Usia bumi semakin menua, sesuai penanggalan radiometrik meteroit sudah mencapai 4,543 milyar tahun. Tidak ada yang tahu pasti seberapa jauh lagi bumi mampu bertahan dalam menopang beragam interaksi kehidupan di permukaannya. Sementara manusia terus mengekspolitasi isi-isinya tanpa henti demi melangsungkan hidup lintas generasi.
Bahodopi merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Morowali yang memperlihatkan perubahan tatanan lingkungan dengan signifikan. Perubahan pada kecamatan dengan luas 118,71 km2 itu telah terjadi di daratan, lautan, dan udara seiring berdirinya pasak-pasak industri.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan industri pertambangan itu, lagi pula negara memberikan izin dan perusahaan membuka lapangan pekerjaan untuk masyarakat, puluhan ribu karyawan Indonesia dipekerjakan dalam industri tersebut, perekonomian daerah berkembang, para pemuda memiliki kesibukan dengan pekerjaanya hingga tidak ada waktu yang perlu dihabiskan dengan kenakalan remaja, kita patut bersyukur untuk itu.
Namun, menjadi bencana jika aktivitas ekploitasi tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup secara ketat. Apalagi aktivitas industri memiliki hasil sampingan berupa limbah.
Maraknya kegiatan eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian lingkungan, akan memberikan dampak yang buruk terutama bagi kita yang hidup berdampingan dengan ekspliotasi, mulai dari gangguan fisik hingga biologi. Padahal seluruh tatanan alami ekosistem dalam melakukan perannya pada siklus yang telah terstruktur sedemikian rupa.
Berikut ulasan penulis melihat perubahan yang terjadi dari segi pemanfaatan alam sebelum dan sesudah adanya industri di Kecamatan Bahodopi pada kawasan daratan, lautan, dan udara. Sehingga dapat memberikan gambaran terkait kelestarian alam yang perlahan menghilang, dan potensi pencemaran akibat kekeliruan pengelolaan.
Perubahan lingkungan kawasan daratan
Peralihan profesi masyarakat dari petani ke buruh atau nelayan ke buruh bersamaan dengan perubahan sikap terhadap lingkungan. Pada 2010 silam perusahaan pertama mulai aktif di Desa Fatufia dengan nama PT. Bintang Delapan Mineral (BDM), operasionalnya berlangsung sesuai dengan terbitnya izin usaha pertambangan operasi produksi bernomor : 540.3/SK.001/DESDM/VI/2010.
Atas dasar SK tersebut luas lahan yang diizinkan pemerintah untuk diolah sebanyak 21,695 hektar mencakup Sembilan desa di Kecamatan Bahodopi. Sejak itu alam mulai dikeruk, pepohonan mulai digusur, mangrove mulai ditimbun, vegetasi diratakan dengan tanah, sementara flora kehilangan tempat tinggal, akhirnya harus menjauh pada sisi lain hutan untuk menghindari kerusakan yang disebabkan alat berat untuk menjaga populasinya.
Tidak hanya flora yang menjauh, hamparan persawahan hijau nan asri juga perlahan menghilang. Pada 4 Agustus 2010 mimpi buruk menghantui masyarakat kawasan industri, banjir bandang terjadi setelah beberapa tahun, pemukiman dan lahan pertanian terendam. Sebanyak 497 lahan pertanian milik kepala keluaraga (KK) petani gagal panen karena terendam lumpur yang terbawa dari hulu sungai akibat pembongkaran hutan.
Sejak kejadian itu lahan pertanian mulai berkurang, saluran irigasi rusak, semangat bertani mulai hilang, alam tidak lagi mendukung ketentaraman dan kesejahtran masyarakat.
Pada awal operasional perusahaan sebaran lahan pertanian masih cukup luas, catatan BPS menunjukkan luas lahan menurut penggunaan di Kecamatan Bahodopi tahun 2014 pada jenis lahan sawah seluas 606 hektar (ha) meliputi irigasi setengah teknis 25 ha, irigasi sederhana 47 ha, irigasi desa/non-PU 200 ha, polder dan sawah lainnya 328 ha. Pada jenis lahan bukan sawah seluas 6,640 ha mencakup di dalamnya lahan tegal/kebun 1345 ha, ladang 266 ha, perkebunan 1632 ha, hutan rakyat 15 ha, tambak 3 ha, empang atau kolam 4 ha, padang rumput 675 ha, yang tidak diusakan 2248 ha, dan lain-lain 452 ha.
