Kabupaten Morowali sedang mengalami transformasi ekonomi yang begitu cepat, tetapi tidak semua sektor berjalan seiring dalam menikmati buah pertumbuhan tersebut. Dalam dua dekade terakhir, industri pertambangan nikel telah menjadikan Morowali sebagai pusat pertumbuhan baru di Sulawesi Tengah, dengan laju pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 20% hingga 2023. Namun, narasi pertumbuhan ini menyembunyikan cerita tentang sektor-sektor tradisional yang justru mengalami stagnasi dan tekanan, salah satunya adalah sektor perikanan.
Data BPS mengkonfirmasi bahwa pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan di Morowali justru melambat dari 3,22% pada 2021 menjadi hanya 1,81% pada tahun 2022. Hal ini kontras dengan sektor tambang yang tetap tumbuh tinggi di atas 17% pada tahun yang sama (BPS Morowali, 2023). Sektor perikanan yang dulunya sebagai salah satu tulang punggung penghidupan masyarakat pesisir kini tergeser dari prioritas pembangunan. Sementara tambang membangun infrastruktur berat dan kawasan industri, kehidupan nelayan di desa-desa pesisir seperti Tangofa, Lafeu, dan Torete semakin terpinggirkan (Walhi, 2021).
Secara historis, pada awal 2000-an, nelayan Morowali masih memiliki ketahanan ekonomi meskipun belum sejahtera secara penuh. Hasil tangkapan yang melimpah—dengan pendapatan berkisar Rp 6–8 juta per bulan dari dua kali melaut—memberikan mereka jaring pengaman ekonomi yang memadai (Celys, 2023). Namun kini, setelah dua dekade ekspansi industri, wilayah tangkap makin jauh, kualitas air laut menurun drastis, dan perahu kecil mereka tidak lagi memadai untuk mengejar ikan ke perairan dalam. Apa yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi ruang konflik ekologis dan ekonomi.
Komitmen Visi: Afirmasi Tanpa Rencana Transformasi
Dalam dokumen resmi 100 hari kerja pemerintahan Iksan dan Irene, sektor perikanan hanya mendapat satu penyebutan eksplisit dalam bentuk bantuan budidaya rumput laut di Desa Moahino. Bantuan ini penting, tetapi terlalu kecil untuk mencerminkan bobot strategis sektor perikanan dalam visi-misi pembangunan. Mengingat janji mereka untuk “mengembangkan kemakmuran melalui sektor kelautan dan perikanan, ” absennya peta jalan atau strategi transformasi sektor ini menjadi pertanyaan serius tentang kesungguhan arah kebijakan. Komitmen afirmatif seperti bantuan rumput laut memang bisa menjadi katalis ekonomi lokal, namun tanpa strategi jangka menengah yang sistematis, langkah ini mudah terjebak dalam agenda seremonial dan tidak berkelanjutan. Tidak ditemukan rencana pembangunan sentra pengolahan hasil laut, peningkatan akses pasar nelayan, apalagi kebijakan pemulihan ekosistem pesisir yang rusak oleh aktivitas industri tambang.
Lebih jauh, visi tersebut juga tidak menjawab kebutuhan diversifikasi ekonomi nelayan. Dalam konteks krisis iklim dan tekanan industri, nelayan harus mampu beradaptasi dengan perubahan. Namun sejauh ini, kurang ditemukan program pelatihan alternatif keterampilan, penguatan kelembagaan kelompok nelayan, atau dukungan teknologi tangkap dan navigasi yang memadai. Visi yang dibangun tanpa strategi aksi cenderung berubah menjadi simbol komunikasi politik, bukan transformasi kebijakan.
Ketiadaan perhatian pada isu gender juga tampak jelas. Padahal pemberdayaan perempuan nelayan, khususnya dalam pengolahan dan pemasaran hasil tangkap, merupakan strategi kunci untuk memperkuat ekonomi rumah tangga nelayan. Dalam dokumen 100 hari kerja, tidak ditemukan satupun program spesifik yang menyasar perempuan nelayan sebagai subjek pembangunan ekonomi pesisir.
