“Tak mesti tinggal di kampung halaman untuk dikatakan mengabdi pada daerah, mengabdi bisa dari mana saja selama ada kemauan”
Bagi sebagian orang yang merantau untuk mengejar karir di daerah lain pasti akan selalu mendapati pertanyaan atau sekadar ujaran agar lebih baik meniti karir di kampung halaman. Mereka beranggapan bahwa anak daerah hukumnya fardhu ain untuk kembali ke tanah kelahiran dan membantu perkembangan daerahnya. Kondisi seperti ini juga dialami oleh salah satu perantau asal Morowali bernama Moh. Yasir yang sudah 17 tahun lamanya meniti karir di tanah rantau sebagai Abdi Negara di Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sejak pertama kali meninggalkan tanah Tobungku di tahun 2005 silam, almarhum Apunya (red: ayah) selalu berharap dan mewanti-wanti agar dirinya bisa kembali berkarir di kampung halaman.
“Pekarejaa mongkoa le Morowali keu ari”, ucapnya berulang kali.
Awalnya pria yang lebih dikenal dengan nama Yasher Sakita ini mengindahkan kemauan Apunya. Saat telah menyematkan toga kelulusan dan berniat melamar pekerjaan di salah satu instansi Pemda Morowali, sebuah kejadian tak terduga membuatnya mengurungkan niat. Tanpa pikir panjang ia langsung memutuskan untuk kembali ke kota Daeng. Saat itu apunya menolak mentah-mentah keputusannya dan bersikeras menahannya hingga ujug-ujug memberikannya dua pilihan; bertahan di kampung halaman atau kembali ke Makassar tanpa sokongan dana apapun.
Sebagai seorang fresh graduate, pilihan Yasir saat itu cukup beresiko sebab keputusannya mau tak mau membuatnya harus kehilangan sokongan dana dari orang tua. Ia tidak bisa lagi meminta bantuan walaupun berada dalam posisi sulit sekalipun. Selain itu, dirinya yang belum memiliki pengalaman kerja pun tabungan harus memikirkan cara agar tetap bertahan di tanah rantau nantinya.
“Saya pun memutuskan memulai semuanya dari nol”, ucapnya.
Yasir merupakan alumnus Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Di kalangan komunitas kelautan di wilayah Indonesia Timur, namanya sudah tidak asing lagi. Jika kalian pernah makan di gerai KFC dan memperhatikan layar TV yang terpampang pada dindingnya, maka kalian akan dengan mudah melihat wajahnya sebab dia menjadi salah satu pengisi video kampanye yang dipraksarsai oleh KFC. Video yang diputar di seluruh gerai KFC tersebut berisi tentang gerakan pengurangan sampah plastik agar tidak mencemari ekosistem pesisir dan laut.
Di awal karirnya, lelaki pecinta dunia selam ini bekerja sebagai tenaga teknisi lapangan di Taman Wisata Perairan Kapoposang yang merupakan salah satu dari delapan kawasan yang dikelola oleh BKKPN (Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional) Kupang. TWP Kapoposang yang terletak di Kepulauan Spermonde, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan ini dikenal sebagai surga kecil di pusat segitiga karang dunia. Dunia selam telah membawanya menikmati banyak keindahan bawah laut diberbagai tempat, termasuk 4 Taman Laut terbaik di Sulawesi. Sejak awal, dia memang bercita-cita agar bisa menyelami 4 Taman Nasional Laut yang ada di Pulau Sulawesi. Di sisi utara ada Taman Nasional Bunaken, di sisi Selatan Ada taman Nasional Takabonerate, di bagian Tengah ada Taman Nasional Togean dan di lengan pulau sulawesi bagian Tenggara ada Taman Nasional Wakatobi yang menjadi surga bawah laut bagi para penyelam.
“Jangan mati sebelum menyelami 4 Taman Laut Sulawesi”, imbuhnya.
