Ada pepatah bijak yang mengatakan bahwa sampah seseorang bisa jadi harta karun bagi orang lain. Saat sebagian besar orang mengeluhkan limbah sampah yang tidak kunjung terselesaikan, ada segelintir orang yang memanfaatkan benda-benda tak berguna tersebut menjadi barang yang bernilai ekonomis.
Adalah Dwi Santoso, pemuda asal Kecamatan Bumi Raya yang menyulap sampah anorganik menjadi barang kerajinan yang diminati banyak orang. Namanya mungkin tidak familiar, namun keberhasilannya dalam mengelola sampah anorganik patut diacungi jempol. Lelaki yang akrab disapa Dwi ini menjadi satu-satunya sosok di Kabupaten Morowali yang memiliki galeri seni dengan produk bersumber dari limbah sampah. Produk unggulan galeri seni miliknya adalah pirografi atau seni lukis bakar, produk yang belum pernah ada di Morowali.
Sejak awal berkecimpung di dunia seni kriya, Dwi mengalami jatuh bangun yang nyaris membuatnya menyerah. Keterbatasan dana, kurangnya dukungan dari pemerintah daerah, hingga pasar craft yang masih terbatas di Morowali membuatnya urung untuk melanjutkan. Namun istrinya selalu menguatkan agar Dwi tetap berada di jalur yang telah ia rintis sejak awal.
“Biarkan karyamu menemukan jalannya”, ucap istrinya berulang kali.
Pengalaman yang ia dapatkan semasa kuliah saat merintis usaha yang sama, membuatnya tidak banyak menemui kesulitan saat membuat barang kerajinan tangan. Hal ini tidak terlepas dari sepak terjang yang pernah dilakukan Dwi saat masih berstatus mahasiswa.
Ketertarikan Dwi di dunia seni kriya dimulai saat ia mengenyam pendidikan di Jurusan Ekonomi Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri Palu (sekarang Universitas Datokarama Palu) pada 2014 lalu. Saat itu, Dwi bergabung dengan sebuah komunitas seni di Kota Palu. Dari sanalah Dwi berkenalan dengan seni lukis bakar. Setelah berkecimpung lama di komunitas seni, Dwi mulai menaruh harapan besar dan berkeinginan untuk menghasilkan karya yang terbuat dari seni lukis bakar.
“Saya coba untuk pertama kali merubah jalur saya, dalam artian bukan lagi lukisan menggunakan pensil atau cat tapi dengan lukisan bakar dengan alat solder”, ucapnya.
Saat itu Dwi miris melihat banyaknya limbah kayu yang berserakan di sekitar indekosnya. Ia kemudian berinsiatif untuk mengubah dan memanfaatkan limbah kayu tersebut menjadi barang yang bernilai ekonomis.
Bersama ketiga temannya, Dwi pernah merintis usaha di bidang craft dengan membuat satu galeri seni bernama Banua D’art di Kota Palu. Pada awalnya mereka hanya menerima pesanan lukisan berupa sketsa wajah menggunakan pensil. Keterbatasan biaya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan inovasi produk. Setelah Banua Art memiliki pelanggan tetap, barulah Dwi bersama teman-temannya mulai mengembangkan media lukis cat.
Penghasilan Dwi saat itu tidak main-main, Dwi bahkan mampu menikahi gadis pujaan hatinya dengan hasil penjualan karya seni kriya. Sejak awal memutuskan menikah, Dwi memang menargetkan mahar pernikahannya berasal dari jerih payahnya sendiri. Beruntung, peminat karya seni lukis bakar di kota Palu saat itu sedang besar sehingga memudahkan Dwi untuk menjual karyanya.
“Namanya orang menikah butuh biaya besar dan saya coba manfaatkan untuk berkarya terus, saya ingin membuat mahar sendiri dari kreativitas saya”, terangnya.
Setelah menikah, Dwi memutuskan pulang kampung dan menghentikan usahanya di Kota Palu. Dengan bantuan sang istri, Dwi kembali merintis karirnya di Morowali menjadi seorang craftsman dengan wajah baru bernama Dhiraf. Selain bermodalkan pengalaman, Dwi juga memanfaatkan media sosial seperti Youtube untuk menambah wawasan bagaimana memanfaatkan sampah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Setahun kemudian, usaha mereka mulai membuahkan hasil. Saat ini, peminat produk buatan mereka tak hanya berasal dari Sulawesi Tengah saja namun dari berbagai daerah di Indonesia seperti Yogyakarta, Jakarta, Malang, Ternate, dan Sulawesi Selatan.