Oleh karena itu, komitmen sektor perikanan yang dijanjikan dalam visi-misi pemerintahan Iksan-Irene belum menjelma menjadi agenda strategis. Ia hadir sebagai afirmasi normatif yang tidak dibarengi dengan kerangka kebijakan berbasis data, wilayah, dan keadilan ekologis. Tanpa penyusunan strategi sektoral yang serius, komitmen ini berisiko besar menjadi narasi tanpa substansi.
Pelaksanaan Program: Bantuan Insidental, Masalah Struktural Terabaikan
Seratus hari kerja pertama Bupati Iksan dan Irene tidak menunjukkan adanya prioritas konkret dalam penguatan sektor perikanan tangkap. Dari 20 lebih program prioritas yang diumumkan dalam tabloid resmi, hanya beberapa yang menyasar perikanan: bantuan budidaya rumput laut dan keramba. Padahal nelayan di pesisir Morowali menghadapi penurunan produktivitas, kesulitan alat tangkap, dan ketergantungan pasar yang merugikan. Isu-isu ini membutuhkan intervensi kebijakan yang menyeluruh dan berlapis.
Di tengah krisis ekologis dan migrasi ikan ke laut dalam, para nelayan terpaksa menggunakan perahu kecil untuk melaut lebih jauh, dengan risiko keselamatan dan biaya bahan bakar yang tinggi. Namun hingga saat ini, masih kurang program penyediaan perahu besar, GPS, sonar, atau sistem pengawasan perairan yang memadai. Kebijakan bantuan hanya berjalan melalui mekanisme proposal, yang menurut penulis ini cenderung tidak adil dan politis.
Fakta bahwa bantuan disalurkan tanpa basis data valid, tanpa evaluasi kebutuhan, dan tanpa audit dampak, memperlihatkan lemahnya tata kelola pelaksanaan program. Bantuan perahu fiber, misalnya, seringkali hanya menjadi alat politik elektoral. Sementara itu, nelayan yang tidak memiliki jaringan politik justru terpinggirkan dari akses program. Tidak ada mekanisme verifikasi berbasis aktivitas nelayan, hanya pencocokan status pekerjaan di KTP yang bahkan bisa direkayasa (Celys, 2023).
Di sisi lain, pelaksanaan program juga mengabaikan penguatan nilai tambah hasil tangkap. Tidak ditemukan agenda membangun sentra pendinginan atau pengolahan ikan, padahal keterbatasan fasilitas penyimpanan merupakan hambatan utama dalam rantai pasok perikanan Morowali. Dalam konteks infrastruktur, program pembangunan justru lebih banyak menyasar jalan, pasar, dan sektor pendidikan—sementara pelabuhan nelayan, cold storage, atau akses pasar langsung masih kurang disentuh.
Akumulasi dari berbagai kelemahan ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program perikanan dalam 100 hari kerja tidak berpijak pada problem struktural sektor. Bantuan yang bersifat insidental, terputus dari strategi ekosistem dan rantai nilai, berisiko besar menjadi pemborosan anggaran. Tanpa evaluasi dampak dan keberlanjutan, program ini hanya akan menjadi pengulangan dari pola lama pembangunan sektoral yang gagal menjawab akar masalah.
Masalah Pesisir: Dari Ruang Tangkap ke Ruang Risiko
Transformasi pesisir Morowali dari ruang hidup menjadi ruang industri telah mengubah secara fundamental relasi masyarakat nelayan dengan laut. Ekspansi industri nikel, pembangunan jetty, dan sedimentasi dari pengangkutan ore nikel menjadi penyebab utama degradasi wilayah tangkap tradisional (Saimu, 2015; Walhi, 2021). Desa-desa seperti Tangofa, Lafeu, Torete, dan Lokombulo yang sebelumnya memiliki akses langsung terhadap sumber daya ikan kini mengalami penurunan drastis produktivitas.
