• About
  • Contcat Us
Thursday, June 12, 2025
Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
Kamputo.com
  • Login
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore
No Result
View All Result
Morning News
Home Ulasan Opini

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 4): Layanan Kesehatan Yang Tidak Menyentuh Krisis Struktural

Aksan by Aksan
12/06/2025
in Opini, Ulasan
0
Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 4): Layanan Kesehatan Yang Tidak Menyentuh Krisis Struktural

Pembangunan sektor kesehatan di Morowali saat ini berada dalam pusaran ketegangan antara ekspektasi layanan publik dan kenyataan krisis lingkungan akibat ekspansi industri. Di atas kertas, Pemerintah Kabupaten Morowali—dalam masa 100 hari kerja pertama Bupati Iksan dan Irene—telah melaporkan sejumlah capaian seperti renovasi RSUD, pembangunan Puskesmas Bahodopi, hingga peluncuran program “Jemput Sakit, Pulang Sehat”. Namun capaian-capaian ini perlu dibaca lebih kritis dalam konteks ketimpangan geografis, krisis kualitas udara, dan meningkatnya penyakit menular berbasis lingkungan yang justru kurang tersentuh dalam prioritas awal pemerintah.

Dari sudut pandang perencanaan publik, pendekatan berbasis layanan kuratif (pengobatan) yang dominan dalam 100 hari kerja pertama tidak boleh mengesampingkan pentingnya tindakan preventif dan promotif. Program kesehatan yang dijalankan cenderung bersifat administratif dan responsif, bukan struktural dan preventif. Padahal berbagai laporan dan analisis independen menunjukkan bahwa tantangan terbesar dalam sektor ini bukan hanya rendahnya layanan medis, tetapi juga peningkatan kasus ISPA di kawasan industri Bahodopi, pencemaran sungai, serta penyebaran penyakit menular akibat urbanisasi yang tidak terkendali.

BACA JUGA

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 6): Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 5): Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Kritik utama dalam penilaian 100 hari kerja di sektor kesehatan bukan hanya pada kuantitas capaian, melainkan pada absennya pembaruan arah kebijakan kesehatan berbasis risiko lingkungan dan sosial. Di tengah booming industri dan lonjakan penduduk (Datanesia,2022), sistem kesehatan yang ada belum menunjukkan kesiapan kelembagaan untuk merespons masalah kesehatan berbasis wilayah.

Ketimpangan antara wilayah daratan dan kepulauan, antara desa pesisir dan zona industri, tidak muncul dalam analisis kebijakan pemerintah.

Komitmen Kesehatan dalam Visi-Misi: Janji Afirmasi yang Tidak Menyentuh Ketimpangan

Dalam dokumen resmi dan tabloid capaian 100 hari kerja, Bupati dan Wakil Bupati Morowali menempatkan kesehatan sebagai bagian dari prioritas social development. Berbagai program diklaim sebagai wujud afirmasi terhadap hak dasar warga atas pelayanan kesehatan—mulai dari pembangunan Puskesmas Bahodopi, renovasi RSUD Morowali, hingga penyediaan layanan “Jemput Sakit, Pulang Sehat” di 11 titik strategis. Namun jika dibaca secara lebih mendalam, narasi afirmatif ini belum menunjukkan keberpihakan struktural terhadap kelompok masyarakat yang paling rentan dan wilayah dengan beban kesehatan tertinggi.

Dalam visi-misi tersebut, kurang ditemukan peta jalan atau strategi jangka menengah yang menunjukkan bagaimana pelayanan kesehatan akan menjawab persoalan ketimpangan spasial, krisis lingkungan, dan tekanan penyakit berbasis perubahan sosial. Wilayah seperti Bahodopi—yang menjadi pusat industri nikel—mengalami peningkatan signifikan dalam kasus ISPA dan paparan pencemaran logam berat, namun tidak mendapatkan perlakuan khusus dalam dokumen perencanaan kesehatan. Ini menunjukkan bahwa janji pemerataan layanan kesehatan belum diimbangi dengan desain kebijakan berbasis risiko.