Selanjutnya terjadi perubahan teknik pengelolaan lingkungan dari pertanian ke pertambangan yang seiring dengan makin sempitnya lahan pertanian dan meluasnya kawasan industri. Data BPS Kecamatan Bahodopi dalam angka 2019 menunjukkan bahwa Kecamatan Bahodopi adalah regional yang tidak memiliki area persawahan. Meskipun masih terdapat pengelolaan tanaman lainnya tetapi terjadi penurunan produksi apabila dibandingkan tahun 2014. Luasan lahan bukan sawah mencakup lahan cabai tahun 2018 hanya seluas 9 ha. Jenis tanaman petsai seluas 8 ha, dan tomat 3 ha. Sementara data luasan jenis tanaman bawang merah dan bawang putih tidak dicantumkan, diduga pada tahun besangkutan tidak ada petani yang membudidayakan tanaman tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak tahun 2014 hingga 2019 terjadi penurunan luasan lahan dan produksi pertanian.
Pandangan strategi pengelolaan alam masyarakat pertanian dan pertambagan ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Mayarakat pertanian lebih mengutamakan kelestarian lingkungan, sebab jika terjadi gangguan pada suatu sistem alami atau daur di dalam tanah maka akan mempengaruhi produksi tanaman petani.
Untuk menghindari kerugian produksi, petani melakukan pengelolaan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan meminimalkan pencemaran. Sementara itu, aktivitas pertambangan memiliki potensi yang lebih besar terhadap degradasi lingkungan karena dapat menghasilkan limbah industri, polusi udara, pencemaran air dan tanah, serta polusi suara.
Padatnya jam kerja aktivitas pertambangan menyebabkan ganguan pada lingkungan dan akan sulit untuk dihindari, misalnya polusi udara yang mencemari lingkungan hingga masuk ke rumah-rumah warga dan mengganggu kesehatan akibat padatnya kendaraan pabrik lalu-lalang.
Tidak hanya lahan pertanian yang mengalami perubahan, peran lingkungan menjalani fungsi alaminya dalam mencegah bencana alam juga mulai melemah. Hilangnya pepohonan menyebabkan limpahan permukaan aliran hujan dari pegunungan secara langsung menuju area pedesaan berpotensi menyebabkan banjir.
Pada tahun 2019 terjadi banjir terbesar sepanjang sejarah di KecamatanBahodopi, banjir tersebut merendam perumahan warga bersamaan dengan sedimen dan melumpuhkan lalulintas akibat terputusnya jembatan. Secara bersamaan terdapat tiga jembatan yang terputus yakni jembatan Dampala, jembatan Lalampu, dan jembatan Bahodopi.
Sebelum adanya industri tidak pernah terjadi banjir separah tahun 2019 lalu. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan bahwa terjadinya banjir di kecamatan bahodopi memiliki relasi dengan turunnya daya dukung lingkungan. Eksploitasi berbasis lahan masih dilakukan secara masif oleh pihak industri. Kegiatan tersebut berlangsung diikuti dengan aktivitas pembabatan kawasan hutan kemudian membentuk deforestasi. Praktek tersebut memiliki potensi besar menyebabkan terjadinya erosi dan banjir yang dapat merendam area pemukiman.
Beradasarkan penagkapan citra satelit yang diolah oleh Walhi bahwa terdapat sekitar 6000 hektar lahan kritis di Morowali. Tingginya luas lahan kritis memiliki kemungkinan adanya dampak besar berupa bencana alam, dengan demikian perlu adanya upaya pengelolaan lingkungan secara tepat misalnya kegiatan revegetasi ataupun reboisasi.
