Omnibus Law atau Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) masih menjadi polemik, perdebatan di ruang-ruang publik masih ramai dilakukan. Pada saat yang sama, momentum pembatasan social karena pandemi dimanfaatkan pemerintah bersama DPR RI untuk tetap membahasnya.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan jika Omnibus Law bakal rampung pada Juli mendatang. Bahkan DPR meminta kepada pemerintah untuk secepatnya menyiapkan aturan turunan RUU Ciptaker. Kebijakan New Normal yang saat ini digagas oleh pemerintah guna membangkitkan kembali perekonomian nasional setelah pandemi Virus Corona Covid-19 diperkirakan akan mempercepat proses pengesahan RUU ini.
Sebelum membahas lebih dalam, pertanyaan paling krusial adalah apa itu Omnibus Law dan mengapa menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat?
Omnibus Law adalah rancangan peraturan baru yang sengaja dibuat untuk mengganti aturan-aturan yang sebelumnya telah ada. Dengan kata lain, Omnibus Law bertujuan untuk mempermudah sistem dan regulasi yang berbelit dalam peraturan sebelumnya. Di dalam Omnibus Law, ada tiga hal penting yang dibahas di antaranya RUU Ciptaker, RUU Perpajakan dan RUU UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).
Yang paling banyak menuai polemik pro dan kontra adalah RUU Ciptaker. Setidaknya ada sembilan alasan mengapa RUU Ciptaker ditolak di antaranya, 1) hilangnya ketentuan upah minimum di kabupaten/kota, 2) masalah aturan pesangon yang kualitasnya rendah dan tanpa kepastian, 3) membuat sistem pemakaian tenaga alih daya atau outsourcing yang semakin mudah, 4) sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan dihapuskan, 5) jam kerja yang eksploitatif, 6) karyawan kontrak akan sulit menjadi pegawai tetap, 7) penggunaan tenaga kerja asing termasuk buruh kasar semakin bebas, 8) perusahaan akan mudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan 9) hilangnya jaminan sosial bagi buruh khususnya jaminan kesehatan dan pensiun.
Adapun yang dikaji dalam tulisan ini mengenai peraturan tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) yaitu UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 42 ayat 1 Omnibus Law
“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki pengesahan rencana pengunaan TKA dari pemerintah pusat”
Pasal 42 ayat 1 Sebelumnya
“Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari menter atau pejabat yang di tunjuk”
Analisis
Harusnya kewenangan memberikan izin kepada TKA dimiliki oleh menteri dan pejabat yang ditunjuk sesuai dengan UU Ketenagakerjaan. Namun kehadiran Omnibus Law membuat kewenangan ini diberikan kepada pemerintah pusat. Dampaknya adalah seluruh perizinan diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat sedangkan menteri atau pejabat yang ditunjuk (kemungkinan pemerintah daerah setempat) tidak mempunyai wewenang dalam urusan perizinan sehingga esensi otonomi daerah berkurang.
Pasal 42 ayat 3 Omnibus Law
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi :
a. Anggota direksi atau anggota dewan komisaris dengan kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
b. Pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing
c. TKA yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan pemeliharaan mesin produksi, untuk keadaan darurat vokasi, start-up, kunjungan bisnis, dan penelitian dalam jangka waktu tertentu
Pasal 42 ayat 3 Sebelumnya
“Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan TKA seagai pegawai diplomatik dan konsuler”
Analisis
Aturan sebelumnya hanya mempekerjakan TKA sebagai diplomatik dan konsuler yang tidak memerlukan izin pada menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sedangkan peraturan Omnibus Law memuat tiga poin tambahan yang mana ketiganya dapat membuka peluang bagi TKA asing untuk menjadi anggota direksi dan dewan komisaris tanpa izin dari pemerintah pusat.
Aturan ini memberikan ruang bagi kemudahan izin TKA untuk keperluan pemeliharaan mesin produksi untuk keadaan darurat, vokasi, start-up, kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka tertentu. Hal ini akan berdampak bagi kaum milenial Indonesia yang saat ini menjadikan start-up sebagai sarana untuk berwirausaha. Jika peraturan ini berlaku, maka kemungkinan besar akan disi oleh TKA.
Pasal 43 dihapus
Ayat 1 “Pemberi kerja yang menggunakan TKA harus memiliki rencana penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk”
Ayat 2 “Rencana penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang kurangnya memuat keterangan a) alasan penggunaan TKA, b) jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan, c) jangka waktu penggunaan TKA; dan d) penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan
Ayat 3 “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan internasional, dan perwakilan negara asing”
Analisis
Penghapusan pasal 43 jelas memberikan ruang kepada TKA untuk menempati setiap jabatan tanpa peraturan yang harus dipatuhi. Dampaknya adalah TKA dan investor kemungkinan akan lebih banyak diserap dibanding tenaga kerja lokal.
Pasal 44 dihapus
Ayat 1 “Pemberi TKA wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku”
Ayat 2 “Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri”
Analisis
Dihapusnya pasal 44 memungkinkan perusahaan di Indonesia dikuasi oleh TKA. Jika dulunya TKA yang bekerja di Indonesia harus sesuai dengan standar yang telah ditentukan dalam pasal 44 sebelumnya, maka dihapusnya pasal 44 ini akan berdampak pada kemunculan TKA yang tidak memiliki potensi di bidang pengetahuan, keahlian, dan keterampilan sehingga mengancam keberadaan buruh lokal.
Lalu Apa hubungannya dengan Morowali ?
Morowali adalah salah satu daerah di Indonesia yang memliki potensi sumber daya alam yang cukup besar terutama di bidang pertambangan. Pada 2017 lalu, masyarakat sempat digegerkan dengan isu TKA ilegal yang membludak dan bekerja di PT IMIP. Hingga tahun 2016 tercatat jumlah TKA di Morowali sebesar 3.12 orang. Memasuki tahun 2020, data dari jumlah TKA tersebut belum diketahui apakah masih pada angka yang sama atau telah berubah.
Terlepas dari hal tersebut, kehadiran Omnibus Law akan sangat berakibat fatal jika kita sebagai masyarakat Morowali tidak kritis.
Jika nantinya RUU Ciptaker ini disahkan, kemungkinan TKA akan bertambah banyak. Padahal sebelum adanya Omnibus Law, TKA di wilayah ini sudah sangat bebas untuk keluar masuk. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi Morowali ke depannya ketika kebijakan ini disahkan?
Dampak negatif lainnya adalah kerusakan lingkungan, kesehatan, pendidikan, pertanian dan pengadan lahan, serta kebebasan untuk membukan lahan tambang tanpa memperhatikan kelestarian lingkungam.
Selanjutnya, dari sisi perizinan yang tertuju pada pusat atau yang lazim dikenal perizinan satu pintu. Kebijakan ini bisa mengurangi fungsi dari otonomi daerah atas nama pemerataan pembangunan ekonomi. Hal ini bisa berimbas pada kesewenang-wenangan pemerintah pusat atas perizinan TKA, investasi, serta perusahaan. Tidak menutup kemungkinan akan ada permainan di luar pengetahuan pemda. RUU ini juga lebih banyak menguntungkan pihak swasta dan negara. Mengapa ? karena RUU ini membatasi hak-hak buruh.
Kita harus kritis dan berpikir jangka panjang mengenai dampak RUU Ciptaker ini. Jangan sampai kita sebagai tuan rumah hanya menjadi penonton dan merasa asing di rumah sendiri.
***Penulis adalah Mahasiswa Morowali kandidat Magister Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada.
Discussion about this post