• About
  • Contcat Us
Thursday, June 12, 2025
Social icon element need JNews Essential plugin to be activated.
Kamputo.com
  • Login
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore
No Result
View All Result
Morning News
Home Ulasan Opini

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 2): Persampahan Yang Krisis Tata Kelola

Aksan by Aksan
12/06/2025
in Opini, Ulasan
0
Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 2): Persampahan Yang Krisis Tata Kelola

Masalah persampahan di Kabupaten Morowali bukan sekadar perkara teknis pengangkutan limbah atau kurangnya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah. Ia merupakan cerminan nyata dari lemahnya sistem pelayanan publik, ketidaksiapan kelembagaan lingkungan hidup, dan absennya keberpihakan pemerintah terhadap hak dasar warga atas ruang hidup yang sehat. Dalam konteks ini, 100 hari kerja Bupati Iksan dan Wakil Bupati Irene menjadi momen krusial untuk melihat arah baru atau justru kesinambungan dari masalah lama yang tak kunjung diatasi.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, total timbulan sampah di Morowali pada tahun 2024 mencapai 62.214,26 ton. Dari jumlah tersebut, hanya 5.326,65 ton yang berhasil dikelola dan 1.509,31 ton yang berhasil dikurangi. Ini berarti lebih dari 90% sampah tidak tertangani secara memadai. Ketimpangan ini mencerminkan bukan sekadar kekurangan teknis, melainkan kegagalan struktural dalam kebijakan dan kelembagaan lingkungan di daerah.

BACA JUGA

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 6): Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 5): Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Minimnya investasi dalam infrastruktur pengelolaan sampah, lemahnya koordinasi lintas sektor, dan absennya prioritas pada pelayanan dasar membuat persoalan ini terus memburuk. Sampah yang menumpuk di pasar, permukiman padat, hingga desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan industri menjadi bukti nyata dari kelalaian pemerintah dalam menjamin hak warga atas lingkungan yang sehat.

Dalam kampanye politiknya, pasangan Iksan–Irene menjanjikan revitalisasi lingkungan, yang tentu mencakup aspek lingkungan hidup berkelanjutan. Namun seperti banyak janji politik lainnya, implementasinya sering kali tidak sebanding dengan visi-misi yang diusung. Pertanyaannya: apakah 100 hari pertama pemerintahan ini mencerminkan arah perubahan menuju pengelolaan sampah yang berkeadilan, atau justru mengulang pola lama yang simbolik dan tambal sulam?

Pengelolaan sampah sejatinya tidak bisa dipisahkan dari prinsip keadilan sosial. Ia bukan sekadar urusan teknologi dan logistik, tapi juga soal pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat atas lingkungan yang bersih dan sehat. Dalam hal ini, pendekatan teknokratis saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah sistem desentralisasi, pelibatan aktif masyarakat, dan penguatan kapasitas kelembagaan lokal. Sayangnya, 100 hari kerja Iksan–Irene belum menunjukkan langkah ke arah itu.

Komitmen Lingkungan dalam Visi-Misi: Visi Tanpa Kendali Strategis

Dalam dokumen visi dan misi yang disampaikan, pasangan Iksan–Irene menyatakan komitmen terhadap revitalisasi lingkungan secara berkelanjutan. Hal ini tentu mencakup pengelolaan sampah yang terpadu. Namun jika dilihat lebih jauh, tidak ditemukan rincian strategi yang konkret, target capaian, atau pembagian peran kelembagaan dalam dokumen tersebut, terutama yang menyasar isu struktural seperti sampah.

Komitmen yang tidak ditopang oleh strategi operasional hanya akan berujung pada slogan. Dalam kasus Morowali, misi “revitalisasi lingkungan” tidak diiringi dengan kerangka penguatan kelembagaan lingkungan, perencanaan zonasi pengelolaan sampah, ataupun mekanisme pelibatan masyarakat secara masif. Tidak ada peta jalan (roadmap), indikator capaian, atau rencana integrasi antara DLH dan pemerintah desa yang dipublikasikan kepada publik selama 100 hari kerja pertama.

Oleh karena itu, komitmen dalam visi-misi belum menjadi alat gerak kebijakan. Ini adalah kegagalan awal dalam menerjemahkan aspirasi masyarakat ke dalam sistem kerja pemerintahan yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan.

