A : Ongko mia numikah malo ai le Kolono
B : Ongko koa elektonno ?
Serba-serbi pernikahan miano Tobungku (orang Bungku) hampir selalu identik dengan pertanyaan macam di atas. Keberadaan elekton atau instrumen musik yang mengiringi pernikahan seakan menjadi hal wajib yang sifatnya fardhu ain bagi setiap pesta pernikahan miano Tobungku. Boleh dikata, pernikahan tanpa musik elekton akan terasa kosong, tidak menarik, dan pastinya hampa, sehampa diriku yang ditinggal olehmu.
Musik elekton sendiri identik dengan lagu-lagu dero yang sempat menduduki peringkat teratas dalam tangga lagu billboard Bungku beberapa tahun silam. Walaupun lagu dero menggunakan bahasa pamona sebagai bahasa asli orang Poso, namun karena lagu-lagunya yang easy listening membuatnya dapat dinikmati oleh semua kalangan.
Bagaikan dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan, lagu dan tarian menjadi komponen penting dalam setiap pernikahan yang digelar, pun ini berlaku bagi pernikahan di Bungku. Tari-tarian seperti modero, molulo, dan mojai menjadi kegiatan puncak dari serangkaian acara pesta pernikahan. Umumnya, ketiganya akan ditarikan pada malam hari selepas acara mobasa (acara resmi pernikahan) hingga menjelang fajar menyingsing. Lama memang, kamu gak akan kuat, biar pongko dero saja !
Eh tapi, apa sih perbedaan antara modero, molulo, dan mojai ?
Lalu mengapa tradisi-tradisi tersebut bisa sampai di Morowali ?
Modero atau dero dalam bahasa pamona adalah sebuah tarian yang berasal dari Suku Pamona di Kabupaten Poso. Sebuah tradisi yang melambangkan suka cita dan ungkapan rasa syukur atas anugerah yang diberikan Tuhan. Tarian ini dilakukan ketika acara pesta panen atau oleh masyarakat sekitar menyebutnya padungku selesai dilaksanakan.
Padungku sendiri merupakan prosesi memanen hasil-hasil pertanian terutama tanaman padi. Setelah padungku berakhir, berbondong-bondong masyarakat akan ke lapangan terbuka untuk modero. Elemen masyarakat dari anak kecil sampai dewasa tanpa melihat gender (jenis kelamin), agama, umur, dan status sosial, larut dalam kegembiraan. Tetangga-tetangga desa juga bahkan turut ikut serta dalam acara padungku sampai kegiatan puncaknya “modero”.
Gerakan modero sendiri cukup sederhana yaitu menggerakkan kaki maju mundur dan bergeser ke satu arah yaitu arah ke kanan dan dilakukan sambil bergandengan tangan. Kemudian disusul dengan alunan pantun yang saling sahut-menyahut. Untuk mengiringi tari dero, digunakan alat musik nggongi (gong) dan ganda (gendang) serta syair atau pantun yang didendangkan oleh pengiring vokal atau mokayori.
Konon pada awalnya, tari dero asli atau moende sama sekali tidak mengindahkan siapapun untuk saling berpegangan tangan sampai kedatangan Jepang ke Indonesia. Sebelum misionaris memasuki lembah Poso, masyarakat Pamona memiliki sebuah kepercayaan tradisional yang berpusat di dalam Lobo. Laki-laki diharuskan mengayau (memenggal kepala) yang diperuntukkan sebagai penolak bala agar gagal panen bisa dihindari. Setelahnya, tengkorak kepala tersebut akan diletakkan di tengah-tengah Lobo dan masyarakat akan mengitarinya secara melingkar.
Berbeda dengan modero yang memiliki nyanyian, lulo yang merupakan tradisi asli Suku Tolaki di Sulawesi Tengara hanya memiliki alat musik gong yang berbeda ukuran dan suara sebagai pengiring. Sama seperti modero, lulo juga ditampilkan ketika pesta panen raya berikut upacara pelantikan raja. Dengan membentuk sebuah lingkaran, seluruh lapisan masyarakat akan baur-membaur dan saling berpegangan tangan sama lain. Gerakannya yaitu bergandengan tangan dan menghentakan kaki sekali ke kiri dan dua kali ke kanan. Menariknya, ada perbedaan posisi tangan antara laki-laki dan perempuan ketika bergandengan tangan, di mana telapak tangan laki-laki harus berada di bawah tangan perempuan. Hal ini syarat akan makna dan sebuah simbolisasi kehidupan akan pentingnya peran, etika, dan kedudukan pria dan wanita dalam kehidupan.