Menurut Dwi, sampah masih menjadi isu dunia karena dampaknya yang bisa merusak lingkungan. Di Indonesia sendiri diperkirakan sebanyak 85.000 ton sampah dihasilkan per harinya di mana 60% – 70% didominasi oleh sampah rumah tangga. Jumlah ini diperkirakan akan mencapai angka 150.000 per harinya pada 2025 mendatang. Sedangkan saat ini, populasi dunia mencapai sekitar 7 miliar jiwa. Bayangkan saja, betapa banyak sampah yang diproduksi oleh manusia per harinya jika tidak ada usaha untuk mendaur ulang sampah.
“Dengan jumlah sebanyak itu, harus ada langkah yang dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan, salah satunya dengan mendaur ulang limbah sampah menjadi barang berguna”, tukas Dwi.
Memang tidak semua limbah sampah dikelola oleh Dwi menjadi barang yang berdaya guna. Dwi hanya memanfaatkan limbah sampah seperti kayu dan pipa paralon yang banyak dijumpai di sekitar. Pengelolaan pipa paralon baru ia tekuni selama satu tahun terakhir. Saat pulang kampung Dwi melihat banyak pipa paralon yang tidak terpakai bekas orang membangun rumah. Hal itu membuat Dwi memutar otak agar dapat memanfaatkan limbah pipa tersebut menjadi barang yang bermanfaat. Apalagi di daerah pedesaan seperti kampung halaman Dwi, produk yang dihasilkan tak hanya harus bermanfaat namun harus bersifat multiguna agar masyarakat tertarik untuk membelinya.
Respon masyarakat terhadap galeri seni milik Dwi cukup positif, kunjungan tak hanya dari masyarakat umum, namun juga dari komunitas, sekolah, bahkan instansi Pemda Morowali. Tak pelak, kondisi tersebut membuat Dwi mulai kebanjiran pesanan.
“Alhamdulillah, selama ini saya tidak pernah muncul di permukaan, tapi sekarang mulai mendapat perhatian”, ucapnya dengan nada bercanda.
Tak hanya bergelut pada seni kriya, Dwi juga aktif di dunia literasi. Bersama teman- teman sekampungnya, ia mendirikan perpustakaan desa bernama Moro Pinter. Dwi merasa sangat resah dengan kondisi anak-anak di kampungnya yang banyak melakukan aktivitas yang membuang waktu seperti bermain gim seharian penuh ataupun berkutat pada sosial media sepanjang waktu. Dwi ingin membuat sesuatu yang bisa memberdayakan mereka ke arah yang lebih positif, edukatif, dan informatif.
Dwi kemudian mengumpulkan teman-temannya yang telah menyelesaikan studi untuk membahas kontribusi yang harus mereka berikan di desa. Saat mengutarakan keinginan untuk membuat perpustakaan desa, Pemerintah Desa sangat antusias. Mereka kemudian diberikan fasilitas berupa Gedung Paud yang sudah tidak terpakai untuk dijadikan perpustakaan desa. Dibantu masyarakat, mereka merenovasi kembali bangunan tersebut.
Diskusi, baca buku, dan nonton bersama menjadi agenda rutin yang mereka lakukan di perpustakaan yang mereka namai Moro Pinter. Setelah berjalan selama satu tahun, Pemerintah Daerah Morowali melalui Dinas Arsip dan Perpustakaan menunjuk Moro Pinter untuk mengikuti lomba perpustakaan tingkat provinsi setelah menang pada tingkat kabupaten. Di usia yang masih terbilang sangat muda, Moro Pinter berhasil menjadi pemenang di tingkat provinsi dan berhak mewakili Sulawesi Tengah ke tingkat nasional. Walaupun di tingkat nasional mereka hanya meraih juara harapan 1 tapi gebrakan mereka dalam giat literasi patut diacungi jempol.
Dwi tentu mengakui bahwa tak mudah untuk mengubah pola pikir orang untuk mengolah sampah menjadi barang yang bermanfaat, layak jual, dan siap pakai. Namun, sebaik-baik menasehati adalah dengan cara menjadi teladan bagi banyak orang.
Produk lainnya dari Galeri Seni Dhiraf:
Discussion about this post