Regulasi Sudah Ada, Tapi Kurang Dijadikan Pijakan

Satu aspek penting yang sering terlewat dalam perdebatan publik soal pengelolaan sampah di Morowali adalah keberadaan Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sampah. Perda ini sudah mengatur prinsip dasar pengurangan, pemilahan, dan pengolahan sampah dari sumber, termasuk peran pemerintah daerah dalam menyediakan sarana prasarana, serta mendorong partisipasi masyarakat dan sektor swasta. Namun, dalam 100 hari kerja Iksan–Irene, perda ini kurang disebut, apalagi dijadikan dasar perencanaan dan penganggaran.

Alih-alih menegakkan perda tersebut, pemerintah justru lebih banyak memunculkan kebijakan atau program simbolik seperti kerja bakti dan peninjauan lokasi pengelolaan sampah. Tidak ada satu pun program penguatan kelembagaan lingkungan yang secara eksplisit merujuk pada perda. Bahkan tidak ada laporan evaluasi pelaksanaan perda yang dibuka ke publik. Ini menunjukkan bahwa kebijakan berbasis hukum daerah tidak dijadikan sebagai instrumen utama tata kelola.Padahal dalam perda ini, pemerintah desa diberi peran kunci dalam sistem pengelolaan sampah lokal. Namun selama 100 hari pertama, masih kurang terlihat pelatihan, sosialisasi, atau penguatan kapasitas desa yang dilakukan oleh DLH atau lembaga teknis lainnya. Ini artinya, perda bukan hanya diabaikan dalam aspek formal, tapi juga dalam praksis keseharian birokrasi.

Situasi ini memperlihatkan bahwa masalah bukan terletak pada absennya regulasi, tetapi pada lemahnya kemauan politik dan manajemen implementasi. Ketika perda hanya menjadi dokumen mati di rak-rak arsip birokrasi, maka segala bentuk kebijakan yang lahir akan cenderung seremonial, tidak berpijak, dan tidak menyelesaikan akar persoalan.

Dengan demikian, kritik utama terhadap 100 hari pertama Iksan–Irene bukan karena mereka belum membuat regulasi baru, tetapi karena gagal menjalankan yang sudah ada. Kepada penulis, Kepala Bappelitbangda Morowali mengatakan bahwa produk hukum kita harus perlu ditinjau kembali karena dalam tataran implementasi ini terindikasi masih lemah. Dengan kata lain, Perda 5/2017 semestinya menjadi pondasi pengelolaan sampah yang berkeadilan dan terdesentralisasi, bukan sekadar lembaran hukum yang dilupakan.

Langkah yang Diambil: Seremonial Tanpa Arah Struktural

Selama 100 hari pertama masa pemerintahan Bupati Iksan dan Wakil Bupati Irene di Kabupaten Morowali, telah dilaksanakan sejumlah kegiatan yang diklaim sebagai bentuk perhatian terhadap isu pengelolaan sampah dan kebersihan lingkungan. Beberapa kegiatan yang menonjol meliputi kerja bakti rutin, peninjauan langsung ke lokasi pengelolaan sampah di kawasan industri Bahodopi, serta inisiasi pembahasan rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pengelolaan sampah.

Di permukaan, rangkaian aktivitas ini tampak sebagai komitmen awal yang menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih dalam, kebijakan tersebut lebih mencerminkan pendekatan simbolik ketimbang agenda reformasi yang struktural dan berkelanjutan. Kerja bakti, misalnya, memang dapat memupuk solidaritas sosial dan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga lingkungan. Akan tetapi, tanpa dibarengi dengan sistem pemilahan sampah dari sumber, rute pengangkutan yang efisien, dan tempat pemrosesan akhir yang memadai, kegiatan ini mudah menjadi sekadar seremoni musiman. Spirit gotong royong yang dibangkitkan bisa cepat meredup karena tidak terintegrasi dalam sistem kerja kelembagaan yang konsisten dan terukur. Fenomena ini mengindikasikan bahwa yang dibangun bukan sistem pengelolaan sampah, tetapi sekadar rutinitas yang bersifat kosmetik.

