Pertengahan tahun lalu, sejumlah perusahaan hidrometalurgi berencana membuang limbah tailing ke laut Morowali melalui proyek Deep Sea Tailing Placement. Salah satu Perusahaan yang tinggal menunggu perizinan dikeluarkan pemerintah tersebut, diketahui berada di Kecamatan Bahodopi. Rencana tersebut tak pelak mendapat penolakan keras dari beberapa organisasi lingkungan baik yang breada di Morowali maupun di Sulawesi Tengah. Lalu, apa itu limbah tailing?
Tailing merupakan limbah yang terdiri dari 50 % fraksi pasir dan 50 % fraksi lempung dari proses pemisahan antara mineral dan batuan tidak bernilai. Umumnya bentuk limbah tailing menyerupai lumpur pekat dan mengandung beragam logam berat yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan hingga pada tingkat permanen. Letak bahan tambang yang memiliki jumlah dan kualitas lebih baik berada pada kedalaman tanah mendorong pelaku usaha menggali jauh ke dalam tanah hingga mencapai zona konsentrasi mineral berharga.
Tahapan menghasilkan limbah tailing dimulai dengan penggalian tanah pucuk (top soil). Tanah pucuk yang digali kemudian disimpan pada tempat aman untuk menghindari tanah pucuk tercampur dengan bahan galian lainnya atau tercuci oleh hujan. Tujuan penyimpanan tanah pucuk yaitu untuk keperluan reklamasi pasca penambangan. Setelah proses penggalian tanah pucuk, dilanjutkan dengan penggalian batuan tidak berharga untuk mencapai konsentrasi mineral. Karena tidak memiliki nilai ekonomis, hasil galian kemudian dibuang menjadi limbah batuan keras atau disebut dengan nama overburden. Proses selanjutnya yaitu menggali batuan yang memiliki kandungan mineral berharga pada processing plant. Nantinya proses ini akan menghasilkan limbah tailing yang masuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Salah satu perusahaan yang berencana melakukan pembuangan limbah tailing di Morowali adalah PT Hua Pioner Indonesia (PT HPI). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mencatat PT HPI berencana membuang limbah tailing ke laut berkapasitas sekitar 25.300.000 ton/tabun, dengan pipa pembuangan Sea Tailing Disposal seluas 396,9 hektar yang berlokasi di kawasan laut Desa Fatufia. PT HPI merupakan proyek produksi baterai lithium berbahan dasar Cobalt dan Nikel yang menjadi hasıl kerja sama antar empat perusahaan yaitu PT Huayue Nickel Cobalt, PT Teluk Metal Industry, PT Fajar Metal Industry, dan PT Huayue Nickel Cobalt.
Mengapa Kita Harus Menolak Pembuangan Limbah Tailing di Morowali?
Berikut dampak kimia, fisika, dan biologi pembuangan tailing ke laut.
Dampak Kimia, kegiatan pertambangan yang melibatkan proses ekstraksi dan pengelolaan bijih nikel menyebabkan laju akumulasi logam berat yang terlepas ke lingkungan seperti Nikel (Ni), Timbal (Pb), Arsenik (Ar), Kadnium (Cd), dan merkuri (Hg) menjadi lebih besar dan dapat mengancam kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.
Pada dasarnya nikel merupakan kelompok logam esensial yang di butuhkan tubuh dalam jumlah sedikit untuk proses tumbuh dan fisiologi. Adanya pertambangan nikel berpotensi menyebabkan akumulasi dan konsentrasi logam nikel terlepas di atas nilai ambang baku yang nantinya dapat menyebabkan berbagai penyakit kanker. Selain Ni, logam lainnya seperti Pb, Ar, Cd, dan Hg dapat menyebabkan kerusakan kulit, masalah peredaran darah, dan resiko kanker.
