Bantuan pendidikan bagi mahasiswa Kabupaten Morowali lahir dari keprihatinan atas rendahnya akses terhadap pendidikan tinggi, khususnya bagi masyarakat dari kelompok ekonomi lemah dan wilayah terpencil. Tingginya biaya masuk perguruan tinggi, ditambah dengan kenaikan biaya hidup setiap tahun, telah menjadi hambatan serius bagi banyak lulusan SMA di Morowali untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sebagai respons atas persoalan tersebut, Pemerintah Kabupaten Morowali sejak tahun 2016 telah meluncurkan bantuan pendidikan melalui Perbup No 18 Tahun 2016, yang kemudian diperkuat oleh Perbup No 31 Tahun 2020, serta Keputusan Bupati No 188.4.45/Kep.0265/Disdikda/2020 dan Keputusan Bupati No 188.4.45/Kep.0282/Disdikda/2021. Namun, dalam implementasinya, program bantuan ini masih menghadapi berbagai persoalan tata kelola yang belum sepenuhnya terselesaikan hingga saat ini.
Bertolak dari tinjauan normatif, implementasi bantuan ini menunjukkan bahwa program tersebut dibangun tanpa dasar kelembagaan yang kuat. Perencanaan dilakukan tanpa pelibatan masyarakat atau pemetaan kebutuhan yang akurat. Tidak ada skema atau indikator ekonomi rumah tangga. Bantuan ini juga tidak mempertimbangkan perbedaan kebutuhan mahasiswa berdasarkan lokasi kampus maupun jenjang pendidikan. Mahasiswa S1, S2, dan S3 semuanya mendapatkan nominal bantuan yang sama—yakni Rp 4 juta per tahun—padahal beban biaya dan konteks kehidupan mereka jelas sangat berbeda. Ini mencerminkan kurangnya sensitivitas kebijakan terhadap realitas penerima manfaat.
Selain itu, bantuan ini diberikan setelah mahasiswa dinyatakan lolos kuliah, bukan saat proses masuk perguruan tinggi. Padahal di lapangan, justru ada beberapa anak-anak Morowali dari keluarga petani, buruh, atau nelayan yang tidak mampu membayar biaya pendaftaran dan biaya transportasi untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi. Dalam berbagai pernyataan masyarakat yang kami himpun, muncul pertanyaan kritis: “Kenapa pemerintah tidak bantu anak Morowali dari awal mereka tamat SMA dan sedang berjuang masuk kuliah?” Kebijakan ini seolah berpihak kepada mereka yang sudah berhasil masuk perguruan tinggi, tetapi menutup mata terhadap hambatan struktural di tahap awal pendidikan tinggi.
Dalam konteks tersebut, 100 hari kerja pemerintahan Bupati Iksan dan Wakil Bupati Irene menjadi momen penting untuk mengevaluasi arah bantuan mahasiswa ini. Pemerintah daerah mengklaim meluncurkan kembali program bantuan sebesar Rp12 juta per mahasiswa per tahun, lengkap dengan proses verifikasi administratif.
Namun hingga kini, belum tampak pembaruan kebijakan yang menyentuh substansi persoalan lama. Program bantuan ini belum memperlihatkan adanya perombakanstrategi perencanaan, kelembagaan pelaksana, maupun kerangka evaluasi yang berbasis keadilan sosial.
Komitmen Pendidikan dalam Visi-Misi: Janji Afirmasi yang Tidak Menyentuh Akar Masalah
Dalam dokumen visi dan misi Bupati dan Wakil Bupati Morowali periode 2024–2029, sektor pendidikan mendapat tempat sebagai prioritas utama pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) daerah. Salah satu program unggulannya adalah pemberian bantuan bagi mahasiswa, yang diklaim sebagai bentuk afirmasi kepada generasi muda Morowali. Namun, sebagaimana pernyataan-pernyataan politik lainnya, janji ini tidak diikuti oleh kerangka pelaksanaan yang detail dan strategis.
Berdasarkan tinjauan normatif yang dihimpun bahwa sejak sebelum masa pemerintahan Iksan–Irene, program bantuan mahasiswa sudah menunjukkan kelemahan dalam aspek perencanaan. Peran antar-stakeholder tidak jelas, dan mekanisme koordinasi antar instansi belum dibangun. Bantuan disusun secara top-down tanpa melibatkan mahasiswa, perguruan tinggi, atau perangkat desa sebagai aktor kunci di lapangan. Akibatnya, perencanaan program bantuan tidak mampu menjawab realitas sosial mahasiswa yang sangat kompleks—mulai dari tantangan biaya kuliah, jarak geografis kampus, hingga biaya hidup di kota besar yang sangat berbeda.
