Gemercik hujan masih menetes membasahi bumi Sultan. Deras hujan yang berkecamuk sepanjang malam menguarkan aroma basah yang menusuk kulit. Di sudut ruangan dengan cahaya temaram, sebuah radio tua tersimpan rapi di atas lemari jati berukir bunga mawar. Meskipun usianya sudah renta dan sesekali terdengar bunyi retak-retak, namun lantunan lagu Fula Moiko masih mengalun merdu. Syahdu dan menggetarkan hati.
Meronga luru baho matangku
Heleakono bilita pinokatumu
Pompenansaku kana fula
Tefara le arongku …
Naku sabaripo mantario
Leumo fula moiko pedandianto
Lalono fue fumafao
Salamu mokoko au …
Seorang perempuan muda bergaun merah jambu menyeka air matanya. Ia beranjak dari tidurnya dan menatap langit malam dari balik jendela kayunya. Gelap, hampa, sepi, seolah-olah paham akan suasana hatinya yang dilanda gundah gulana. Dadanya sesak, lidahnya kelu, air matanya menggenang di sudut kedua bola matanya. Kerinduannya pada sang pujaan hati membuatnya terjaga sepanjang malam.
“Kapan kamu kembali?”, bisiknya dalam hati.
_____
Asgar Alamsyah Husen atau akrab disapa Om Eghar adalah sosok pencipta dibalik salah satu lagu populer Bungku, Fula Moiko. Di hampir setiap acara baik pesta pernikahan, event Pemda, tempat karaoke, bahkan moda transportasi lintas provinsi, lagu Fula Moiko acap kali diputar dan dinyanyikan. Kepopulerannya tak hanya menyasar kalangan muda saja, tetapi mereka yang berusia senja pun menyukainya. Lirik yang berkisah tentang cinta dua sejoli membuat lagu ini dengan cepat diterima oleh semua kalangan.
Fula Moiko atau bulan baik dalam bahasa Bungku (Fula: bulan; moiko: baik) menceritakan tentang seorang perempuan yang tengah berbahagia karena akan segera dilamar oleh sang kekasih. Jalinan kasih yang telah dirajut cukup lama rupanya terbalas dengan keputusan pihak laki-laki untuk mengikatnya dalam ikatan tali suci pernikahan. Kebahagiaan perempuan tersebut juga turut dirasakan oleh Om Eghar selaku sahabatnya yang kemudian dituangkan pada sebuah lagu berjudul Fula Moiko.
“Waktu itu ada teman mau menikah dan dia sangat senang sehingga saya ingin menceritakan isi hatinya lewat sebuah lagu”, jelasnya pada Kamputo.com saat diwawancarai via sambungan telepon, Kamis (03/11).
Demo lagu tersebut kemudian ia simpan rapi di dalam komputer miliknya. Namun saat seorang teman mengunjungi indekosnya pada 2010 lalu, demo lagu tersebut diambil dan tanpa sepengetahuannya disebar ke jejaring sosial media Facebook. Tak dinyana, lagu tersebut rupanya disukai dan seketika meledak di pasaran.
“Makanca mate lagu ai”, begitulah pandangan orang-orang terhadap lagu Fula Moiko.
Sayang, pangsa pasar lagu-lagu Bungku di Morowali masih sangat kurang sehingga meskipun lagu ini terbilang sukses dan disukai oleh banyak orang, namun royalti atas hak cipta lagu tersebut tidak ada. Namun bagi Om Eghar, hal tersebut bukanlah menjadi soal sebab karya yang diapresiasi sudah cukup membuatnya senang.
“Soal royalti belakangan, karya saya diapresiasi sudah cukup kok”, ucapnya dengan senyum merekah.