Nelayan yang dulu bisa berlayar dua kali sebulan dan memperoleh pendapatan hingga Rp 8 juta, kini harus melaut lebih jauh ke perairan dalam. Ikan-ikan yang dulu mudah ditemukan di pinggiran muara telah bermigrasi, tidak hanya karena perubahan ekosistem fisik, tetapi juga karena meningkatnya aktivitas kapal industri dan pencemaran air. Selain itu, nelayan tidak memiliki akses terhadap teknologi navigasi atau kapal berukuran besar untuk menjangkau daerah tangkap baru. Ketimpangan ini melahirkan kondisi baru: nelayan yang tidak hanya miskin secara ekonomi, tetapi juga secara ekologis dan teknologi.
Dalam konteks ini, masalah perikanan bukan hanya akibat perubahan iklim atau siklus alam, tetapi masalah yang diproduksi oleh kebijakan pembangunan yang menomorsatukan industri berat dan mengecualikan keberlanjutan ruang hidup komunitas pesisir. Tidak adanya upaya pemulihan atau rehabilitasi zona tangkap, tidak adanya zona konservasi berbasis komunitas, serta absennya kebijakan mitigasi pencemaran laut memperparah kerentanan masyarakat nelayan.
Ironisnya, meski wilayah pesisir mengalami kerusakan ekologis serius, tidak ada intervensi darurat yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam 100 hari kerjanya. Tidak satu pun kebijakan lingkungan laut muncul dalam tabloid capaian. Tidak ada sistem pemantauan kualitas air laut, tidak ada penguatan kapasitas pengawasan masyarakat, dan tidak ada program adaptasi nelayan terhadap perubahan kondisi tangkap. Seolah-olah masalah ini tidak terjadi, atau lebih parah lagi, sengaja diabaikan.
Padahal masalah ini memiliki dimensi turun temurun: anak-anak nelayan kini tumbuh dalam keluarga yang kehilangan sumber nafkah, perempuan nelayan harus mencari kerja informal untuk menopang ekonomi rumah tangga, dan komunitas pesisir kehilangan hak kolektif atas ruang hidup mereka. Ini bukan semata tentang perikanan—ini adalah soal keadilan ekologis dan hak hidup bermartabat.
Kelembagaan dan Evaluasi: Sistem Tanpa Arah, Bantuan Tanpa Akuntabilitas
Sektor perikanan di Morowali selama ini tidak ditopang oleh kelembagaan yang kuat. Kelompok nelayan banyak yang hanya menjadi alat administratif untuk mengakses bantuan, tanpa kapasitas organisasi atau posisi tawar dalam rantai nilai. Kurang terlihat koperasi nelayan yang aktif mengelola pasar, tidak ada forum komunitas untuk dialog kebijakan, dan tidak ada sinergi antara desa dan kabupaten dalam menyusun data kebutuhan atau evaluasi dampak kebijakan.
Dalam 100 hari kerja, tidak ditemukan inisiatif pemerintah daerah untuk mereformasi struktur kelembagaan sektor ini. Tidak ada upaya membentuk tim lintas sektor untuk menangani dampak industri terhadap perikanan, tidak ada basis data nelayan yang akurat dan dinamis, serta tidak ada regulasi tentang transparansi bantuan. Hal ini menyebabkan banyak program berjalan secara insidental, tumpang tindih, atau bahkan tidak tepat sasaran.
Lebih jauh, tidak ada mekanisme evaluasi berbasis hasil. Tidak diketahui apakah bantuan rumput laut atau keramba yang diberikan akan memandirikan dan meningkatkan pendapatan rumah tangga, atau apakah program tersebut justru menciptakan ketergantungan baru. Pemerintah tidak menerapkan sistem monitoring dan evaluasi berbasis partisipasi nelayan. Sebagian besar program dievaluasi berdasarkan serapan anggaran atau jumlah distribusi bantuan—bukan pada perbaikan kesejahteraan atau penguatan kapasitas nelayan.
