Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim saat peringatan Hari Pendidikan Nasional kemarin, mengajak seluruh insan pendidikan di tanah air agar dapat memetik hikmah dari krisis akibat Covid-19 yang dihadapi global saat ini. Salah satu yang beliau tekankan adalah bahwa pembelajaran tidak hanya dilakukan di sekolah formal saja, tetapi bisa di mana saja. Dengan catatan harus ada kolaborasi antara guru, siswa, dan orangtua untuk menciptakan pendidikan yang efektif dan inovatif.
Saat pemerintah menetapkan pandemi Corona sebagai Bencana Nasional pada paruh kedua bulan Maret, baik sektor pemerintahan maupun swasta diimbau untuk menerapkan pekerjaan dan pembelajaran dari rumah masing-masing. Seluruh sekolah mulai dari jenjang SD-SMA maupun universitas dialihkan ke pembelajaran daring. Keputusan ini dinilai tepat sebab kita telah memasuki era revolusi industri 4.0, sehingga kegagapan teknologi seharusnya bukan sesuatu hal yang harus ditakutkan lagi. Catat “seharusnya” !
Memang, tak ada cara lain yang bisa dilakukan selain menerapkan pembelajaran daring. Namun, pertanyaan paling utama dan krusial adalah
Apakah semua siswa memiliki gawai dan laptop ?
Apakah jaringan telekomunikasi memadai di setiap daerah ?
Materi pelajaran apa yang harus diberikan agar tidak membebani orangtua siswa jika ada yang tidak dimengerti ?
Siapa yang menanggung kuota data guru dan siswa ?
Sebagai negara kepulauan, tak bisa dimungkiri jika pembangunan dan pemerataan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia tidak merata. Infrastruktur internet dan teknologi digital belum menyentuh daerah pelosok terutama Indonesia Timur, salah satunya Morowali. Jargon “Morowali kaya tambang tapi sinyal dan listrik kayak tumbang” sangat tepat untuk menggambarkan wilayah yang saat ini masuk dalam 10 besar daerah dengan pendapatan daerah tertinggi di Indonesia. Namun, apakah karena pencapaian tersebut lantas membuat daerah ini memiliki infrastruktur telekomunikasi yang memadai ?
Tentu saja tidak teha. Sejak zaman baheula, permasalahan koneksi internet di daerah ini selalu menjadi keluhan yang tidak mendapatkan solusi berkesudahan. Sebagai mahasiswa yang saat ini masih mengikuti perkuliahan daring, saya terpaksa memilih bertahan di perantauan karena alasan satu dan satu-satunya “Mosao jaringan le Bungku”. Seperantauan saya yang memilih mudik lebih awal juga mengeluhkan masalah yang sama sehingga mereka kesulitan untuk mengikuti proses belajar-mengajar daring yang diadakan oleh kampus.
Itu untuk kasus mahasiswa, lalu bagaimana dengan siswa-siswa dari jenjang PAUD sampai SMA ?
Di SMA Negeri 1 Bungku, aktivitas belajar mengajar daring dilakukan dengan aplikasi Microsoft Kaizala. Aplikasi ini memungkinkan untuk melakukan video call ataupun chat seperti kebanyakan aplikasi lainnya. Namun, sulitnya jaringan internet membuat para guru hanya menggunakan fitur chat dan mengirimkan bahan ajar berupa video yang bisa diakses di platform Youtube. Para siswa kemudian diminta menonton video tersebut, mengejarkan tugas sesuai rentang waktu yang telah ditetapkan, dan menulisnya pada gawai langsung atau buku. Kemudian mengirimnya secara pribadi kepada guru yang bersangkutan.
Beda sekolah, beda juga aplikasi yang digunakan, SMA Negeri 1 Bahodopi menggunakan aplikasi WhatsApp di mana gurunya terlebih dahulu mengirimkan stimulus materi dan kemudian meminta para siswa memberikan tanggapan terhadap materi tersebut. Namun sekali lagi, sulitnya koneksi internet di beberapa desa membuat pembelajaran daring ini tidak berjalan efektif. Banyak siswa yang tidak hadir saat pembelajaran berlangsung dengan alasan sulit mendapat jaringan dan tidak memiliki kuota data. Kalau sudah begini, para guru yang dibuat pusing sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, para guru memberikan tugas yang banyak sebagai gantinya.
Untuk SD Negeri 2 Bungku, awalnya mereka diberikan tugas oleh guru tetapi karena libur diperpanjang maka sistem belajar diganti dengan menonton program belajar di TVRI sesuai instruksi Menteri Pendidikan. Tayangan program belajar tersebut tak hanya disiarkan melalui pesawat televisi, namun juga dapat ditonton melalui layanan online streaming pada gawai dan laptop. Materi pelajaran, sajian ilustrasi video, dan contoh soal yang harus dikerjakan siswa menjadi kelebihan program ini.
Berbeda dengan SDN 2 Bungku, siswa-siswi di SDN Kolono dikumpulkan di sekolah untuk diberikan tugas tanpa memberikan proses belajar-mengajar. Mereka hanya diberikan contoh soal untuk kemudian dikerjakan di rumah masing-masing.