Kepiawaiannya di bidang seni rupanya tak muncul begitu saja. Ibunya, Siti Aminah merupakan seorang pemain teater yang mahir dalam memainkan alat musik. Sedari kecil Om Eghar telah diajari seni musik. Tak hanya memainkan instrumen musik tetapi juga menciptakan syair menjadi sebuah alunan lagu yang memanjakan telinga. Lagu-lagu yang ia buat berasal dari syair-syair tradisi seperti syairpengobatan dan nyanyian masyarakat yang kemudian digubah menjadi sebuah lagu.
“Saya terobesesi dari ibu saya karena beliau juga suka musik. Ibu saya suka menyanyi lagu tradisi sehingga saya juga menyanyikannya tetapi dengan gubahan baru”, tuturnya.
Eghar menjelaskan bahwa menciptakan lagu tidak boleh sembarangan terutama pada lagu-lagu yang berkaitan dengan tradisi yang memiliki makna filosofis mendalam. Seorang pencipta lagu harus melakukan observasi hingga ke akar rumput untuk mendapatkan makna dan nafas dari lagu yang akan dibuat. Hal ini cukup menantang sebab lagu-lagu tradisi Bungku beraneka macam seperti timbi, kabia, maupun dande. Namun berkat ketekunannya, Eghar mampu menggabungkan ketiganya. Bahkan Eghar sendiri juga mampu menggabungkan lagu pop, melayu, tradisi, bahkan dero menjadi satu lagu yang utuh.
Sepanjang karirnya, Eghar telah menciptakan sekitar 60-an lagu di mana karya hitsnya yang terkenal di antaranya Fula Moiko, Fulelengke Toe, Tongkano Pehoronto, dan Tempono Aku Lumako. Saat ditanya bagaimana konsistensinya dalam berkarya, Eghar mengungkapkan bahwa kecintaannya dalam menciptakan lagu adalah kunci.
“Saya suka menciptakan lagu yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat maupun problema yang terjadi di lingkungan masyarakat. Intinya menceritakan hal-hal riil yang terjadi di masyarakat mulai dari kisah cinta, persahabatan, kerinduan, kematian”, ungkapnya.
Lelaki yang sekarang berdomisili di Bente ini telah mendapatkan banyak penghargaan. Salah satunya adalah juara III dalam lomba cipta lagu mars Morowali. Walaupun tidak menjadi jawara, Eghar yang saat itu masih berusia muda merasa bangga karena mampu bersanding dengan musisi Tompira (sekarang menjadi wilayah Kabupaten Morowali Utara) yang memang terkenal dengan masyarakatnya yang berjiwa seni.
Soal role model, Om Eghar mengidolakan Erens Reki. Musisi lokal asal Tompira ini akrab disapa Om Eghar dengan sebutan Papa Tua. Melalui tangan terampil beliau, Om Eghar diajari cara membuat lagu yang baik yaitu dengan melakukan observasi ke bawah, kemudian membuat sinopsis, dan selanjutnya kalimat pembuka dengan tata bahasa yang baik sesuai dengan cerita lagu. Tak hanya itu, Papa Tua juga mengajarkan cara mengambil lirik yang benar yang sumbernya berasal dari tutur tradisi, lagu tradisi, dan lokal tradisi hingga bisa menjadi not-not lagu.
Sayang, Pemda Morowali tidak pernah mengapresiasi langkah yang hendak dilakukan oleh Om Eghar untuk membuat lagu-lagu Bungku melalui proposal yang ia sodorkan. Padahal Eghar berharap musik tradisi yang masih terpelihara baik dalam kehidupan masyarakat Bungku dapat digubah kembali. Bahkan sampai saat ini tidak ada tanggapan dari Pemda mengenai kelanjutan proposal tersebut. Sekadar menolak pun tidak ada. Hal ini membuat langkah Om Eghar untuk melestarikan lagu-lagu Bungku terhenti sehingga ia memutuskan untuk menyimpan rapi teks-teks lagu yang ia ciptakan di dalam lemari tua miliknya.