Perubahan lingkungan wilayah perairan
Pemenuhan kebutuhan air Masyarakat sebelum adanya industri diperoleh dari sumur galian, sungai, dan air pegunungan yang di salurkan melalui pipa. Tetapi setelah hadirnya industri yang melakukan kegiatan penambangan di sekitar badan sungai menyebabkan air sungai yang dulunya jernih berubah menjadi coklat, akibatnya masyarakat tidak lagi dapat memanfaatkan air sungai sebagai sumber air bersih layak konsumsi.
Hasil penelitian Rukamana tahun 2016 terkait pengaruh aktivitas pertambangan terhadap lingkungan permukiman masyarakat di kawasan pesisir Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, menunjukkan bahwa air sungai di Kecamatan Bahodopi telah mengalami perubahan warna dari jernih ke coklat, selain itu mengalami penurunan kualtas air karena sudah terkandung nikel dan krom, pH air (kemasaman air) hampir mencapai standar baku mutu maksimal dengan nilai 8,30. Ambang baku kualitas air layak konsumsi menurut peraturan Menkes RI No. 492/Menkes/Per/IV/2010 berada pada pH 6,5-8,5.
Awalnya kawasan pantai ditumbuhi beragam mangrove, namun kini sudah rata dengan timbunan reklamasi. Bukan main-main sebanyak 20 ha mangrove dirusak untuk membangun pelabuhan, padahal mangrove memiliki peran penting dalam menetralkan logam-logam pencemar yang dapat memberikan dampak buruk pada kesehatan biota perairan bahkan bagi manusia sebagai konsumen, sekaligus menjadi tempat tinggal berbagai satwa seperti udang, kepiting, ikan, burung dan lain-lain. Kini mangrove telah sirna, kawasan pesisir direklamasi, tiang-tiang pancang ditancap, alat berat lalu-lalang, populasi mangrove sudah menghilang.
Sebelumnya kawasan perairan menjadi sumber mata pencaharian para nelayan. Sejauh mata memandang kita dapat menyaksikan perahu-perahu kecil para nelayan menempuh lautan untuk menangkap ikan, sejumlah bagang mengapung diwilayah perairan tidak jauh dari daratan, dan beberapa rompong penangkap ikan di pesisir pantai.
Selain itu kita dapat menikmati hembusan udara segar dari arah lautan. Berbeda jauh dengan keadaan saat ini, perahu-perahu kecil nelayan sudah terganti dengan kapal-kapal perusahaan yang setiap saat hilir-mudik mengangkut berbagai keperluaan perusahaan, akhirnya ikan terganggu lalu menjauh, sementara nelayan harus menempuh jarak yang panjang untuk menangkap ikan.
Perubahan kualitas udara
Apabila hutan digusur, pepohonan ditebang, maka potensi terjadinya polusi udara kemungkinan besar terjadi. Sebab pepohonan memiliki peran penting dalam mencegah pemanasan Global (Global warming) dan menyaring partikulat yang keluar dari udara dengan menahan partikulat tersebut pada batang dan daun.
Peran tersebut berlangsung melalui proses fotosintesis, gas karbondioksida (CO2) yang subtansinya menjadi salah satu gas yang menyumbang pemanasan global diubah menjadi oksigen (O2), selanjutnya oksigen hasil fotosintesis tersebut kita manfaatkan untuk proses pernafasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hilangnya pepohonan dapat meningkatkan polusi udara.
Sejak hadirnya industri udara bersih hanyalah khayalan belaka, padatnya aktivitas industri meningkatkan intensitas polusi udara. Sumber polusi tidak hanya berasal dari kegiatan industri, tetapi juga bersumber dari aktivitas kendaraan. Setiap waktu jalanan dipadati kendaraan terutama ketika memasuki waktu pergantian shift kerja.
Debu yang tertiup oleh angin dari area industri memasuki area pedesaan, tidak hanya itu, debu tersebut juga diterpa oleh kendaraan yang melintas dengan kecepatan sedang hingga tinggi menyebabkan debu semakin lebat. Masyarakat yang tinggal dekat sepanjang ruas jalan menjadi penderita pertama dari dampak polusi udara. Belum lagi jika menengok polusi udara akibat batu bara di Desa Fatufia yang bersisian langsung dengan perusahaan seperti yang pernah diulas sebelumnya di sini.
