Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi salah satu dinas untuk mengurus persyaratan bantuan Pendidikan Morowali. Laiknya anak muda yang kebanyakan jarang bangun pagi, kunjungan saya ke dinas yang tidak perlu disebutkan nama instansinya dilakukan selepas salat Zuhur. Sembari menunggu jam istrahat selesai, saya memutuskan untuk terlebih dahulu menunaikan salat Zuhur di Masjid Agung Morowali.
Selepas salat, saya pun tancap gas menuju dinas tersebut karena waktu telah menunjukkan pukul 14.00 WITA. Sayang, ketika tiba di tempat tujuan, mereka (red: pegawai dinas) malah tidak berada di tempat padahal jam istarahat telah selesai. Ketika mencoba bertanya pada salah satu pegawai di ruangan sebelah, dengan santai mereka menjawab “Masih istrahat”.
Dalam hati saya ingin misuh sebab ini bukan kali pertama saya mengalami kejadian yang sama. Pada tahun lalu saat mengurus persyaratan beasiswa yang sama, beberapa pegawai di dinas ini kurang memberikan pelayanan yang baik. Mulai dari pegawainya yang kurang ramah hingga korupsi waktu istrahat. Hal ini begitu menjengkelkan sebab model pelayanan publik di instansi Pemda Morowali begitu kaku, terkotak-kotak, dan masih kuatnya para pegawai memposisikan dirinya sebagai orang yang dilayani bukan sebagai orang yang melayani.
Fenomena ini tentu saja sering kita jumpai pada hampir semua instansi Pemda Morowali manakala warga yang ingin memperoleh pelayanan dihadapkan dengan begitu banyak aturan yang berbelit-belit sehingga membuat pelayanan terkesan melelahkan dan buang-buang waktu. Eh apu!
Otonomi Daerah dan Kegagalan Instansi Pemerintah Sebagai Pelayan Warga
Diberlakukannya otonomi daerah melalui desentralisasi berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam perkembangannya diubah menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 memberikan kewenangan yang besar terhadap daerah untuk mempercepat proses pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan warga, salah satunya adalah dengan mendorong percepatan peningkatan pelayanan publik.
Upaya tersebut tentu saja disambut positif dan didukung oleh banyak pihak karena tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah “Bagaimana” mendekatkan warga dengan pemerintah daerah dalam merumuskan berbagai kebijakan pembangunan atau inovasi pelayanan publik. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan warga dalam mengakses layanan-layanan publik.
Akan tetapi, “Apakah” inovasi yang digaungkan dalam reformasi pelayanan publik didesain untuk kepentingan publik?
Tentunya kita harus kembali mempertanyakan dan membandingkannya dengan semangat otonomi daerah yang sudah berlangsung sampai saat ini. Proses pelayanan publik yang dijalankan pada umumnya masih dihadapkan dengan kata rumit, bertele-tele dan susah untuk diakses. Belum lagi ketika warga ingin bertemu dengan pihak instansi dalam mengurus pemberkasan, tidak jarang kita temukan pegawai yang menggunakan waktu kerja untuk kesibukan lain.
Praktek pelayanan seperti ini menunjukan jika peran pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) belum mampu menempatkan dirinya sebagai pelayan warga yang harus memberikan pelayanan dengan penuh hormat, ramah, dan menghargai fungsinya sebagai orang yang melayani. Pandangan yang keliru ini tidak jarang kita temukan juga di banyak ruang tunggu pada berbagai instansi pelayanan publik. Ruang pelayanan dibatasi dengan pembatas yang didesain dengan ukuran kecil berbentuk segi empat sebagai tempat berlangsungnya komunikasi antara orang yang memberi pelayanan dengan yang diberi pelayanan.
“Model pelayanan publik yang sungguh masih relevan dengan desain pelayanan ala kolonial”.
Di samping gagal menempatkan warga sebagai orientasi dibentuknya instansi pelayanan, keberhasilan kinerja pegawai juga masih ditentukan oleh aturan yang kaku dan hirarkis tanpa mempertimbangkan bahwa keberhasilan pelayanan publik terjadi ketika nilai-nilai publik (kebutuhan warga) dijadikan landasan dalam percepatan peningkatan pelayanan publik. Dengan kata lain, desain struktur pelayanan publik yang tradisional akan memunculkan sikap pewagai yang kaku dan gagap dalam memberikan pelayanan kepada warga.
Potret Intansi Pemerintah Daerah Morowali Sebagai Kontrol Kekuasaan
Kiwari, model pelayanan yang tradisional masih sering kita jumpai di sebagian instansi pemerintah daerah Morowali ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang terjadi selalu berorientasi kepada kekuasaan atau kepentingan segelintir orang, bukannya didasarkan pada keinginan dan kebutuhan warga yang dilayanani. Orientasi pelayanan berbasis kekuasaan terlihat pada pelayanan yang selalu dilaksanakan di instansi terkait. Tetapi pernahkah kita bertanya “apakah” haram hukumnya ketika pelayanan publik dilaksanakan di luar instansi pemerintah yang mendekati kebutuhan warga yang dilayani ?
Seperti itulah gambaran pelayanan publik yang mempertahankan model tradisional sehingga menjadikan birokrasi pemerintah sebagai “simbol kekuasaan”. Hal ini mau tidak mau menuntut warga yang berada di pelosok untuk datang ke kota sembari menunggu dan mengikuti antrean panjang. Bahkan tak jarang kita jumpai mereka yang telah datang tidak diberikan kepastian kapan proses pengurusan bisa diselesaikan.
Almarhum Guru Besar UGM (Agus Dwiyanto) menyatakan bahwa praktek pelayanan seperti itu dirancang bukan untuk mempermudah warga dalam mengakses pelayanan, tetapi justru sebagai alat kontrol dan kekuasaan.
Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pelayanan publik dari pemerintah daerah Morowali yang seharusnya menempatkan warga sebagai pusat perhatian pelayanan masih menjadi hal yang sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, sudah seharusnya instansi pemerintah daerah “Move on” dari pelayanan publik yang tradisional dan berorientasi pada kepentingan diri dan instansi.
Kekuasaan yang diberikan merupakan sumber daya yang diperuntukkan untuk warga, bukan diletakan sebagai sebuah nilai yang harus dikejar atau pemaksaan pada warga untuk menghormati jabatan yang telah didapatkan.
Terakhir dan penting untuk diingat bahwa warga adalah “pembayar pajak” dan pemegang kedaulatan yang harus dihargai sehingga keputusan yang bersentuhan dengan kehidupan warga harus ditempatkan sebagai orientasi dalam pembuatan kebijakan pembangunan yang terintegrasi dan mudah di akses oleh warga. Bukan malah menjadikan tanggung jawab yang diemban sebagai alat untuk menyusahkan masyarakat.
Discussion about this post