Beragam logam berat yang terlepas ke perairan akibat STD akan mengalami bioakumulasi pada tubuh biota laut dan terjadi biomagnifikasi (peningkatan konsentrasi) pada top predator seperti pada manusia melalui rantai makanan. Contoh kasusnya, apabila fitoplankton dikonsumsi ole zooplankton, lalu dimakan ikan kecil, selanjutnnya ikan kecil dimangsa ikan besar. Pada akhirnya ikan besar di konsumsi oleh manusia sebagai predator tertinggi. Pada proses tersebut, akumulasi logam berat tidak hilang melainkan berpindah-pindah dari satu mahluk hidup ke mahluk hidup lainnya. Bahkan terjadi peningkatan konsentrasi pada manusia sehingga menimbulkan beragam penyakit.
Dampak Fisika, tailing yang keluar dari mulut pipa pembuangan mengakibatkan air menjadi keruh sehingga menghambat proses fotosintesis di Kawasan perairan. Sekitar 70 % oksigen bersumber dari proses fotosintesis biota laut, sementara 30 % sisanya berasal dari pepohonan di darat. Apabila air menjadi keruh, maka penetrasi cahaya matahari tidak dapat menembus air sehingga proses fotosintesis tidak dapat berlangsung. Apabila hal ini terjadi dalam skala luas tidak menutup kemungkinan akan memengaruhi konsentrasi oksigen udara yang kita gunakan untuk proses pernafasan.
Dampak Biologi, penerapan sistem STD berimbas pada degradasi ekosistem laut. Ekosistem laut yang dimaksud yaitu beragam jenis ikan, terumbu karang, dan berbagai jenis biota laut lainya. Selain di lingkungan sekitar pembuangan, STD juga berdampak pada lingkungan dalam skala besar terhadap biota rapuh seperti lumba-lumba, penyu berpunggung kulit, dan Coelacanths. Bahkan setiap tingkat kedalaman laut memiliki mahluk hidup, di antaranya bentos yang mendapatkan energi dari mengkonsumsi bahan organik, sisa bangkai biota yang mati di permukaan air kemudian mengendap di dasar laut.
Sejarah Kelam Pembuangan Limbah Tailing ke Laut
Istilah pembuangan limbah tailing ke laut pada dunia pertambangan dikenal dengan sebutan Deep Sea Tailings Disposal (DSTD) atau Submarine Tailings Disposal (STD). Kata disposal dianggap sebagai gangguan brand image pelaku usaha karena berarti pembuangan. Sebagai Langkah antisipasi menghindari rusaknya citra perusahaaan, istilah disposal diganti dengan kata placement yang bermakna penempatan. Pembuangan limbah tailing ke laut dalam (STD) diganti dengan istilah penempatan limbah tailing ke laut dalam (STP). Padahal kenyataannya memiliki proses dan dampak yang sama, membuang limbah tailing ke kawasan laut dan berdampak buruk pada lingkungan biotik (manusia, hewan, tumbuhan) dan abiotik (tanah, air, udara).
Perkembangan STD pertama kali dipelopori oleh perusahaan Island Cooper di pulau Vancouver Kanada pada tahun 1971. Hal ini kemudian menjadi inspirasi negara-negara lain untuk ikut serta melakukan kegiatan tersebut. Kalangan pendukung STD menjadikan Kanada tolak ukur sebagai negara yang memiliki usaha perlindungan lingkungan yang tetapi mengizinkan berlangsungya STD.
Keputusan Kanada mengizinkan STD merupakan kekeliruan yang fatal. Pada awal operasi STD perusahaan cooper island, Kanada belum memiliki regulasi ketat yang merujuk pada Fisheires Act (Undang-undang perikanan). Sebagai bentuk respon cepat pemerintah Kanada dalam mengantisipasi degradasi lingkungan ke tingkat lebih lanjut, UU perikanan yang mengatur tentang cairan hasil penambangan logam dikeluarkan pada tahun 1977. Nama peraturan itu yakni Metal Mining Leqiud effluent Regulations (MMLERe). Aturan ini memberikan batasan konsentrasi padatan yang akan dibuang ke laut dalam dengan rata-rata konsentrasi yang diizinkan yakni 25 mg/liter. Meskipun STD masih diizinkan tetapi aturan MMLERe memberikan batasan ruang gerak pelaku usaha dalam melaksanakan proses STD.