Polusi udara menimbulkan berbagai penyakit kepada masyarakat sekitar. Adapun jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh masyarakat yakni penyakit ISPA atau infeksi saluran pernapasan. Berdasarkan data puskesmas Kecamatan Bahodopi jumlah penderita penyakit ISPA pada tahun 2015 sebanyak 1.035, kemudian penderita penyakit Gaskritis sebanyak 484, dan penderita penyakit rematik sebanyak 307. Berikut rincian data penderita berbagai penyakit diwilayah Kecamatan Bahodopi tahun 2013-2015.
Tingginya penderita penyakit ISPA dan penyakit lainnya sebagai akibat dari penurunan kualitas udara dan kebisingan kendaraan. Jika meninjau pada data Adendum ANDAL, RPL, dan RKL PT. SMI Tahun 2014 menunjukkan bahwa tingginya aktivitas pertambangan menyebabkan peningkatan kandungan Nitrogen Dioksida (NO2) hingga mendekati standar baku mutu yakni sebesar 117,59 pada tahun 2013. Tidak hanya itu, Hasil penelitian Rukmana (2016) menunjukkan bahwa adanya zat lainnya tetapi masih barada pada standar baku.
Sejauh ini kita belum mengetahui berapa banyak unsur pencemar yang terkandung pada lingkungan karena terbatasnya jurnal terpublis yang mudah diakses oleh seluruh kalangan baik masyarakat maupun akademisi.
Untuk mengetahui ambang mutu pencemaran dan langkah penanganan harus dilakukan analisis laboratorium sesuai prosedur yang telah teruji yang dilakukan oleh para ahli yang berpengalaman di bidangnya. Selain itu, transparansi data lingkungan berarti memenuhi hak akses masyarakat terhadap lingkungan hidup sesuai UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Peran kolaborasi perusahanan, pemerintah, akademisi, dan masyarakat menjadi landasan utama dalam mencapai informasi kuantitatif terkait lingkungan secara akurat. Sebab sejauh ini pihak akademisi kesulitan dalam mengakses jangkauan lokasi penelitian secara merata disekitar industri. Keterbatasan ini dapat berimbas pada ketidak akuratan hasil penelitian.
Kemudian peran pemerintah yaitu memfasilitasi segala keperluan dalam analsisa lingkungan, dukungan pemerintah juga menjadi penting karena berkaitan dengan ketersediaan data-data penelitian yang diperlukan. Kemudian pihak akademisi terjun langsung dalam penelitian untuk menemukan nilai kuantitatif ambang mutu pencemaran dan menemukan strategi penyelesaian masalah. Hasil penelitian dapat tercapai lebih baik apabila terjalin kerja sama dari berbagai disiplin ilmu pengetauan.
***
Sebelum masuknya industri suasana lingkungan pedesaan terbilang tentram dan lestari. Kita bisa menikmati sejauh aksa memandang hamparan hijau nan asri area persawahan yang dilalui hembusan angin dan udara segar. Pepohonan rindang yang setiap hari menjatuhkan dedaunan hingga bersuara desau pada dahan-dahannya yang juga dihinggapi beragam burung dengan kicauannya dari ketinggian.
Tak jauh dari pemukiman, kita bisa menyaksikan area persawahan yang ramai oleh petani dengan segala macam perkakasnya masing-masing.Dari tepi pentai, kita bisa melihat perahu-perahu kecil nelayan dengan sebilah dayung dan pukat perlahan menjauh dari daratan hingga tak terlihat dipelupuk mata.
Namun, hamparan hijau nan dahayu itu perlahan hirap sejak hadirnya industri dengan segala aktivitas penambangan selayaknya menguras bumi pertiwi tanpa ampun.
Siapa lagi yang menangung imbas negatifnya kalau bukan masyarakat sekitar. Bukan hal sepele jika bumi pertiwi sudah tercemar, bahkan lintas generasi dapat terkena dampak akibat kekeliruan pengelolaan sebelumnya. Dengan begitu segala kebijakan pengelolan menjadi tanggung jawab generasi saat ini, melalui pengambilan keputusan yang sesuai dan memperhitungkan kelestarian lingkungan secara tepat.
Discussion about this post