Mojai berasal dari bahasa Baree dan merupakan tradisi Suku Baree yang awalnya bermukim di Kabupaten Tojo Una-una. Entah bagaimana mojai bisa sampai di dataran Morowali, namun berdasarkan wawancara singkat bersama pak Syakir Mahid (Sejarawan Bungku), tradisi ini dibawa oleh Suku Bare’e ketika terjadi perang antara Kerajaan Bungku dan Mori. Akulturasi budayapun terjadi sehingga mojai dewasa sekarang juga dianggap sebagai tradisi Miano tobungku. Sama seperti kedua tarian sebelumnya, tradisi mojai juga dilakukan ketika acara pesta panen raya selesai atau disebut mesofi dengan cara menyanyi, saling berbalas pantun tanpa iringan alat musik apapun.
Menurut penuturan beberapa sumber, mojai hanya terbatas pada desa-desa tertentu saja seperti Desa Sakita, Lamberea, Matansala, dan Bahoruru. Mengapa dan apa alasannya ? hal ini tentunya berkaitan dengan suku asli yang mendiami desa-desa tersebut. Perlu kita ketahui bersama jika Desa Sakita memiliki suku asli Tomadino, Matansala Tombelala, Lamberea Tombelala, dan Bahoruru yang merupakan gabungan keduanya. Bagaimana kemudian tradisi Suku Bare’e tersebut bisa menjadi tarian ketiga suku tersebut masih butuh penelitian lebih lanjut.
Baik modero, molulo, dan mojai pada hakikatnya merupakan tarian pesta panen raya yang ditarikan ketika masyarakat selesai memanen. Dari anak-anak sampai orang tua, kesemuanya akan berkumpul bersama dalam hingar-bingar perayaan. Tidak ada kesedihan, kekecewaan, kemarahan atau hal negatif lainnya selain keceriaan dan semangat kebersamaan. Alam menyediakan apa yang dibutuhkan oleh manusia, alam memberikan manusia penghidupan yang tak ternilai, alam menjadikan manusia selalu bergantung terhadapnya. Untuk itu, sebagai ungkapan rasa syukur kepada alam, terutama kepada Sang Pemilik Kehidupan, diselenggarakanlah acara tersebut. Tak hanya itu, tarian ini juga berfungsi untuk mempersatukan dan mempererat tali persaudaraan antar sesama anggota masyarakat.
Di setiap acara pesta panen, tak hanya masyarakat satu desa saja yang bersuka cita namun juga desa-desa tetangga juga turut serta. Semangat gotong-royong dan kebersamaan akan selalu nampak di setiap acara tersebut dikarenakan masyarakat akan bahu-membahu dan membantu satu sama lain. Tarian yang menyatukan siapapun tanpa peduli dengan latar belakang yang dimilikinya.
Bagi seorang jomblo akut, tak perlu khawatir lagi bakal menjalani suramnya hidup seorang diri. Layaknya variety show Take Me Out yang pernah tayang di Indosiar, acara ini bisa menjadi sarana untuk mencari pasangan hidup. Gokil … Kalau miano Tobungku bilang sebagai ajang mompeanatina dan mompeanamolepo. Yah benar, kebanyakan yang mengikuti tarian ini adalah anak muda yang masih lajang dan berharap memiliki pasangan ketika acara berakhir. Bagi yang berhasil Alhamdulillah, tapi bagi yang tidak kasian deloooo !!!
Dan mengapa kemudian tarian yang awalnya diperuntukkan untuk ungkapan rasa syukur kemudian menjadi acara wajib di setiap pesta atau acara pernikahan di Bungku ? Hal ini tentu masih belum bisa dijawab secara detail karena butuh penelitian lebih lanjut. Yang jelas dalam kasus ini jelas telah terjadi difusi kebudayaan dari Kabupaten Poso maupun Sulawesi Tenggara ke wilayah Morowali. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut karena tiap daerah akan menerima pengaruh budaya dari daerah luar.
Hanya saja jika memang kabupaten ini meghormati kekayaan intelektual serta mencintai kebudayaan, sepertinya kita harus kembali menyelami nilai-nilai tradisi kita yang perlahan mulai hilang. Gerakan melindungi dan mempertahankan budaya lokal harus digalakkan kembali oleh pemerintah daerah agar generasi Y dan Z tidak mengalami degradasi moral yang terlampau parah. Pun, generasi alpha dapat menikmati dan menyaksikan keberadaan tradisi-tradisi kita ke depannya. Bagaimana ?
Discussion about this post