Selain itu, visi pendidikan yang digagas tidak membedakan kebutuhan mahasiswa berdasarkan jenjang studi. Mahasiswa program sarjana, magister, dan doktoral seluruhnya menerima nominal bantuan yang sama. Dalam konteks keadilan kebijakan, pendekatan seperti ini bukanlah bentuk afirmasi, melainkan penyamarataan yang mengabaikan fakta bahwa mahasiswa pascasarjana membutuhkan anggaran lebih besar untuk riset, biaya publikasi, atau bahkan biaya hidup yang lebih tinggi jika studi dilakukan di luar negeri atau kota besar. Ini mencerminkan ketidaktepatan desain program yang tidak berpijak pada studi kebutuhan.
Ketimpangan juga muncul dalam hal waktu pemberian bantuan. Bantuan hanya diberikan kepada mereka yang sudah diterima di perguruan tinggi. Padahal, beberapa siswa SMA/SMK dari keluarga miskin yang justru gagal masuk perguruan tinggi karena tidak mampu membayar biaya awal pendaftaran atau biaya transportasi. Tidak ada program afirmatif yang menjangkau mereka dari titik transisi pendidikan menengah ke perguruan tinggi. Padahal, fase ini adalah titik kritis di mana banyak potensi terputus hanya karena ketiadaan biaya. Dengan demikian, janji dalam dokumen visi-misi ternyata tidak menjawab permasalahan tata kelola bantuan mahasiswa yang selama ini terjadi. Komitmen terhadap pendidikan hanya dibungkus dalam narasi politis tanpa menyentuh akar kesenjangan sosial, spasial, dan struktural yang menghambat akses pendidikan tinggi. Ketiadaan strategi perencanaan yang inklusif dan berbasis keadilan menjadi titik lemah awal yang tidak diperbaiki dalam 100 hari kerja.
Pelaksanaan Bantuan: Seremonial yang Berulang tanpa Perubahan Struktural
Dalam 100 hari kerja pertama, Pemerintah Kabupaten Morowali kembali meluncurkan program bantuan mahasiswa dengan nominal Rp 12 juta per orang per tahun. Langkah ini diumumkan secara terbuka dan disebut telah mengalami perbaikan dalam sistem verifikasi serta mensinkronkan data agar yang menerima bantuan tersebut benar-benar anak daerah Morowali. Peluncuran ini sempat mendapat apresiasi sebagian kalangan sebagai langkah cepat merespons kebutuhan mahasiswa. Namun, jika ditinjau lebih kritis, pelaksanaan program bantuan ini ternyata tidak dibarengi dengan perubahan mendasar dalam sistem tata kelola.
Hingga saat ini, tidak ditemukan adanya pembaruan terhadap regulasi yang mengatur bantuan pendidikan. Perbup Nomor 18 Tahun 2016 dan Perbup No 31 Tahun 2020 masih digunakan sebagai dasar pelaksanaan, meski konteks sosial, teknologi, dan kebutuhan mahasiswa sudah banyak berubah. Setelah kami menelusuri JDIH Morowali, tidak ada satupun SK baru yang membentuk tim pelaksana yang lebih profesional atau memiliki mandat evaluasi kinerja. Program tetap dikelola dalam kerangka administratif tahunan, tanpa disusun sebagai strategi jangka panjang pengembangan SDM daerah. Selain itu, pelaksanaan program bantuan ini juga tidak mempertimbangkan karakteristik kampus dan wilayah studi mahasiswa. Mahasiswa yang kuliah di Sulawesi dan Jawa seluruhnya mendapatkan bantuan dengan nilai yang sama, tanpa memperhitungkan biaya hidup, ongkos riset, maupun tantangan sosial di lingkungan studi mereka. Bantuan juga tidak dikaitkan dengan peningkatan prestasi, indeks akademik, atau keterlibatan dalam aktivitas sosial kemahasiswaan. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan bantuan masih berbasis asumsi seragam yang menyamaratakan kebutuhan dan konteks yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, pelaksanaan bantuan mahasiswa dalam 100 hari kerja masih berjalan dengan pola lama: simbolik, administratif, dan seragam. Tidak adaperombakan struktur kelembagaan, tidak ada pendekatan partisipatif, dan tidak ada strategi afirmasi berbasis wilayah atau jenjang pendidikan. Program bantuan ini belum menunjukkan arah sebagai kebijakan pembangunan manusia yang inklusif dan adaptif.
Evaluasi: Bantuan Tanpa Alat Ukur dan Tanpa Umpan Balik
Kelemahan paling mencolok dari program bantuan mahasiswa adalah ketiadaan sistem evaluasi. Sejak awal diluncurkan, tidak ada indikator keberhasilan yang ditetapkan, baik dalam bentuk outcome pendidikan, peningkatan partisipasi mahasiswa, atau kontribusi penerima terhadap pembangunan daerah, misalnya dalam penyusunan Policy Brief, Policy Memo, dan Outlook Pembangunan Daerah. Pemerintah daerah tidak memiliki data yang menunjukkan efektivitas bantuan terhadap capaian studi mahasiswa—berapa yang berhasil lulus tepat waktu, berapa yang naik IPK-nya, atau berapa yang kembali dan berkontribusi untuk Morowali.