Komitmen terhadap layanan juga tampak berpusat pada penyediaan fasilitas dan kendaraan layanan kesehatan, tetapi tidak menjangkau sisi penguatan kapasitas tenaga kesehatan, sistem informasi kesehatan, atau keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan. Tidak ada dalam dokumen yang menyebut tentang strategi distribusi tenaga medis ke wilayah kepulauan atau penguatan partisipasi warga dalam musyawarah kesehatan desa. Padahal, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mengamanatkan pelayanan berbasis keadilan spasial dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan layanan dasar.

Dengan demikian, komitmen kesehatan dalam visi-misi Bupati Iksan dan Irene sejauh ini tampak lebih sebagai strategi komunikasi publik daripada arah reformasi sistem. Ia hadir sebagai afirmasi simbolik, namun belum menunjukkan keberanian untuk menyasar akar ketimpangan yang bersumber dari relasi antara ekspansi industri, kerentanan geografis, dan lemahnya promosi kesehatan. Tanpa penajaman arah kebijakan yang berpihak pada warga paling rentan, komitmen ini berisiko menjadi narasi normatif yang berjalan di tempat.

Pelaksanaan Program: Fokus pada Fasilitas Fisik, Abai pada Masalah Sistemik

Selama 100 hari pertama masa pemerintahan Iksan dan Irene, Pemerintah Kabupaten Morowali menampilkan sejumlah kegiatan kesehatan sebagai capaian prioritas. Renovasi RSUD Morowali, pembangunan gedung baru Puskesmas Bahodopi, serta penambahan armada ambulans darat dan laut disebut sebagai langkah untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan masyarakat. Selain itu, program layanan “Jemput Sakit, Pulang Sehat” di 11 titik dijalankan sebagai inovasi untuk menjangkau warga kurang mampu yang kesulitan mengakses fasilitas kesehatan. Secara administratif, langkah-langkah ini memberikan kesan bahwa pemerintah bergerak cepat dan aktif dalam menguatkan layanan dasar.

Namun jika diselami lebih dalam, pelaksanaan program tersebut justru memperlihatkan kecenderungan dominasi pada aspek fisik dan simbolik, sementara reformasi sistemik nyaris tidak disentuh. Kurangnya data atau laporan resmi yang menunjukkan bagaimana fasilitas baru itu akan berdampak terhadap rasio tenaga kesehatan, pemenuhan kebutuhan obat-obatan esensial, atau peningkatan layanan berbasis wilayah. Kurang ditemukan perubahan mendasar dalam struktur kelembagaan dinas, model pembiayaan layanan gratis, ataupun skema pengawasan kualitas layanan yang dapat menjamin bahwa pembangunan fisik sejalan dengan penguatan sistem kerja kesehatan.

Kunjungan langsung ke RSUD dan puskesmas oleh kepala daerah memang dilakukan hingga 21 kali dalam periode 100 hari, namun kunjungan ini lebih bersifat seremonial ketimbang berbasis evaluasi fungsional. Tidak ada hasil audit kondisi fasilitas atau tindak lanjut sistemik terhadap temuan lapangan yang dipublikasikan kepada publik. Bahkan, dalam dokumen publikasi resmi pemerintah, fokus pelaporan lebih banyak menampilkan jumlah kegiatan dan narasi pencapaian, tanpa menyajikan indikator dampak atau kerangka evaluasi kualitas pelayanan kesehatan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: sejauh mana pelaksanaan program tersebut benar-benar menyentuh substansi pelayanan, bukan sekadar membangun citra kerja pemerintah. Lebih lanjut, tidak ada laporan tentang upaya menghubungkan fasilitas kesehatan dengan sistem promosi kesehatan atau layanan berbasis komunitas. Sebagai contoh, pembangunan Puskesmas Bahodopi tidak dijelaskan sebagai bagian dari strategi penguatan kapasitas untuk menangani peningkatan kasus ISPA dan pencemaran lingkungan yang kian parah di wilayah tersebut. Pelaksanaan kebijakan juga tidak memuat integrasi antara layanan medis dan edukasi publik, padahal kawasan industri seperti Bahodopi membutuhkan pendekatan kesehatan yang tidak hanya berbasis klinik, tetapi juga intervensi lingkungan dan perubahan perilaku masyarakat.