Selama lima tahun Yasir mengabdi di kawasan konservasi Taman Wisata Perairan Kapoposang, sebelum akhirnya lulus seleksi CPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2014. Dia ditempatkan di Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar. Ia menuturkan bahwa apa yang ia capai tidak didapatkan secara serta merta sebab untuk sampai pada tahap tersebut, ia harus mengalami kegagalan sebanyak 4 kali. Namun ia tidak pernah berputus asa dan terus memperbaiki kekurangannya di setiap tahapan tes yang membuatnya gagal hingga akhirnya Dewi Fortuna menghampirinya. Ia juga menuturkan bahwa memohon restu orangtua untuk setiap hal yang dilakukan menjadi kunci keberhasilannya.
“Do’a orang tua itu amat penting. Setiap saya ingin melakukan sesuatu, saya tidak akan keluar rumah tanpa restu orang tua. Do’a orang tua itu seperti sepasang kaki saat melangkah. Langkah pertama adalah doa ibu, dan langkah kedua adalah restu bapak ”, terangnya dengan tegas.
Pada tahun 2019 lalu Yasir mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Australia melalui Australia Scholarship Awards untuk mengikuti short-course pengelolaan sampah selama dua minggu di Universitas Griffith, Australia. Yasir mengungkapkan bahwa ia hanya mengandalkan “The Power of Nekat” saat memutuskan mengikuti seleksi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Australia tersebut. Yasir menganggap bahwa ia sama sekali tidak memiliki kemampuan bahasa Inggris yang mumpuni sehingga kemungkinan untuk lolos sangat kecil bahkan nihil.
“Bahasa Inggris yang saya tahu hanya yes no yes no”, ungkapnya sambil tertawa.
Beruntung Yasir berhasil lolos seleksi dan mengantarkannya menjadi salah satu peserta dari 20 orang yang mewakili Indonesia ke kegiatan tersebut. Karena pertama kalinya akan bepergian ke luar negeri, selang sebulan sebelum keberangkatan dan di sela kesibukan tugas kantor yang begitu padat, Yasir selalu menyempatkan waktu untuk mengasah kemampuan bahasa Inggrisnya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan sebab untuk menjadi seorang awardee, dirinya harus menemui kegagalan sebanyak dua kali.
“Kegagalan itu hal yang biasa, yang penting jangan pernah menyerah”, tuturnya.
Saat ini, Yasir telah menjadi koordinator BPSPL (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut) Wilayah kerja Manado. Di tempat ini ia bekerja di gedung Coral Triangle Initiative-Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) yang merupakan kantor dari enam negara yang termasuk dalam kawasan segitiga karang yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Pekerjaan yang berpindah-pindah tersebut mau tak mau membuatnya harus memboyong keluarga kecilnya untuk menetap di Manado.
Selain bekerja sebagai ASN di instansi Kementerian, Yasir juga aktif pada beberapa NGO (Non- Government Organisation) baik yang berpusat di kota Manado maupun Jakarta. Di Manado, Yasir banyak melakukan pendampingan terhadap komunitas lokal penggerak konservasi yang bertujuan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang dampak sampah pada pesisir dan lautan terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang. Salah satunya adalah komunitas Mudung Family yang mengajak masyarakat agar lebih aware terhadap persoalan lingkungan utamanya ekosistem pesisir dan laut yang dicemari sampah plastik. Untuk mendukung kegiatan tersebut mereka kemudian membentuk Bank Sampah Krokot di mana sampah rumah tangga yang telah disortir dapat dikompos tanpa dibuang lagi ke laut. Tak hanya itu, mereka juga melakukan kegiatan rutin dengan melakukan aksi bersih-bersih pantai setiap minggunya.
Di Jakarta, Yasir terlibat pada komunitas lingkungan bernama Diver Clean Action sebagai Marine Debree Ranger Sulawesi Utara. Di komunitas tersebut ia belajar bagaimana cara mengumpulkan data terkait sampah di laut maupun pesisir. Melalui cara ini mereka bisa mengidentifikasi sampah mana yang dibuang oleh rumah tangga maupun warung makan, dan penyebab apa yang membuat sampah-sampah tersebut sampai di kota Manado. Dari apa yang mereka lakukan, Yasir menuturkan bahwa sampah-sampah di lautan umumnya bukan berasal dari masyarakat lokal sebab mereka mendapatkan banyak bungkus mie Indomie yang berasal dari luar negeri.