Tidak adanya dukungan dan apresiasi dari Pemda membuat inovasi lagu-lagu Bungku sangat tertinggal dari kabupaten lain seperti Morowali Utara, Poso, dan Luwuk Banggai. Hal ini membuat lagu-lagu Bungku semakin kehilangan pamornya di masyarakat. Padahal menurut Om Eghar, Morowali juga memiliki musisi-musisi lokal dengan potensi besar. Sayang, potensi dan kreativitas mereka terhambat karena biaya besar dan tidak adanya wadah yang disediakan oleh Pemda untuk mendukung karir musik mereka.
Eghar juga menilai jika pangsa pasar lagu Bungku sangat kurang sehingga segelintir produser urung menggarap lagu dari musisi lokal yang ada. Hal ini pernah dialami oleh salah satu musisi kenamaan Morowali yaitu almarhum Om Falla yang albumnya kurang terjual padahal memiliki banyak lagu hits. Walhasil, pihak produser mengalami kerugian besar.
Meskipun lagu-lagu Bungku seakan kehilangan ruhnya, namun penikmatnya masih bertebaran. Hal ini membuat Om Eghar tetap optimis jika suatu saat nanti lagu-lagu Bungku akan kembali eksis seperti dahulu. Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang MUA (Make Up Artist), Om Eghar juga masih aktif menciptakan lagu. Ia berharap lagu Bungku bisa bersaing dengan lagu-lagu Ambon, Batak, maupun Minang yang telah lebih dulu tenar dan digemari oleh masyarakat Indonesia karena kekhasan musiknya.
“Prinsip saya ke depan lagu bungku harus memiliki ciri khas. Baru musiknya terdengar sudah ditahu kalau itu lagu Bungku”, ucapnya.
Saat ini, lagu-lagu Bungku sudah mulai jarang terdengar terutama di pesta-pesta pernikahan. Hal ini membuat Om Eghar merasa kecil hati. Sebagai seorang yang bergelut di dunia musik, ia berharap lagu-lagu Bungku tetap eksis dan tak lekang oleh waktu pun zaman. Om Eghar juga berharap agar para musisi lokal bisa kreatif, inovatif, dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan teknologi saat ini. Namun yang terpenting adalah Pemda Morowali dapat menyediakan studio rekaman sehingga para musisi lokal bisa memiliki wadah untuk menuangkan kreativitasnya.
“Tantangan kita sekarang ini karena lagu ini tidak ada wadahnya atau studio rekamannya. Seharusnya Pemda memperhatikan ini. Saya sendiri memiliki sekitar 60-an lagu tapi sebagian syairnya saya sudah lupa. Sinopsisnya dan not-notnya saya masih simpan sebagai bukti bahwasanya saya adalah pencipta lagu-lagu tersebut”, tegasnya.
Selain menciptakan lagu, Om Eghar juga pernah bertindak sebagai koreografer. Bersama teman-teman seprofesinya, mereka pernah membangun sebuah sanggar seni yang saat ini telah bubar karena beberapa pendirinya telah mangkat.
Pengetahuan Om Eghar tentang kebudayaan Tobungku tak didapat serta merta. Ayahnya yang merupakan keturunan ke-7 dari raja Bungku pertama, Sangiang Kinambuka adalah seorang juru tulis yang begitu disegani. Bahkan nyanyian tradisi yang ia ciptakan kerap kali merupakan rekomendasi dari sang ayah. Hal ini membuat SDN 2 Bungku pernah memercayakan Om Eghar sebagai guru Seni dan Budaya di sekolah tersebut selama lima tahun. Om Eghar mengajari para siswa tentang tari Luminda yang merupakan tari tradisional suku Bungku.
“Saya memberikan pelajaran tentang tari Luminda, bagaimana gerakannya, gerakannya apa saja, baju yang dipake apa saja hingga cara membuat topinya, tapi itu gak bertahan lama”, jelasnya.