Sekolah-sekolah di Kec. Menui Kepulauan beda lagi. Para guru melakukan pembelajaran dari rumah ke rumah karena jaringan internet yang setengah mati diakses. Imbauan untuk melakukan school from home urung mereka lakukan karena keterbatasan guru dan ketiadaan jaringan telekomunikasi yang memadai.
Lalu, bagaimana dengan para siswa yang tiba-tiba harus dihadapkan dengan situasi semacam ini ?
Wawancara yang saya lakukan pada beberapa siswa berujung pada satu jawaban yang sama “Membosankan”. Awalnya siswa-siswi ini sangat bersemangat ketika mengetahui ada pembelajaran online yang bisa mengumpulkan mereka dalam satu platform video conference. Dalam benak awal mereka, hal ini akan menyenangkan sebab selama ini mereka terbagi ke dalam kelas yang berbeda.
Namun, tak dinyana, pembelajaran yang tidak melalui video conference dan dialihkan ke aplikasi pesan instan membuat semangat belajar mereka semakin turun dan berujung pada kebosanan. Kondisi ini diperparah dengan koneksi internet yang buruk dan kuota data yang mahal sehingga alih-alih ikut belajar, para siswa semakin enggan untuk megikuti proses belajar online.
Sepupu saya yang masih bersatus siswa SMA mengungkapkan jika video yang dikirimkan oleh guru mereka kadang tidak diakses sama sekali. Mereka lebih memilih melakukan contekan massal online dengan mengandalkan mereka yang sudah menonton video. Kreatif sekali haha
Bahkan jika situasi ini terus berlanjut, ketika nantinya kondisi kembali normal dan sekolah dibuka, mereka tak ubahnya “tong kosong nyaring bunyinya”. Diungkapkan oleh salah satu siswa, semua yang diajarkan oleh guru mereka sebelum dan saat pandemi sekarang tidak akan bertahan lama.
Pembelajaran online berbentuk student center learning membuat mereka harus berusaha sendiri untuk memahami pelajaran yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh guru yang terkadang tidak kooperatif ketika siswa membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Ada guru yang hanya membaca pesan, meminta siswa menunggu jawaban sampai ada waktu yang tepat, ada juga guru yang sudah memberikan penjelasan tapi sulit dipahami oleh siswa karena hanya sekadar kalimat dalam chat, dan ada juga guru yang sangat jarang mengirimkan soal. Anehnya, akhir-akhir ini para siswa sudah tidak lagi menerima soal dari guru mereka. Lah
Untuk siswa SMP, mereka hanya diberikan tugas sebagai pengganti ujian semester yang nantinya akan dikumpul ketika sekolah kembali dibuka. Sedangkan untuk TK dan PAUD menjadi tanggungjawab orangtuanya masing-masing untuk mendampingi dan memberikan pengajaran bagi anak mereka.
Lalu bagaimana dengan guru ?
Masih ada sebagian guru yang belum melek internet apalagi teknologi. Walhasil, mereka hanya memberikan tugas kepada para siswa sebagai pengganti pembelajarang daring. Hal ini tak bisa dimungkiri sebab guru-guru di Kabupaten Morowali masih didominasi oleh para enci (red: mereka yang sudah berusia sepuh). Jangankan tahu bersosial media, gawai yang mereka gunakan pun bukan berbentuk android sehingga sulit untuk merealisasikan program belajar online seperti yang telah diinstruksikan oleh pusat.
Situasi yang dialami oleh mereka yang berada di pelosok menjadi bukti jika sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang masih bersifat sentralistis. Mereka yang tinggal di perkotaan tidak akan gagap dengan keputusan school from home, sebab fasilitas pendidikan mereka lengkap dan selalu menyesuaikan dengan perubahan teknologi terbaru. Pelosok ? tidak usah ditanya.
Jika merujuk pada keputusan Menteri Pendidikan, masalah yang dihadapi oleh setiap insan pendidikan seharusnya menjadi tanggungjawab masing-masing dinas terkait yang tertuang dalam Prosedur Operasi Standar (POS).
Dengan demikian, apa yang dialami oleh para guru dan siswa di Kabupaten Morowali saat ini harus sesegera mungkin dievaluasi oleh Dinas Pendidikan agar pembelajaran online dapat berjalan efektif. Dan demi menghindari stress karena jaringan dan tugas, akan lebih baik jika para guru memberikan tugas yang mengasah multiple intelligences (kecerdasan majemuk) alih-alih memberikan tugas. Membaca buku, berlatih instrumen musik, berkebun, dan sederet kegiatan menyenangkan lainnya bisa diaplikasikan sebagai pengganti tugas.
Selain itu, tentu saja harus ada pemerataan pembangunan pendidikan dan infrastruktur digital dengan dukungan internet berkapasitas besar dan supercepat di seluruh pelosok Negeri. Jangan melulu terpusat di ibukota dan sekitarnya saja !
Discussion about this post