Selama 100 hari kerja Iksan–Irene, tidak ada inisiatif untuk membentuk sistem pemantauan atau pelaporan kinerja program bantuan. Evaluasi hanya dilakukan secara teknis administratif, yaitu apakah dana sudah tersalurkan, bukan apakah dana tersebut berdampak. Tidak ada forum dialog antara pemerintah dan mahasiswa penerima, tidak ada survei kepuasan, dan tidak ada mekanisme pelaporan dari kampus tempat mahasiswa belajar. Padahal, sistem evaluasi adalah elemen penting dalam kebijakan publik (Lihat: Dunn, 2018) untuk memastikan program terus membaik dan relevan dengan kebutuhan.
Ketiadaan evaluasi juga berarti tidak ada pembelajaran kebijakan. Pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk mengidentifikasi kekurangan, merancang perbaikan, atau mengembangkan inovasi dalam program. Hal ini membuat bantuan mahasiswa berjalan secara stagnan, tidak adaptif terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, dan tidak mampu merespons kritik publik yang sudah muncul bertahun-tahun.
Secara keseluruhan, kegagalan dalam membangun sistem evaluasi membuat program bantuan ini tidak bisa diukur, tidak bisa diuji efektivitasnya, dan akhirnya kehilangan makna sebagai alat pembangunan SDM yang strategis.
Rekomendasi: Menata Ulang Bantuan Mahasiswa sebagai Kebijakan Strategis
Agar program bantuan mahasiswa di Morowali tidak menjadi kebijakan simbolik yang berulang, perlu dilakukan pembenahan serius dan menyeluruh.
Pertama, Pemerintah Kabupaten Morowali perlu meninjau kembali dan merevisi Perbup maupun SK bantuan mahasiswa yang sudah ada agar mencerminkan realitas kebutuhan mahasiswa saat ini. Revisi tersebut harus memuat mekanisme afirmasi wilayah, sistem seleksi yang adil berdasarkan jenjang pendidikan, serta skema bantuan bagi siswa SMA/SMK yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Kedua, perlu dibentuk Unit Pelaksana Khusus lintas OPD (Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Bappelitbangda) yang memiliki tugas melakukan koordinasi, perencanaan, verifikasi, pencairan, dan evaluasi program bantuan. Tim ini harus melibatkan unsur perguruan tinggi, organisasi mahasiswa, serta desa sebagai aktor penghubung informasi di tingkat bawah.
Ketiga, sistem informasi publik program bantuan harus dikembangkan secara terbuka dan dapat diakses masyarakat. Data penerima, proses seleksi, dan hasil evaluasi harus diumumkan secara berkala agar pengawasan publik dapat berjalan.
Keempat, perlu dibangun sistem evaluasi berbasis hasil dengan indikator jelas, seperti peningkatan IPK, kelulusan tepat waktu, dan kontribusi terhadap pembangunan daerah. Evaluasi ini harus dimasukkan ke dalam dokumen perencanaan tahunan (RKPD) dan pelaporan resmi seperti LAKIP.
Kelima, perlu dikembangkan jalur afirmatif bagi lulusan SMA/SMK yang hendak melanjutkan kuliah, dengan menyediakan bantuan biaya masuk perguruan tinggi bagi keluarga kurang mampu. Ini penting agar kebijakan benar-benar menyentuh akar ketimpangan sejak fase transisi ke pendidikan tinggi.
Tanpa langkah-langkah tersebut, program bantuan mahasiswa akan terus menjadi agenda tahunan yang berjalan tanpa arah. Ia akan tetap menjadi proyek administratif, bukan alat strategis pembangunan sumber daya manusia. Kini, tanggung jawab ada pada kepemimpinan Iksan–Irene: apakah akan melanjutkan simbolisme, atau mulai menata ulang sistem secara adil, transparan, dan berkelanjutan?
***Tulisan ini merupakan Part 3 dari edisi khusus “Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali” yang terbagi dalam beberapa part. Anda bisa mengaksesnya dalam link di bawah ini:
Part 1: Reformasi Birokrasi Yang Masih Berkutat Pada Kegiatan Simbolis
Part 2: Persampahan Yang Krisis Tata Kelola
Part 4: Layanan Kesehatan Yang Tidak Menyentuh Krisis Struktural
Part 5: Perikanan dan Masalah Ekologi Pesisir
Part 6: Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural
Discussion about this post