Tak berhenti sampai di situ saja, Yasir juga saat ini tengah terlibat dalam sebuah project transplantasi karang secara berkelanjutan di Pantai Malalayang sebagai marine expert di Reeformers-sebuah NGO berbasis lingkungan yang berpusat di kota Manado. Lembaga tersebut diinisiasi oleh seorang siswa SMA bernama Rafael Angouw yang saat ini tengah mengenyam pendidikan di ibukota. Organisasi nirlaba yang mereka dirikan tersebut melakukan transplantasi karang dari CSC (Coral Stock Center) dan memonitor pekembangannya setiap bulan. Karang yang mereka tanam bisa diadopsi oleh masyarakat yang biayanya digunakan untuk monitoring setiap bulannya. Keikutsertaannya pada NGO tersebut tidak terlepas kapasitasnya dan pengalamannya di lapangan selama melakukan monitoring kesehatan terumbu karang dan penialian biodiversitas ikan karang.
Namun apa yang dilakukan Yasir di tanah rantau rupanya bertolak belakang dengan apa yang diketahui oleh masyarakat Morowali. Di tanah kelahirannya, Yasir lebih dikenal sebagai pemerhati sejarah dibandingkan seorang konservator kelautan. Hal ini bukan tanpa alasan sebab di laman sosial media Facebook miliknya, Yasir acap kali menunggah postingan terkait sejarah dan budaya Tobungku. Tak hanya sekadar menunggah, Yasir turut menjelaskan nirpersepsi sejarah Tobungku dengan data tertulis yang dimilikinya. Tak pelak setiap unggahannya yang mengandung unsur sejarah selalu memantik rasa penasaran netizen dan ujug-ujug julukan sejarawan muda Bungku pun disematkan kepadanya. Hal inilah juga yang membuat Pemda Morowali melalui Dinas Pendidikan Daerah mengundangnya menjadi narasumber pada acara musyawarah adat Tobungku bersanding dengan sejarawan Sulawesi Tengah sekaligus Dosen Universitas Tadulako Palu, Dr. Haliadi, S.S., M.A.
Bekerja sama dengan mahasiswa asal desa Sakita di kota Makassar, Yasir juga pernah menggelar acara peluncuran bukunya berjudul “Sie Tobungku”. Acara yang dihadiri oleh mantan Bupati Morowali dua periode Anwar Hafid tersebut membahas tentang konsep Sie dalam ranah budaya dan politik. Sie atau lumbung padi bagi sebagian masyarakat Tobungku digunakan untuk menyimpan padi hasil panen namun oleh Anwar Hafid kemudian digunakan pada visi pemerintahannya yaitu “Morowali Kabupaten Agribisnis (Si’e) 2012”.
Seperti yang ia sering ungkapkan bahwa mengabdi ke daerah bisa di mana saja dan itu pula yang turut ia lakukan hingga saat ini. Walaupun berdomisili di kota Manado, namun Yasir tidak pernah melupakan tanah kelahirannya. Melalui acara Festival Kebudayaan Morowali yang digelar pada Desember tahun lalu, Yasir tampil sebagai salah satu pencetus ide Batik Tobungku yang saat ini telah dikenakan oleh instansi pemda, sekolah, maupun perusahaan swasta di Kabupaten Morowali. Ia juga turut membantu penyusunan dokumen PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah) yang berisi data inventarisasi objek pemajuan kebudayaan Morowali.
Selain itu, Yasir juga menjadi salah satu dari tujuh anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Morowali. Tim Ahli ini bertugas untuk mengidentifikasi dan mengkaji temuan ODCB (Objek yang Diduga Cagar Budaya) apakah masuk dalam kriteria benda Cagar Budaya atau tidak. Pengkajian yang dilakukan berupa identifikasi dan klasifikasi dari setiap ODCB yang telah didaftarkan. Hasil kaijan berupa rekomendasi tersebut kemudian diserahkan ke Bupati untuk ditindak lanjuti lebih lanjut.
Ketika ditanya apakah ia akan kembali ke Morowali nantinya, ia menjawab dengan lantang.
“Tentu saja, saya akan tetap kembali”. ucapnya sembari tertawa.
Well, semoga saja ia bisa menepatinya.
Discussion about this post