Dalam MMLERe, perusahaan diizinkan membuang limbah ke laut dengan syarat mendapatkan pengecualian khusus dan unik sesuai ketentuan MMLERe. Menanggapi hal tersebut pemerintah Kanada membuat aturan yang memuat pengecualian khusus dalam regulasi Alice Arm tailings Deposit Regulations. Pada tahun 1981 izin pengecualian khusus pernah diberikan kepada perusahaan Kitasult, tetapi perusahaan tersebut hanya dapat beroperasi selama satu tahun kemudian tutup. Setelah 20 Tahun sejak dikeluarkannya regulasi pengecualian khusus tidak ada lagi perusahaan yang menerapkan STD. Beberapa perusahaan mencoba mendapatkan izin pengecualian tetapi tidak berhasil karena standar aturan yang ketat. Selain itu, ketentuan batasan konsentrasi padatan menyulitkan perusahaan memenuhi standar tersebut.
Pada tahun 1989 Papua New Guinea melanjutkan kekeliruan Kanada dalam menerapkan STD, perusahaan emas Masima diizinkan membuang limbah tailing ke laut. Perusahaan milik Australia tersebut tercatat sebagai perusahaan pertama yang melakukan pembuangan limbah tailing ke laut pasifik.
Melanjutkan kesalahan Papua New Guinea, perusahaan tembaga di Filifina juga menerapkan sistem STD. Proses ini menjadi awal keterlibatan perusahaan konsultan Dames & Moore dalam mempopulerkan sistem STD melalui riset tiga perbandingan yakni di darat, sungai, dan laut. Sumber dukungan pendanaan riset ini dari USAID dan UNEP. Hasil riset Dames & Moore memudahkan perusahan lainnya untuk menerapkan sistem STD.
Penerapan STD di Indonesia pertama kali dilakukan oleh PT Newmont Minahaya Raya (PT NMR) di Sulawesi Utara dan PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) di Nusa Tenggara Barat. Dukungan para konsultan lingkungan memainkan peran penting dalam meloloskan STD. Bahkan pelopor STD mendapatkan dukungan oleh banyak pihak melalui rekrutmen akademisi dengan tujuan memudahkan intervensi kepada masyarakat melalui riset dan legitimasi (keabsahan). Peran stakeholder juga menjadi ujung tombak penerapan STD, kurangnya kesadaran tentang lingkungan berkelanjutan menjadi penyebab proses perizinan pelaksanaan pembuanagan limbah ke laut dalam berjalan lancar.
Legitimasi Akademisi sebagai Basis Argumentasi STD
Beberapa alasan pendukung STD yang digunakan sebagai katup pengaman agar tetap berjalan mulus yakni, lapisan termokilin, jalur tektonik, tingginya biaya pembebasan lahan.
Lapisan termokilin. Air laut dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan atas, lapisan termokilin, dan lapisan bawah. Lapisan termokilin merupakan lapisan horizontal yang membatasi lapisan atas dan lapisan bawah karena perbedaan densitas sehinggga air yang berada di atas dan di bawah tidak tercampur. Semakin jauh ke dalam laut, maka masa jenis air laut semakin tinggi. Pendukung STD menganggap bahwa lapisan termokilin sebagai dinding pengaman yang dapat mencegah naiknya limbah tailing dari dasar laut ke permukaan air. Mereka menganggap pada kedalaman 60-70 m sudah melewati lapisan termokilin sehinga menjadi pembatas yang sangat aman untuk mencegah naiknya limbah ke permukaan air.
Pada kenyataanya anggapan termokilin sebagai dinding penghalang yang aman perlu di evaluasi kembali. Adanya fenomena up welling dan turbulence pada air laut menyebabkan teraduknya lapisan atas dan lapisan bawah air laut sehingga berpotensi mengangkat limbah tailing ke permukaan air. Up welling yaitu fenomena naikknya massa jenis air dari lapisan bawah ke lapisan atas karena perbedaan densitas. Sementara turbulence (mixing) yaitu fenomena di mana terjadi percampuran air dengan vektor yang berbeda arah dan tenaga sehingga menyebabkan terjadinya pusaran-pusaran air dan gelombang yang menimbulkan gerak vertikal.