Hal yang sama terlihat dalam kunjungan pemerintah ke kawasan industri serta pembahasan raperda pengelolaan sampah. Penulis telah mengkonfirmasi kepada Kepala Bappelitbangda bahwa belum ada kejelasan tentang substansi perubahan yang akan dimuat dalam raperda tersebut. Ini menunjukkan lemahnya koordinasiantar-instansi dan absennya peta jalan kebijakan yang berbasis data dan kebutuhan faktual di lapangan. Padahal, dalam tata kelola lingkungan, regulasi lokal harus dirancang dengan mengintegrasikan aspek teknis, sosial, dan kelembagaan secara komprehensif. Tanpa itu, raperda hanya menjadi dokumen normatif yang gagal menjawab kompleksitas krisis sampah di Morowali—terlebih di daerah industri seperti Bahodopi yang memproduksi limbah domestik dan industri secara simultan.

Dalam konteks tersebut, publik memiliki alasan kuat untuk menilai bahwa berbagai langkah dalam 100 hari pemerintahan ini lebih mengarah pada pencitraan birokrasi ketimbang upaya transformasi tata kelola lingkungan yang sejati. Kritik ini bukan semata-mata soal kurangnya output, tetapi juga soal absennya strategic intent—yaitu visi dan arah jangka panjang yang terstruktur.

Seratus hari pertama seharusnya menjadi masa konsolidasi sistemin: membangun basis data, menyusun roadmap kebijakan lintas sektoral, serta merancang sistem partisipasi publik yang transparan dan akuntabel. Sayangnya, momen strategis ini tampaknya belum dimanfaatkan oleh pemerintahan Iksan–Irene secara optimal. Ketika birokrasi masih berpikir dalam kerangka kegiatan, bukan dalam kerangka sistem, maka reformasi hanya akan berjalan di permukaan. Kegiatan seremonial tanpa sistem adalah resep stagnasi dalam birokrasi lingkungan.

Rekomendasi Arah Baru: Menata Ulang Tata Kelola Lingkungan

Jika pemerintah Morowali serius ingin memperbaiki situasi, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengaktifkan kembali Perda 5/2017. Perlu dibentuk gugus tugas pelaksana perda, dengan mandat evaluasi implementasi, pelibatan desa, serta sinkronisasi antara DLH dan aparat kecamatan. Selain itu, perlu audit menyeluruh terhadap kapasitas TPA, TPS, dan sistem pengangkutan sampah yang ada.

Pemerintah desa harus diberdayakan sebagai aktor utama, dengan alokasi dana desa untuk kegiatan pengelolaan sampah, pendirian bank sampah, dan pelibatan BUMDes. Keterlibatan masyarakat sipil dan komunitas lokal juga penting untuk menghindari pendekatan top-down yang selama ini gagal membangun rasa memiliki warga terhadap kebijakan lingkungan.

Morowali juga perlu membangun sistem pengawasan berbasis transparansi, di mana pelaksanaan perda, data timbulan sampah, dan laporan kegiatan kebersihan dapat diakses publik. Ini akan memperkuat kontrol sosial dan mendorong partisipasi aktif dari berbagai elemen masyarakat.

Langkah-langkah ini bukan proyek teknis, tetapi agenda politik dan sosial yang harus diambil dengan keberanian dan konsistensi. Tanpa keberpihakan yang jelas terhadap keadilan lingkungan, seluruh janji pelayanan publik yang sehat akan berakhir pada kegagalan.Kini, pertanyaannya: apakah Pemerintah Iksan–Irene akan menjadikan perda sebagai alat perubahan atau membiarkannya kembali menjadi dokumen yang dilupakan? Waktu akan mencatat, publik akan menilai.

***Tulisan ini merupakan Part 2 dari edisi khusus “Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali” yang terbagi dalam beberapa part. Anda bisa mengaksesnya dalam link di bawah ini:
Part 1: Reformasi Birokrasi Yang Masih Berkutat Pada Kegiatan Simbolis

Part 3: Bantuan Mahasiswa Yang Jalan Tanpa Arah

Part 4: Layanan Kesehatan Yang Tidak Menyentuh Krisis Struktural

Part 5: Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir

Part 6: Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural

Tags: mediaMorowaliPemda Morowali
Next Post
Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 3): Bantuan Mahasiswa Yang Jalan Tanpa Arah

Edisi Khusus Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali (Part 3): Bantuan Mahasiswa Yang Jalan Tanpa Arah

Discussion about this post

  • Home
  • Siber
  • Tentang Kami
  • Ketentuan Kami
  • Kontak Kami

© 2020 Kamputo.com - Dev by IT KAMPUTO.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Kabar
  • Esai
  • Sastra
  • Ulasan
  • Pariwisata
  • Advertorial
  • KamputoStore

© 2020 Kamputo.com - Dev by IT KAMPUTO.