Saat ini, Om Eghar lebih dikenal sebagai MUA (Make Up Artist) andalan yang tak hanya wara-wiri di Kabupaten Morowali tapi juga kabupaten tetangga bahkan provinsi sebelah seperti Sulawesi Tenggara. Menjadi seorang MUA bukanlah pilihan awal Om Eghar sebab Eghar Wedding Gallery miliknya menjadikan dirinya sebagai seorang pendekor sedangkan yang bertindak sebagai MUA adalah sepupunya. Namun ketika sepupunya meninggal, Om Eghar tidak memiliki pilihan selain langsung banting setir menjadi MUA untuk menggantikan posisi sepupunya. Apalagi Rubiah, istrinya sangat mendukung langkahnya menekuni dunia tata rias.
“Sampai istriku tuh ngomong suruh belajar”, jelasnya saat ditanya mengapa terjun ke dunia MUA.
Om Eghar menuturkan bahwa awalnya ia belajar otodidak, namun seiring berjalannya waktu ia mulai fokus dengan belajar langsung pada ahlinya atau melalui saluran Youtube yang bisa diakses gratis.
Tak berhenti sampai di situ saja, Om Eghar juga melakukan penertiban pada pemakaian baju adat Bungku. Sampai saat ini, ia masih mencari desainer atau perancang busana untuk mendesain baju adat Bungku sesuai dengan pakem yang telah ada. Menurutnya profesi mereka sebagai seorang MUA adalah ujung tombak kebudayaan sebab pesta-pesta perkawinan membutuhkan pakaian adat yang kesemuanya harus dipersiapkan oleh mereka. Sehingga mereka tidak boleh sembarangan dalam membuat baju adat Bungku yang hendak dikenakan oleh pengantin.
“Seragamnya pake baju bungku. Di situlah momen kita, senjata kita untuk melestarikan kebudayaan kita karena di momen lain sangat sulit, kebanyakan dipake hanya pada momen perkawinan”, tuturnya.
Hal inilah yang membuat Ok Eghar memutuskan untuk mengembangkan baju adat Bungku agar tidak monoton. Menurutnya selama ini baju adat Bungku tidak memiliki inovasi baik dari segi desain maupun motif dan hanya dipakai pada acara-acara tertentu saja sehingga Om Eghar beranggapan hal ini sudah ketinggalan zaman. Apalagi saat ini, Morowali telah memiliki motif kain tenun Tobungku dan batik Tobungku.
“Kita coba buat keseragaman baik secara desain maupun motif sehingga bisa dikembangkan di luar oleh semua kalangan dan bisa dipake pada fashion yang lain”, tuturnya.
Hanya saja kendala finansial menyulitkan langkah Om Eghar. Cita-citanya untuk memproduksi massal baju sewaan berikut aksesorisnya belum bisa terealisasi karena biaya produksi yang sangat besar. Sehingga apa yang dimilikinya saat ini hanya menjadi koleksi pribadi saja sembari berusaha mencari cara untuk mewujudkan cita-cita besarnya. Ia percaya harapan itu akan menemukan jalannya.
Saat ini Om Eghar tengah menyiapkan diri untuk membuat sebuah galeri seni yang menyewakan pakaian adat Bungku lengkap dengan aksesorisnya. Dengan galeri tersebut, Om Eghar berharap masyarakat tidak kesusahan lagi untuk mencari pakaian adat Bungku. Om Eghar berharap galeri adat Bungku yang hendak dirintisnya dapat rampung paling lambat di tahun 2026 mendatang.
Di akhir wawancaranya, Om Eghar menjelaskan tentang rencananya ke depan yaitu mengerjakan tali kasili bate dari batik Tobungku, tali mpolulu bate dalam pengembangan rangka baju adat untuk remaja yang dipersiapkan untuk HUT Morowali.
“Tunggu yah karya saya”, ujarnya sembari tertawa.
Discussion about this post