Apabila fenomena up welling dan turbulnce terjadi, maka dapat menyebabkan limbah tailing menyebar baik secara vertikal maupun horizontal sehingga permukaan dasar laut tempat penyebaran tailing akan terganggu, khususnya pada daearah terumbu karang. Pemerintah Amerika dan Kanada melarang pembuangan limbah tailing ke laut karena fenomena up willing, padahal kedua negara tersebut memiliki iklim sub tropis (4 iklim) yang mana fenomena up welling jarang terjadi. Berbeda dengan Indonesia yang memiliki perairan tropis yang berpotensi besar menyebabkan fenomena up welling.
Jalur patahan gempa. Indonesia berada di jalur patahan gempa paling aktif di dunia yang dikelilingi cincin api pasifik (Ring of fire) dan berada di sekitar daerah tumbukan tiga lempeng benua yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Kabupaten Morowali sendiri terletak di sekitar Sesar Matano dengan panjang 170 km dari Danau Matano yang memiliki laju pergeseran 7 mm/tahun. BMKG memperkirakan mangnitudo maksimal sekitar 6,8 SR sehingga sesar ini menjadi penyebab terjadinya gempa di Kabupaten Morowali.
Selain termokilin, jalur patahan gempa juga dijadikan basis argumentasi oleh para pendukung STD. Mereka mengangap bahwa pembuatan DAM tailing di daratan beresiko bagi lingkungan sekitarnya karena kemungkinan mengalami kebocoran ketika sesar mengalami pergerakan. Pada kenyataanya pembuangan limbah tailing dengan bentuk fisik 50% fraksi lempung juga dapat mengancam keberlangsungan lingkungan sekitarnya. Adanya sedimentasi di dasar laut berpotensi menyebabkan tsunami ketika gempa terjadi. Gempa Palu pada tahun 2018 seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita bahwa penyebab terjadinya tsunami karena adanya longsoran sedimen di dasar laut yang telah terakumulasi dalam waktu lama. Kepala pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan bahwa penyebab terjadinya tsunami di Palu akibat adanya longsor sedimen dasar laut pada kedalaman 200-300 meter.
Tingginya biaya pembebasan lahan, tingginya biaya pembebasan lahan menjadi penyebab para pelaku usaha menerapkan STD. Selain dari segi biaya, proses pengurusan pembebasan lahan juga sering kali menuai beragam tantangan antara perusahaan dengan pemilik lahan, bahkan tidak jarang memicu konflik akibat penyerobotan lahan. Melatar belakangi hal ini, pelaku usaha menganggap pembuangan tailing ke laut menjadi solusi alternatif yang lebih efisien meskipun memberikan dampak terhadap lingkungan.
Potensi Resiko STD Terhadap Laut Morowali
Rencana pembunagan limbah tailing ke laut oleh PT. HPI pada 2020 lalu berlokasi pada kawasan yang dilindungi Peraturan Menteri Kelautan dań Perikanan no 52/Kepmen-Kp/2019 tentang Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Peraturan Daerah No. 10 tahun 2013 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). Rencana lokasi pembuangan limbah tailing di desa Fatufia berjarak sekitar 50 km dari Kawasan Konservasi Desa Umbele. Sementara Pulau Langala dicantumkan sebagai tempat pariwisata, pasal 15 ayat 2 menyebutkan Kecamatan Bungku Pesisir, Menui, Bungku Selatan, dan Bahodopi masuk dalam zona hutan mangrove. Kemudian pasal 9 ayat 3 meyatakan lokasi pembuangan limbah PT HPI masuk dalam sub zona Plagis dan Domersil.
Mengingat tingginya dampak sistem STD terhadap lingkungan dan Kesehatan masyarakat harusnya menjadi pertimbangan matang oleh berbagai pihak. Legitimasi akademis pendukung STD tidak boleh dianggap remeh karena mereka mampu merasionalkan kegiatan STD secara sains sehingga orang lain mudah sepakat dengan penggiringan opini, Bahkan ada juga akademisi yang berstatus ahli.
Discussion about this post