Dengan demikian, pelaksanaan program kesehatan dalam 100 hari kerja masih berkutat pada penyediaan layanan kuratif yang berjarak dari perubahan sistem. Fasilitas fisik dibangun, kendaraan disediakan, dan layanan diklaim gratis, namun sistem tata kelola, standar mutu pelayanan, partisipasi masyarakat, serta pengendalian dampak lingkungan tidak menjadi perhatian. Ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan program belum menjawab tantangan kesehatan masyarakat yang semakin kompleks akibat perkembangan industri, mobilitas penduduk, dan tekanan ekologis yang tidak terkelola.

Kesehatan dan Lingkungan: Bahodopi sebagai Zona Krisis yang Dilupakan

Bahodopi, sebagai pusat kawasan industri nikel terbesar di Morowali, telah berubah menjadi wilayah dengan tingkat ancaman kesehatan yang sangat tinggi. Di balik deru mesin peleburan logam dan aktivitas pengolahan nikel, tersimpan persoalan akut tentang kualitas udara, air, dan tanah yang makin memburuk. Dalam 100 hari kerja pertama pemerintahan Iksan dan Irene, tidak tampak adanya kebijakan khusus yang ditujukan untuk mengintervensi situasi darurat ini. Tidak ada pernyataan status kedaruratan kesehatan lingkungan, tidak ada penguatan kapasitas layanan khusus di wilayah terdampak, dan tidak ada program mitigasi yang berbasis data dan risiko lingkungan.

Data resmi dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2024 mencatat bahwa dari total 305.191 kasus ISPA yang dilaporkan di provinsi ini, sebanyak 57.190 kasus berasal dari Kabupaten Morowali. Angka ini adalah yang tertinggi dari seluruh kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah. Ini bukan semata statistik dingin—angka tersebut mencerminkan bagaimana tubuh masyarakat di Morowali menjadi tempat akumulasi polusi akibat aktivitas industri. Pembakaran batu bara di PLTU kawasan industri, debu dari pengolahan logam berat, serta asap dari kendaraan dan truk tambang yang hilir mudik siang dan malam telah menciptakan atmosfer yang tidak layak huni. Krisis ini bukan produk dari kelalaian belaka, melainkan hasil langsung dari kebijakan pembangunan yang menempatkan kesehatan masyarakat sebagai eksternalitas yang boleh dikorbankan demi investasi.

Lebih jauh, studi yang dilakukan oleh (Sanjaya et al.,2024) menunjukkan bahwa kualitas udara di Bahodopi telah berada dalam kategori tidak sehat secara empiris. Konsentrasi partikel PM2.5 dan PM10—dua polutan utama yang sangat berbahaya bagi sistem pernapasan manusia—tercatat melebihi ambang batas baku mutu udara yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan WHO. Namun hingga kini, tidak ada sistem pemantauan kualitas udara yang bersifat transparan dan bisa diakses publik secara real-time. pemerintah gagal menjalankan peran konstitusionalnya sebagai pelindung masyarakat dari risiko yang diciptakan oleh kekuatan ekonomi yang tak terkendali.

Ironisnya, dalam narasi capaian 100 hari kerja, pembangunan gedung baru Puskesmas Bahodopi justru disampaikan tanpa kerangka yang berangkat dari situasi krisis tersebut. Tidak ada penjelasan tentang rencana penguatan tenaga medis untuk menangani penyakit pernapasan kronis, tidak ada peningkatan layanan laboratorium untuk deteksi dampak logam berat, dan tidak ada integrasi antara fasilitas kesehatan dan sistem pemantauan lingkungan. Pembangunan fisik dilepaskan dari konteks ekologi sosialnya, sehingga berisiko hanya menjadi etalase administratif yang tidak menjawab penderitaan masyarakat.

Minimnya respons pemerintah terhadap situasi ini menunjukkan kegagalan dalam memahami persoalan kesehatan sebagai akibat dari kerangka kerja pembangunan kita yang mengorbankan kesehatan demi angka-angka pertumbuhan ekonomi. Bahodopi bukan lagi sekadar kawasan industri—ia telah menjelma menjadi zona penyakit. Tetapi negara, melalui pemerintahan daerah, justru menjadi fasilitator pencemaran dengan membiarkan industri beroperasi tanpa pengawasan ketat dan tanpa sistem perlindungan terhadap masyarakat sekitar. Ketika pemerintah lebih sibuk membangun gedung dan menambah ambulans daripada menghentikan akar penyebab penyakit, maka yang tumbuh bukan pelayanan, melainkan pelembagaan masalah kesehatan.