Selain itu, tidak ada saluran aduan berbasis digital atau forum konsultasi kebijakan di sektor ini. Nelayan tidak memiliki ruang untuk menyuarakan keluhan terhadap program yang tidak sesuai, ataupun memberikan masukan atas rancangan kebijakan baru. Dalam konteks demokrasi lokal (Bayo et al.,2018), ini merupakan bentuk pengecualian struktural yang melemahkan hak masyarakat dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Tanpa pembenahan kelembagaan, sektor perikanan akan tetap menjadi korban dari logika pembangunan top-down yang tidak berbasis pada pengetahuan lokal dan partisipasi komunitas. Reformasi kelembagaan menjadi prasyarat utama untuk memastikan bahwa program perikanan di masa depan benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, bukan hanya kepentingan politik jangka pendek.
Rekomendasi: Membangun Arah Baru Sektor Perikanan Morowali
Seratus hari kerja pemerintahan Iksan dan Irene seharusnya menjadi fase transisi menuju arah baru pembangunan sektor perikanan—namun kenyataannya, fase ini justru menunjukkan kelanjutan dari pola lama: program insidental, pendekatan top-down, dan minim keberpihakan struktural. Komitmen terhadap sektor kelautan dan perikanan yang diklaim dalam visi-misi belum menjelma menjadi strategi kebijakan yang menjawab kerusakan ekologis, ketimpangan teknologi, dan keterpinggiran komunitas pesisir.
Masalah perikanan di Morowali bukan sekadar soal penurunan hasil tangkapan, tetapi juga soal pemiskinan nelayan yang disebabkan oleh perubahan ruang hidup tanpa perlindungan. Sementara industri tambang terus meluas, sektor perikanan tetap stagnan bahkan cenderung mundur. Tanpa kebijakan afirmatif, reformasi kelembagaan, dan pendekatan berbasis ekosistem, sektor ini akan terus kehilangan relevansinya dalam peta pembangunan daerah.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah sistemik dan berbasis keadilan sebagai berikut:
1. Menyusun peta risiko ekologi pesisir dan perairan di wilayah lingkar industri, dan menetapkan zona rehabilitasi laut berbasis partisipasi komunitas nelayan.
2. Reformasi mekanisme bantuan sektor perikanan, dari proposal individual menjadi musyawarah desa terbuka dengan sistem verifikasi berbasis aktivitas ekonomi dan data spasial.
3. Mengembangkan koperasi atau BUMDes perikanan yang mengelola logistik pasca-panen (cold storage, transportasi, akses pasar), serta mendorong pengolahan hasil tangkap lokal.
4. Penyediaan kapal tangkap berukuran sedang, alat navigasi modern (GPS, sonar), dan pelatihan pengoperasiannya sebagai program prioritas, bukan tambahan.
5. Mendorong pemberdayaan perempuan nelayan melalui pelatihan pengolahan hasil laut, pemasaran digital, dan akses modal berbasis kelompok.
6. Membentuk gugus tugas lintas sektor yang mengintegrasikan dinas perikanan, lingkungan hidup, dan tata ruang untuk mengelola dampak industri terhadap laut.
Dengan melampaui proyek jangka pendek dan simbolisme program, sektor perikanan di Morowali bisa menjadi pilar pembangunan yang tidak hanya produktif, tetapi juga adil secara ekologis dan sosial. Masa depan perikanan tidak bisa dibangun di atas laut yang tercemar dan nelayan yang terpinggirkan. Ia harus dibangun melalui keberanian politik, kejelasan arah kebijakan, dan komitmen pada kehidupan yang berkelanjutan.
***Tulisan ini merupakan Part 5 dari edisi khusus “Catatan Kritis 100 Hari Kerja Bupati Morowali” yang terbagi dalam beberapa part. Anda bisa mengaksesnya dalam link di bawah ini:
Part 1: Reformasi Birokrasi Yang Masih Berkutat Pada Kegiatan Simbolis
Part 2: Persampahan Yang Krisis Tata Kelola
Part 3: Bantuan Mahasiswa Yang Jalan Tanpa Arah
Part 4: Layanan Kesehatan Yang Tidak Menyentuh Krisis Struktural
Part 6: Pertanian di Tengah Masalah Agraria dan Ketimpangan Struktural
Discussion about this post