sekalipun menerima gelar Tanda jasa seperti kawan-kawan SDC Morowali. Jangankan menerima, disebut “Ahli” saja tidak pernah. Heheh… ngarep-dot-com.
Saya juga berpendapat, mungkin saja, gelar tanda jasa itu diberikan karena Polri bisa bekerja di luar tugas pokok dan fungsinya. Polri pengayom masyarakat itu sudah biasa. Tapi Jika polri “Pengayom” Hiu Paus, itu luar biasa. Sebaliknya, jika seandainya saya bisa membongkar kasus pembunuhan yang didalangi oleh Para Geng Pelakor ternama (misalnya) maka itu dianggap luar biasa. Tapi jika saya jadi penyelamat Hiu Paus seperti Tim ekspedisi hebat itu, pasti dianggap biasa. Begitu kira-kira analoginya.
Sebagai pelengkap sebelum penutup, saya ingin mengutip pesan Prof. Suharsono saat menjadi salah satu keynote speakers diacara Simposium Hiu dan Pari ke-2 yang baru saja diadakan akhir Maret lalu. Beliau mengatakan seperti ini, “sekecil apapun data yang Anda miliki, jika itu bisa berkontribusi secara nasional, itu jauh lebih baik dibanding tumpukan data beribu-ribu lembar yang hanya Anda pajang di rak lemari lembaga Anda”
Saya hanya ingin mengatakan bahwa kasus Hiu Paus di sombori sebetulnya bisa menjadi momentum emas untuk bahan observasi yang bisa didorong untuk berkontribusi secara nasional. Hal itu bisa dilakukan jika saja tim ekspedisi sombori sedikit membuka ruang koordinasi kepada beberapa lembaga yang kompetibel, pasti banyak informasi yang bisa peroleh.
Bisa dibayangkan jika kita ingin melakukan observasi Hiu Paus melalui rekayasa media hidupnya, seperti membuat kolam atau aquarium besar. Berapa banyak biaya yang harus disiapkan? Berapa banyak air laut dan makanan yang harus disediakan? Belum lagi sulitnya mengevakuasi badan ikan yang gendut itu. Bukankah laguna (lagoon) adalah kolam “laboratorium” observasi alami tanpa biaya rekayasa sehelai rupiah pun? Kita bisa mempelajari banyak hal didalamnya. Misalnya soal pola dan tingkah laku dan pergerakan hiu paus di malam hari. Bahkan sampai ke urusan cara buang kotoran si Hiu Paus bisa dipelajari.
Soal kekhawatiran, “jika tidak segera dievakuasi Hiu Puas akan mati karena kehabisan makanan” atau “badannya sudah mulai kurus” (saya tidak tahu standar apa yang digunakan untuk menentukan kurus tidaknya hiu paus)” itu sah-sah saja. Tapi tidak perlu dikhawatirkan berlebihan. Hiu Paus itu bersifat filter feeder atau pemakan-penyaring. Maka selama air dalam lagoon masih tersirkulasi dengan baik dari luar, suplay makanan akan tetap ada meskipun tidak melimpah, yakni Jasad renik tak kasat mata yang mendiami lautan. Itulah plankton yang jadi sumber makanan utama Hiu Paus. “Tiada kehidupan dilaut tanpa keberadaan plankton”, kata Prof. Anugerah Nontji.
Terakhir, Seingat saya, tiga hari sebelum penyerahan Tanda Jasa penyelamatan itu, di Jakarta sedang berlangsung Simposium Nasional Hiu dan Pari Ke-2. Ada 166 judul makalah bertemakan hiu dan pari yang dipaparkan. 13 judul diantaranya fokus ke Hiu Paus. Termasuk salah satunya adalah makalah BPSPL Makassar dari hasil monitoring Hiu Paus Gorontalo. Besar harapan saya sebenarnya ada data-data penyelamatan Hiu Paus Sombori bisa berkontribusi secara nasional. Sayang masih sedikit yang peduli soal ini. Kita masih terlalu sibuk dengan seremoni dan lupa berkontribusi. Hebat sebagai penyelamat tapi lupa mencatat.
*Penulis adalah pegawai di Kementrian Kelautan dan Perikanan RI. Aktif memonitoring hiu paus di wilayah Gorontalo.
Discussion about this post