Evaluasi dan Kelembagaan: Sistem Tanpa Ukuran dan Akuntabilitas

Evaluasi terhadap kebijakan kesehatan selama 100 hari kerja pertama pemerintahan Iksan dan Irene tidak disusun dalam bentuk yang dapat diakses dan diuji secara publik. Pelaporan yang tersedia dalam dokumen resmi lebih bersifat naratif dan administratif, menekankan jumlah kunjungan kepala daerah ke fasilitas kesehatan (21 kali), pembangunan fisik, serta distribusi armada dan layanan gratis. Namun pelaporan ini tidak menyertakan indikator kinerja, tidak berbasis data epidemiologist, dan tidak menyentuh aspek mutu pelayanan. Ketidakhadiran evaluasi berbasis hasil dan dampak membuat program-program yang dijalankan sulit diukur efektivitas dan daya jangka panjangnya.

Absennya sistem evaluasi yang memadai juga terlihat dari tidak adanya informasi mengenai perubahan tren penyakit di masyarakat, keberhasilan penanganan kasus, atau peningkatan kepuasan pengguna layanan kesehatan. Pemerintah tidak menyediakan laporan perkembangan kasus ISPA, atau penyakit menular lainnya yang menjadi isu utama di wilayah seperti Bahodopi. Tidak pula tersedia alat ukur untuk mengevaluasi keberhasilan program-program baru seperti “Jemput Sakit, Pulang Sehat”, atau pembangunan puskesmas dalam menurunkan angka kesakitan.

Hal ini menunjukkan bahwa program dilaksanakan tanpa dilandasi kerangka monitoring dan evaluasi yang kuat. Di sisi kelembagaan, belum tampak adanya pembaruan struktur organisasi atau mekanisme kerja Dinas Kesehatan yang menunjukkan arah penguatan sistem. Tidak ditemukan pembentukan tim lintas sektor untuk penanganan kesehatan industri, tidak ada tim teknis untuk mitigasi risiko kesehatan lingkungan, dan tidak ada inovasi kelembagaan untuk memperkuat peran promosi kesehatan di tingkat desa. Padahal, tantangan kesehatan di Morowali tidak lagi cukup dihadapi oleh pendekatan sektoral Dinas Kesehatan semata, melainkan memerlukan struktur baru yang mampu merespons kompleksitas risiko dan ketimpangan.

Selain itu, ketiadaan partisipasi publik dalam proses evaluasi juga memperlemah akuntabilitas kebijakan. Kurang ditemukan forum masyarakat, survei kepuasan publik, atau kanal pengaduan berbasis digital yang memungkinkan warga memberikan umpan balik atas kualitas layanan yang mereka terima. Ketiadaan ini menjadikan warga sebagai penerima pasif kebijakan, bukan sebagai subjek aktif dalam pembentukan sistem pelayanan. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan kesehatan sangat rentan terjebak pada logika administratif yang menutup diri dari kritik dan koreksi.

Situasi ini memperlihatkan bahwa meskipun pemerintah aktif dalam pelaksanaan program, kelembagaan yang menopang sistem kesehatan tetap lemah dan tidak diperkuat selama 100 hari kerja pertama. Tanpa sistem evaluasi yang berbasis bukti (evidence-based) dan partisipasi, serta tanpa reformasi kelembagaan yang menjawab tantangan struktural, kebijakan kesehatan akan tetap menjadi rangkaian proyek yang berjalan sendiri-sendiri. Maka menjadi penting untuk menata ulang sistem ini agar mampu menjamin kesinambungan, pemerataan, dan kualitas pelayanan kesehatan sebagai hak dasar warga.

Reformasi Kesehatan sebagai Agenda Mendesak di Tengah Krisis Industri dan Ketimpangan

Seratus hari kerja pertama pemerintahan Iksan dan Irene di Kabupaten Morowali telah diwarnai oleh berbagai inisiatif di sektor kesehatan yang ditampilkan secara progresif dalam narasi pemerintah. Namun, di balik itu semua, terlihat jelas bahwa arah pembangunan kesehatan masih dibatasi oleh pendekatan kuratif, proyek fisik, dan politik simbolik, tanpa menyentuh akar persoalan struktural yang selama ini membelenggu hak atas kesehatan masyarakat Morowali.

Ketiadaan strategi berbasis risiko kesehatan lingkungan di kawasan industri seperti Bahodopi, minimnya perhatian terhadap isu pencegahan dan promosi kesehatan, serta lemahnya kelembagaan dan sistem evaluasi menjadi tiga kelemahan utama yang mencuat selama 100 hari pertama ini. Morowali bukan hanya menghadapi persoalan layanan medis semata, melainkan juga krisis ekologis dan perubahan sosial akibat industrialisasi yang cepat dan tidak seimbang. Maka, ketika kebijakan kesehatan tidak diarahkan untuk menjawab realitas tersebut, ia hanya akan menjadi tempelan program yang tidak menyelesaikan masalah di akar-akarnya.

Lebih jauh, kondisi ini menunjukkan bahwa sektor kesehatan di Morowali membutuhkan lebih dari sekadar komitmen retoris atau kegiatan seremonial. Diperlukan reformasi sistemik yang mampu menghubungkan perencanaan kesehatan dengan isu spasial, risiko industri, dan dinamika sosial lokal. Pelayanan kesehatan yang adil dan responsif hanya mungkin terwujud jika pemerintah daerah berani mengubah pendekatan sektoral menjadi pendekatan lintas bidang yang menempatkan warga sebagai pusat dari kebijakan. Ini mencakup perubahan caraberpikir, perubahan cara kerja, serta keberanian untuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan publik.

Berdasarkan evaluasi terhadap data dan pelaksanaan program 100 hari kerja, terdapat lima rekomendasi yang dapat menjadi arah pembenahan sistem kesehatan di Kabupaten Morowali:

1. Menyusun peta risiko kesehatan berbasis wilayah, terutama di zona industri dan wilayah pesisir, sebagai dasar penyusunan strategi layanan dan alokasi anggaran.

2. Mengintegrasikan upaya promotif dan preventif dalam sistem pelayanan puskesmas melalui penguatan tenaga promosi kesehatan dan pengembangan program edukasi komunitas secara rutin.

3. Membentuk gugus tugas kesehatan lingkungan lintas dinas untuk menangani dampak pencemaran industri terhadap kesehatan masyarakat secara terkoordinasi.

4. Membangun sistem evaluasi berbasis hasil dan partisipasi warga, dengan menyediakan mekanisme pengaduan, survei kepuasan publik, dan forum konsultasi kebijakan kesehatan di tingkat desa.

5. Memastikan keberlanjutan pembiayaan layanan gratis melalui skema anggaran jangka menengah dan peraturan daerah yang menjamin akses dan kualitas secara setara.

Tanpa pembenahan sistematis, pembangunan kesehatan di Morowali akan tetap menjadi etalase program yang rapuh di balik krisis struktural yang tak tertangani. Seratus hari kerja seharusnya menjadi fondasi arah baru kebijakan, bukan pengulangan pola lama yang hanya menambal permukaan. Kini, pilihan ada di tangan kepemimpinan Iksan dan Irene: akan melangkah lebih dalam membangun sistem kesehatan yang adil dan tangguh, atau terus mempertahankan narasi layanan simbolik di tengah krisis yang semakin nyata.

 

***Tulisan ini merupakan Part 4 dari edisi khusus “Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali” yang terbagi dalam beberapa part. Anda bisa mengaksesnya dalam link di bawah ini:

Part 1: Reformasi Birokrasi Yang Masih Berkutat Pada Kegiatan Simbolis

Part 2: Persampahan Yang Krisis Tata Kelola

Part 3: Bantuan Mahasiswa Yang Jalan Tanpa Arah

Part 5: Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Part 6: Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural

Tags: BahodopiMorowaliPemda MorowaliTambang
Next Post
Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 5): Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 5): Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Discussion about this post

  • Home
  • Siber
  • Tentang Kami
  • Ketentuan Kami
  • Kontak Kami

© 2020 Kamputo.com - Dev by IT KAMPUTO.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore

© 2020 Kamputo.com - Dev by IT KAMPUTO.